Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*
Konflik agraria makin kronis. Konflik ini telah mendatangkan banyak masalah lebih lanjut terhadap penghidupan sosio-ekonomi masyarakat. Tidak hanya itu, masalah agraria juga menyebabkan kemandekan pembangunan dalam masyarakat.
Memang tidak dapat dipungkiri, setiap pembangunan (infrastruktur) selalu mempunyai sisi positif dan negatif. Yang lebih penting, menjamin tata kelola pembangunan yang meminimalkan risiko konflik agraria.
Sayangnya, sebagian pembangunan membawa atau menghasilkan konflik agraria. Konflik itu disertai kekerasan dan penyerobotan secara paksa tanah-tanah milik warga. Sebagaimana dilaporkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 9 tahun terakhir, lebih tepatnya di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, telah terjadi konflik agraria sebanyak 2.710 kali. Konflik agraria sebanyak ini, sebagaimana laporan KPA, telah berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (selanjutnya; NTT), konflik agraria sangat kompleks. Risiko kehilangan tanah di kalangan petani (di NTT) semakin menunjukkan keprihatinan bersama tentang keberlanjutan penghidupan petani. Bisa dibayangkan bagaimana petani yang menggantungkan penghidupannya pada tanah, justru kehilangan tanah. Di sini, apa yang saya coba bahas hanya terbatas pada bagian kecil dari proses kehilangan tanah milik petani.
Dua Soal
Sekurang-kurangnya, menurut saya, ada dua perkara yang mengakibatkan petani kehilangan hak atas tanah dan sumber penghidupan mereka. Pertama, apa yang dapat kita sebut sebagai ‘ketergantungan pinjaman’ yang menyebabkan petani kehilangan tanah, karena tanahnya digadai untuk dapat memperoleh pinjaman dari pihak tertentu, sebut saja misalnya, bank dan koperasi. Di NTT, ada banyak cerita-cerita tentang bagaimana petani kehilangan tanahnya, karena ‘beban pinjaman’ yang harus mereka pikul.
Terlepas dari ‘kesepakatan’ pinjaman di antara kedua belah pihak (peminjam dan kreditur), kita mesti memikirkan kondisi lebih lanjut dari penghidupan petani manakala mereka tidak mampu membayar pinjaman tersebut.
Sepengetahuan saya, pihak kreditur menetapkan beberapa syarat yang wajib dipatuhi oleh peminjam. Salah satunya wajib menyertakan ‘jaminan’ atas pinjaman, berupa sertifikat tanah atau sertifikat rumah.
Di sinilah akar masalah itu muncul manakala petani atau peminjam tidak dapat memenuhi atau melunasi seluruh biaya pinjaman yang telah dipinjamkannya. Mungkin dari pihak kreditur (bank dan koperasi) akan memberikan kompensasi waktu bagi si peminjam untuk melunasi pinjamannya. Namun, bayangkan bagaimana misalnya, si peminjam atau petani tidak dapat melunasinya, di situlah batas toleransi menjadi tidak bisa dihindari.
Petani atau peminjam kehilangan ‘jaminan’ yang telah digadaikan di koperasi atau bank tempat ia melakukan transaksi pinjaman. Inilah yang banyak terjadi di Provinsi NTT saat ini, bagaimana hubungan si peminjam dengan pihak kreditur justru memantik masalah lebih lanjut, terutama di kalangan petani peminjam.
Mereka kehilangan tanah (bila yang digadaikan itu sertifikat tanah). Pada titik ini, kita perlu memikirkan bersama tentang keberlanjutan petani. Negara harus hadir dalam masalah ini.
Kedua, perampasan tanah karena investasi di sektor pembangunan, seperti proyek geotermal di Mataloko dan di beberapa tempat lain di NTT. Dalam beberapa tahun belakangan, investasi di sektor pembangunan kian masif. Investasi di sektor pembangunan, baik yang disokong oleh korporasi, maupun yang melibatkan negara secara langsung, seperti di sektor pembangunan waduk, sebetulnya mengandung problem terhadap penghidupan petani. Di sektor pembangunan (infrastruktur) ini banyak masalah agraria terjadi.
Salah satu cerita menariknya juga mengandung keprihatinan ialah di daerah Mataloko, Kabupaten Ngada. Di sana proyek geotermal justru telah melahirkan masalah terhadap masa depan penghidupan petani di sektor agraris. Petani kehilangan tanah atau tanahnya mengalami kerusakan akibat proyek geotermal. Kondisi ini yang menjadi pembelajaran warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai dalam mengambil sikap atas rencana pihak PLN membangun proyek geotermal di wilayah mereka.
Inilah yang menjadi masalah serius di kalangan petani di NTT. Ada kesan seolah petani NTT hidup berdampingan dengan ‘raksasa kapitalisme’ yang sewaktu-waktu dapat menelan mereka dan seluruh bangunan agrarisnya. Tentu tidak hanya di kedua tempat itu, di Sumba, misalnya, seorang petani bernama Poro Duka, karena mempertahankan tanahnya justru menjadi korban. Ini merupakan cerita bagaimana petani, sekali lagi, menghadapi suatu kegelisahan atas penghidupan mereka yang kian terancam oleh adanya pembangunan.
Sementara itu, di tempat lain, misalnya di daerah Timor Tengah Selatan (TTS), tepatnya di Besipae, warga menghadapi masalah agraria. Rumah mereka dibongkar dan mereka direlokasi. Akhirnya, menimbulkan konflik struktural antara masyarakat yang mempertahankan hak atas tanah dengan negara (Pemprov NTT) yang menginginkan mereka direlokasi untuk dapat menguasai atau mengelola tanah tersebut.
Peristiwa pada beberapa tempat di NTT itu, sebetulnya mengandung implikasi lebih lanjut terhadap masa depan penghidupan petani yang menggantungkan seluruh kehidupan ekonomisnya pada tanah dan ruang hidup di dalamnya. Masuknya investasi di sektor pembangunan, mesti memperhatikan kondisi itu. Tanpa melihat aspek keberlanjutan masa depan petani, pembangunan yang dihasilkan justru memicu banyak problem.
Keberpihakan Pada Petani
Di sini tidak ada solusi permanen yang dapat mengatasi masalah kehilangan tanah yang dihadapi para petani di Provinsi NTT. Yang diperlukan ialah keberpihakan semua elemen, terutama negara untuk menjamin agar kedaulatan petani atas tanahnya tetap terpelihara demi kelangsungan penghidupan mereka dan kedaulatan pangan di NTT.
Barangkali dengan melihat dua masalah penyebab kehilangan tanah di kalangan petani di atas, perlu dirumuskan dua peta jalan yang memungkinkan agar petani tetap dapat melangsungkan penghidupan mereka di atas tanah milik mereka. Pertama, kehilangan tanah karena pinjaman di bank dan koperasi. Di sini pemerintah perlu menyediakan bantuan dana bagi para petani.
Lewat cara menyediakan dana bantuan bagi petani, tentu negara dapat memastikan bahwa kedaulatan pangan terjaga dan tanah milik petani tetap terpelihara. Selain itu, yang lebih penting ialah, memastikan bahwa dana bantuan itu tepat sasaran. Negara harus memfasilitasinya, guna memastikan petani-petani tidak terjebak dalam lilitan utang, yang mengakibatkan mereka kehilangan tanah; perlu juga adanya edukasi untuk petani.
Kedua, kehilangan tanah akibat dari investasi di sektor pembangunan. Negara harus menjamin bahwa pembangunan yang hadir di tengah masyarakat harus mampu mendorong peningkatan taraf ekonomi masyarakat.
Artinya, pembangunan itu tidak merusak apalagi menghilangkan tanah milik para petani. Perlu memastikan dengan serius tata kelola pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
*Alumnus Universitas Merdeka Malang