Ruteng, Ekorantt.com – Komunitas warga mesti memiliki kesadaran kritis terhadap setiap investasi yang masuk ke wilayah Flores-Lembata. Kesadaran kritis menjadi senjata ampuh dalam menghalau setiap investasi destruktif yang punya daya rusak.
Demikian salah satu poin penting yang digarisbawahi oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Melky Nahar dalam pertemuan bersama jejaring tingkat lokal maupun nasional di Ekopastoral Pagal, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai selama tiga hari, 26-28 November 2023.
Kegiatan bertajuk ‘Jejaring Perlawanan dan Pemulihan Kepulauan Flores-Lembata’ itu mempertemukan beberapa komunitas warga seperti Komunitas Wae Sano, Poco Leok, Sirise, Golo Mori, Atadei Lembata, dan P3K (Pemuda, Penjaga, dan Penyelamat Kampung).
Menurut Melky, ruang bersama dibutuhkan untuk evaluasi dan refleksi bersama, baik di level komunitas maupun jejaring perlawanan yang lebih luas.
Alasannya, kata Melky, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Flores sebagai ‘Pulau Panas Bumi’ pada Juni 2017 lalu. Penetapan itu diklaim untuk mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi di Pulau Flores.
Salah satu target yang ingin dicapai, kata dia, adalah menggunakan energi panas bumi sebagai sumber energi listrik dasar (baseload) utama di Pulau Flores.
“Hal ini didukung dengan telah disusunnya peta jalan (road map) Pulau Flores sebagai pulau panas bumi,” kata Melky.
Penyusunan peta jalan merupakan salah satu hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris yang tertuang dalam Memorandum Saling Pengertian antara kementerian ESDM dan Departemen Energi dan Perubahan Iklim Kerajaan Inggris tentang Kerja Sama Kajian Strategis Panas Bumi yang telah ditandatangani pada 19 Agustus 2015 antara Menteri ESDM dan Duta Besar Inggris.
Penyusunan road map ini dikerjakan oleh ARUP yang merupakan konsultan internasional dari inggris dan didukung oleh World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia.
Hingga November 2023, terdapat 16 titik potensi panas bumi yang tersebar dari Wae Sano, Ulumbu, Poco Leok, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, hingga Mataloko. Kemudian di Komandaru, Ndetusoko, Sokoria, Jopu, lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma-Ujelewung, dan Oyang Barang.
Melky bilang, seluruh wilayah kerja panas bumi (WKP) berada di ruang hidup masyarakat adat, di antaranya lahan-lahan pertanian, pemukiman penduduk, sumber mata air, tanah-tanah ulayat, kawasan hutan, hingga berimpitan langsung dengan infrastruktur publik seperti sekolah, gereja, dan rumah-rumah adat.
Ekstraksi panas bumi dalam skala besar, jelas Melky, menempatkan rakyat dalam risiko yang besar. Selain karena berada langsung di ruang hidup warga, juga kenyataan Pulau Flores yang berada di atas jalur ring of fire.
“Ekstraksi panas bumi seiring dengan ambisi pemerintah yang tengah mempercepat pengembangan industri pariwisata di Flores,” kata Melky.
Ironisnya, di Labuan Bajo dan beberapa wilayah di NTT, warga justru memprotes distribusi listrik dan air yang tersedot ke pusat-pusat bisnis pariwisata. Sementara asupan listrik dan air untuk warga dibatasi.
Saat investasi pariwisata dan energi menguntungkan para pemodal, warga lokal kehilangan kepemilikan. Warga kehilangan akses dari sumber-sumber agraria yang sudah dikuasai oleh pebisnis dengan bantuan aparatus negara.
Tak hanya itu, peluang-peluang yang tercipta lewat pembangunan pun dikuasai oleh pelaku bisnis besar yang berkelindan dengan para politisi dan aparat negara, kata Melky.
“Warga lokal tidak saja menuntut sebuah pembangunan yang partisipasif, di mana mereka dilibatkan. Tetapi menggugat tujuan, manfaat, dan bahkan seluruh rancang bangun pembangunan itu,” tegasnya.
Berbagi Pengalaman dan Pengetahuan
Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia, Pater Fridus Derong, OFM mengatakan kegiatan ini merupakan acara tahunan yang dilakukan selama tiga tahun terakhir. Di dalamnya terjadi perjumpaan antar-komunitas warga untuk berbagi cerita, pengalaman, kegembiraan, kesedihan, kecemasan, dan harapan mereka.
“Dengan ini diharapkan mereka dipersatukan untuk saling menguatkan dan membangun jaringan bersama,” kata Pater Fridus.
Menurutnya, perjumpaan antara warga dan lembaga jejaring merupakan momen khusus untuk dipersatukan secara emosional demi membangun rasa saling percaya dan meningkatkan soliditas.
Pater Fridus berpandangan bahwa refleksi, evaluasi, dan konsolidasi dimanfaatkan untuk melihat kerapuhan, kekuatan, kenangan, dan kegagalan, dan juga untuk mengevaluasi bersama sistem dan mekanisme kerja baik di antara komunitas warga.
“Hal itu untuk membuat perubahan yang signifikan, demi perjuangan yang lebih baik, efektif, dan berhasil,” ujarnya.
Mengancam Ruang Hidup
Yuliana Guru, warga Cako, Poco Leok menuturkan, kehadiran geotermal mengancam ruang hidup mereka, terutama berdampak pada menguatnya konflik horizontal.
Dalam seharinya, Yuliana biasa menjual arak tradisional, kunyit, dan sayur-sayuran di Pasar Iteng, Kecamatan Satarmese. Namun dalam setahun terakhir, ia tidak lagi ke pasar. Alasannya karena mengikuti aksi pengadangan pihak PLN yang hendak merampas tanah mereka.
“Tanah ini berkaitan dengan gendang, yaitu gendang one lingko peang. Kalau manusia bisa berkembang. Sementara tanah tidak,” katanya.
Menurutnya, tanah tersebut diwariskan nenek moyang, lalu mereka berkewajiban untuk mewariskannya ke generasi selanjutnya, bukan ke perusahaan.
Dia berharap agar semakin banyak orang peduli dan bergabung untuk melakukan perlawanan terhadap pihak yang ingin merampas ruang hidup warga lokal.
“Kita tetap berjuang supaya geotermal tidak akan jadi,” pungkasnya.