Petani Kecil di Manggarai Merapal Harapan Lewat Ritual ‘Pande Ruha Pu’ung Rede’

Ruteng, Ekorantt.com – Sejumlah petani di Desa Rai, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, terlihat sibuk membersihkan lahan sawah mereka pada pertengahan Juli 2023 lalu. Tak hanya orang tua, tetapi juga anak muda.

Dari kejauhan tampak seorang pria tengah duduk sambil melihat lahan sawahnya. Sesekali, ia berjalan keliling pematang sawah untuk memastikan aliran air lancar.

Pria itu bernama Stefanus Pon (63). Ayah tiga anak ini menafkahi keluarganya dari hidup bertani yang ia tekuni sejak puluhan tahun lalu.

Untuk kebutuhan pangan, Stefanus berharap dari lahan sawah yang jaraknya lima kilometer dari rumah.

Diakui Stefanus, padi dari sawahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan setahun. Saat stok padi habis, keluarganya memenuhi kebutuhan pangan dengan membeli beras di pasar.

iklan

Baginya, jadi petani bukan perkara mudah. Sebab dalam kurun waktu tersebut, ada banyak tantangan yang dihadapi, seperti hama, debit air, produktivitas yang merosot, dan lain-lain.

Kendati begitu, Stefanus tidak pernah putus asa, ia selalu bersyukur dengan apa yang diterimanya. Ungkapan syukur itu ia wujudkan melalui ritual-ritual adat, salah satunya ritual pande ruha pu’ung rede.

“Orang tua dulu itu, yang berkaitan dengan bertani dan kebun, tidak pernah melupakan yang namanya adat. Dari pembersihan lahan sampai pada saat panen. Sama dengan situasi sekarang, musim tanam, setelah selesai penanaman bibit padi ini, saya melakukan ritual adat pande ruha pu’ung rede,” jelas Stefanus.

Stefanus menjelaskan, ritual adat pande ruha pu’ung rede merupakan ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan leluhur, serta harapan agar tanaman padi dijauhkan dari berbagai hama. Selain itu memohon perlindungan leluhur agar padi yang ditanam memperoleh hasil yang memuaskan.

Prosesi

Sebutir telur ayam kampung, sebagai simbol persembahan ungkapan terima kasih dalam ritus ‘Pande Ruha Pu’ung Rede’

Ritual Pande Ruha Pu’ung Rede dilaksanakan pada lahan sawah yang telah selesai ditanam. Ritual ini dilakukan pemilik kebun maupun orang lain (tu’a) yang dipercayakan.

Yang perlu disiapkan adalah satu butir telur ayam kampung, sebagai simbol persembahan ungkapan terima kasih.

“Jadi, apa pun yang berkaitan dengan adat, ritual atau apa pun itu, selalu disiapkan satu benda atau hewan sebagai simbolik, dan untuk ritual setelah penanaman ini harus disiapkan dengan satu butir telur ayam kampung, untuk bahan simboliknya,” kata Stefanus.

Selanjutnya melafalkan doa sekaligus harapan agar tanaman padi bertumbuh subur.

Rumusan doa yang dimaksud adalah :

“Mori agu ngaran, ata bate jari agu dedek, amit manusia one temun tana lino ho’o,  cewen keta ata dedek sanggern cao ca one temun tana lino. Mori, liup impung dami one mane ho’o, one uma ho’o, kudut tegi ngalis nai, ngengga nuk, hiat riang agu lami, ai ho’o wa’u ngasang wini.

Tegi dami kamping ite ase ka’en, ata riang agu lami one uma bone ho’o, langang silin, langang etan, langang awon, langang salen. Ase ka’e, neka manga ped’en gete, neka po’ong bo. Tegi dami kamping ite, aram manga copel lime, hena cala kaka, len-len uma ho’o, laun-laun. Ase ka’e, asi ped’en gete, asi po’ong bo.

Tegi dami, kali kamping ite ga, kudut elor telo, labar cama, rantang manga helo huwek empeng sa’i ata ciwal lingko ho’o. Mori tegi dami kole kamping ite, ai ho’o poli wa’u lami wini, sanggern paen dite, kaba, jarang, mbe, acu, ela, manuk, Mori liwing di’a koe. Kudut ite kole jaga lite, langang silin, langang etan, langang awon, langang salen.

Hitu reweng kamping ite dami rantang manga ped’en gete, rantang manga po’ong bo. Kali manga ho’o tuak, reweng kamping ite ase ka’e ata riang agu lami, ngong manga kir babar wa ko’ol eta, ngong manga kir ga, hang le kaka, hang le lawo, hang le kaka ko apar ngasang, woja ho’o. Toe uwa nggeretan, uwa nggerwan.

Tombo one tuak lite, reha agu pohang. Somba ase ka’e, ho’op tuak lele dami, kudut tegi dami rantang manga ped’en gete, rantang manga po’ong bo, kudut rantang manga kaka hitu ga, sangge babar wa, ko’ol eta, kudut rantang legos ngasang kaba, jarang, mbe, ela, acu, manuk. Kudut ite hitu ga elor telo, labar cama hitu kali ga.

Tegi dami kamping ite ga ase ka’en, porong reges lima leke, tawa lima gantang. Eme duat kami nggerpe’ang uma, neka cumang dungka, we’e nggerone mbaru neka pala cala. Hitus reweng agu gesar dami, torok dami, tae dami, ite riang agu lami. Ite, porong ngalis nai, nggerak num. Tuak laing tu’ung ho’o, jepur agu penong,”

Yang artinya:

Tuhan, pencipta segala makhluk di muka bumi ini, sore hari ini kami berkumpul di sini, guna melakukan upacara syukuran terima kasih atas segala ciptaan yang Tuhan berikan kepada kami, selama musim tanam ini.

Kami mohon kepada-Mu, jagalah dan jauhkanlah dari kami yang mengerjakan kebun ini, dari segala sakit dan penyakit yang menghantui diri kami dan jagalah tanaman yang ada di dalam kebun ini. Baik batas samping kiri, kanan, atas, dan bawah.

Itulah penyampaian kami kepada Tuhan, agar Tuhan, serta yang menjaga kebun ini jangan Engkau geram. Inilah sesajen kami untuk memohon kepada-Mu, berkati segala usaha dan karya kami juga tanaman kami dapat dijauhkan dari segala macam hama, agar tanaman kami kelak memperoleh hasil yang memuaskan.

Jarang Dilakukan

Sayangnya, tutur Stefanus, beberapa tahun terakhir tradisi ini jarang dilakukan. Orang sudah mengabaikannya.

Maksimus Terima, mantan pegawai PPL Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai, juga warga desa Rai, mengaku bahwa ritual Pande Ruha Pu’ung Rede sudah jarang dilakukan petani, terlebih di desanya.

“Saya lihat, 90 persen masyarakat tani di Desa Rai, sudah tidak lagi melakukan ritual tersebut,” ungkap Maksi.

Hal senada disampaikan, Tu’a Adat Desa Rai, Romanus Ganggus.

“Terkait adat dalam bertani, seharusnya masyarakat melakukan berbagai tahapan ritual adat tersebut, tetapi banyak masyarakat saat sekarang yang tidak paham terkait ritual adat itu sendiri,” kata Romanus.

Bagi Romanus, ritual Pande Ruha Pu’ung Rede bukan sekadar tentang tanaman dan lahan, tetapi bagaimana berdoa kepada Tuhan untuk kelancaran pertumbuhan dari tanaman.

“Rasa kepercayaan yang mulai hilang menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak melakukan lagi ritual atau kebiasaan para leluhur,” ujarnya.

Pelaksanaan ritual Pande Ruha Pu’ung Rede bergantung pada keyakinan masing-masing pribadi petani. Ada yang masih menjalankannya. Tapi sudah banyak yang mengabaikan ritual ini.

Pejabat Sementara (Pjs) Desa Rai, Gabriel Ilang berharap tradisi para leluhur tetap dipertahankan, karena telah menjadi identitas diri.

“Menurut saya, ritual adat atau kebiasaan lokal seperti ini, untuk generasi muda ke depannya tidak boleh dihilangkan. Harus dipertahankan, karena sudah menjadi budaya kita, budaya Manggarai,” ujar Gabriel.

Jurnalis Warga: Clarentina Cholin (Local Champion Momang Lino)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA