‘Pasar Sepi, Saya Bertahan Saja’, Kisah Mama Rosa Penjual Anyaman Lontar di Pasar Alok

Maumere, Ekorantt.com – Langit tampak mendung saat Ekora NTT bertandang ke Pasar Alok, Maumere pada Rabu, 13 Maret 2024 siang. Kondisi pasar sangat sepi.

Di salah satu lapak jualan, Mama Rosa (63) merebah di atas bale-bale yang terbuat dari bambu, sambil menunggu pengunjung yang datang membeli. Ia menjual berbagai macam seneng, jenis anyaman yang terbuat dari daun lontar.

“(Pasar) sepi, saya bertahan saja. Kalau tidak, mama mau jualan apalagi,” kata Mama Rosa sambil bangkit dan mengambil posisi duduk.

Mama Rosa bilang, sepinya pembeli di Pasar Alok bukan hanya karena musim hujan, tetapi sudah terjadi jauh sebelum itu.

“Setiap hari sepi pembeli. Ini dari pagi sampai siang ini belum ada yang datang beli. Seribu rupiah saja belum dapat,” ujarnya.

Mama Rosa kemudian menganyam seneng. Bukan hanya hasil anyamannya sendiri, sebagian besar seneng yang ia jual dibeli dari mama-mama penganyam di Sikka dan Lembata.

Ia berjualan seneng sejak tahun 2019. Sebelumnya, ia berjualan bawang merah, bawang putih, dan tomat.

Seneng yang dijual Mama Rosa bermacam-macam bentuk seturut fungsi, seperti tempat untuk taruh sirih pinang, tembakau, cincin kawin, kalung emas, lalu tempat untuk taruh kue pagar, kepala babi, nasi, beras, dompet, handphone, dan lainnya. Ukuran seneng sangat beragam, mulai dari ukuran kecil, sedang dan besar.

Ia menjual seneng dengan harga yang bervariasi, mulai Rp30.000 hingga Rp50.000, bergantung pada jenis dan ukuran anyaman.

Menurutnya, sebelum pandemi Covid-19, ia bisa meraup pendapatan cukup besar karena banyak wisatawan yang datang belanja anyaman daun lontar.

“Itu hari sebelum Corona tu rame. Orang barat banyak datang beli seneng dan lainnya itu sampai Rp800 ribu. Sekarang belum ada orang barat datang beli lagi,” kata mama Rosa.

Uang hasil jualan, sambung Mama Rosa yang hidup membujang, dipakai untuk membantu biaya  sekolah keponakan, membeli bahan baku, dan kebutuhan hidupnya setiap hari.

Agnes Susanti, salah seorang warga kota Maumere, mengaku sering membeli anyaman daun lontar di Pasar Alok.

Cerita Agnes, anyaman daun lontar biasanya dipakai saat kebutuhan seremonial adat, pesta nikah, dan sambut baru.

“Biasanya kita beli seneng untuk tempat taruh sirih pinang, taruh cincin, kue adat, dan lainnya. Liu untuk taruh kepala babi, atau nasi yang sudah masak,” ujar Agnes.

Menurut Agnes, anyaman daun lontar merupakan salah satu kearifan lokal yang harus dijaga dan terus lestarikan.

Pemerintah, kata Agnes, harus memiliki perhatian terhadap warisan-warisan tradisional yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah harus memberdayakan para penganyam lokal.

Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM Kabupaten Sikka, Yoseph Benyamin mengatakan, pihaknya tetap memberikan pendampingan secara khusus dengan menyiapkan satu los pasar di Pasar Alok untuk penjual hasil kerajinan anyaman daun lontar.

“Kalau untuk pelatihan anyaman, secara teknis kita belum memiliki tenaga teknis untuk melatih mereka,” ujarnya.

Benyamin menuturkan, pihaknya pernah bekerjasama dengan Du Anyam, sebuah model kewirausahaan sosial yang fokus memberdayakan mama-mama penganyam, untuk memberikan pelatihan dan pendampingan. Namun minat masyarakat tidak ada, sehingga tidak ada keberlanjutan.

“Hanya ada beberapa kelompok pengrajin anyaman di Sikka dilatih Du Anyam, tapi tidak ada keberlanjutan karena kesulitan pemasaran,” kata Benyamin.

Terkait pemasaran, kata Benyamin, tidak masif dilakukan karena anyaman seneng hanya dikerjakan berdasarkan kebutuhan masyarakat atau wisatawan yang datang belanja suvenir lokal.

Kalau untuk bisnis secara profesional, menurut Benyamin, belum bisa dilakukan karena harus memiliki nilai ekspor dan diperhatikan kualitasnya.

“Kalau kita kan anyam yang penting jadi seneng, li’u dan lainnya,” pungkasnya.

TERKINI
BACA JUGA