Oleh: Helga Maria Evarista Gero*
Penolakan masyarakat adat di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap proyek pengembangan geotermal menyoroti ketegangan abadi antara kepentingan kapitalis dan hak-hak masyarakat adat.
Buktinya, sejak pemerintah bersama PT PLN mengumumkan rencana eksplorasi geotermal, meskipun proyek ini diklaim sejalan dengan agenda energi hijau, rencana ini tetap mendulang penolakan, bukan hanya dari masyarakat setempat tetapi juga dari sejumlah tokoh adat, tokoh masyarakat, dan gereja.
Pada tahun 2021, aksi protes mulai digelar secara masif oleh masyarakat Poco Leok dan sejumlah aktivis lingkungan di Manggarai menuntut penghentian proyek geotermal dan mendesak pemerintah serta pihak terkait untuk menghormati hak-hak masyarakat adat, tetapi diabaikan.
Gelombang aksi terus berlangsung dari tahun ke tahun dalam berbagai upaya, seperti audiensi dan melayangkan surat penolakan resmi ke pemerintah daerah, melibatkan LBH untuk memperkuat advokasi di ranah hukum, merilis hasil investigasi dampak lingkungan, advokasi media, hingga konsolidasi gerakan antara masyarakat adat, aktivis lingkungan, media, organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang terus menemui jalan buntu bahkan berujung penangkapan pemimpin redaksi Floresa, kemarin, 2 Oktober 2024.
Dalam konflik ini, terlihat jelas bagaimana modal korporasi, didukung oleh pemerintah, terus-menerus mengorbankan hak-hak lingkungan dan sosial demi keuntungan ekonomi.
Dari sudut pandang teori Neo-Marxis, kasus ini mencerminkan dinamika eksploitasi kapitalisme lanjut yang secara sistematis menindas dan meminggirkan kelompok-kelompok rentan, terutama masyarakat adat (Harvey, 2005).
Pengabaian Hak Masyarakat Adat
Merujuk pada kerangka teori Neo-Marxis, kapitalisme tidak hanya dipahami sebagai sistem ekonomi yang mengejar akumulasi modal, tetapi juga sebagai mekanisme penindasan dan dominasi kelas.
Dalam konteks Poco Leok, proyek geotermal adalah manifestasi dari apa yang disebut oleh Marxis sebagai ekspansi kapitalisme lanjut, di mana korporasi dan pemerintah bekerja sama untuk menguras sumber daya alam dari wilayah adat tanpa memperhitungkan dampak sosial dan budaya yang ditimbulkan (Harvey, 2005).
Proyek geotermal di Poco Leok bukanlah hal yang terisolasi. Ia bagian dari strategi kapitalisme global untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam demi akumulasi modal.
Masyarakat adat, yang selama berabad-abad hidup harmonis dengan tanah mereka, tiba-tiba dihadapkan pada ancaman penggusuran dan pengabaian terhadap hak mereka atas tanah ulayat.
Dalam teori Marx, hal ini disebut sebagai alienasi, di mana masyarakat yang memiliki hubungan historis dan spiritual dengan tanahnya dipisahkan dari sumber daya alam yang menjadi hak kolektif mereka.
Penolakan masyarakat adat Poco Leok terhadap proyek geotermal dapat dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap kapitalisme lanjut yang terus mendesak batas-batas kehidupan mereka. Neo-Marxis memandang resistensi ini sebagai perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang dominan (Gramsci, 1971).
Masyarakat adat tidak hanya menolak proyek tersebut atas dasar lingkungan, tetapi juga karena pengabaian terhadap hak-hak mereka sebagai pemilik tanah ulayat. Hak ini diakui oleh hukum nasional maupun internasional, namun sering kali dilanggar oleh negara atas nama pembangunan dan investasi.
Di sini, teori Neo-Marxis mengungkapkan bagaimana negara dalam sistem kapitalis berfungsi sebagai pelayan modal, bukan sebagai pelindung rakyat. Negara seharusnya menjadi penjaga hak-hak masyarakat adat, tetapi dalam kasus ini, ia malah bersekutu dengan kepentingan kapitalis demi mempercepat investasi (Harvey, 2005).
Antonio Gramsci menjelaskan bahwa dominasi kapitalis tidak hanya terjadi melalui kekuatan fisik atau militer, tetapi juga melalui hegemoni, yakni pengaruh yang begitu kuat terhadap pandangan masyarakat hingga penindasan dianggap normal.
Makin Tua Makin Barbar
Kasus penolakan proyek geotermal di Poco Leok semakin memperlihatkan wajah otoritarianisme yang kian paten di Indonesia. Dalam beberapa laporan atau berita, media yang mengangkat isu ini sering kali mengalami intimidasi, pembungkaman, atau bahkan kriminalisasi. Sebagai contoh, penangkapan Pemimpin Redaksi Floresa saat meliput aksi ‘jaga kampung’ a la warga Poco Leok pada Rabu, 2 Oktober 2024 kemarin.
Media yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga demokrasi dan penyebar informasi yang objektif justru dikendalikan dan dikriminalisasi oleh kekuatan-kekuatan kapitalis yang mengutamakan kepentingan korporasi (Chomsky, 1997). Negara, melalui berbagai mekanisme sensor, menekan media agar tidak menyuarakan keluhan masyarakat adat.
Tindakan represif negara terhadap awak media dan masyarakat adat yang menolak proyek geotermal ini memperlihatkan bagaimana Indonesia semakin barbar dalam menghadapi konflik-konflik semacam ini.
Negara, yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak warganya, justru bertindak sebagai agen kapitalis yang tanpa ampun menindas kelompok-kelompok yang dianggap sebagai penghalang bagi ekspansi modal.
Selanjutnya, kasus Poco Leok tidak hanya berbicara tentang perlindungan hak masyarakat adat, tetapi juga tentang krisis lingkungan yang diabaikan oleh para pemegang kekuasaan.
Dalam perspektif Neo-Marxis, kapitalisme ekologis adalah bentuk lain dari kapitalisme yang mengorbankan kelestarian alam demi keuntungan jangka pendek (Harvey, 2005). Proyek geotermal yang dicanangkan di Poco Leok dapat menimbulkan kerusakan ekosistem yang serius, termasuk penggundulan hutan, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat.
Masyarakat adat di Poco Leok tidak hanya berbicara atas nama diri mereka sendiri, tetapi juga atas nama alam yang mereka rawat selama ini. Penolakan mereka adalah upaya untuk melindungi lingkungan hidup mereka dari ancaman kapitalisme yang terus mengeruk sumber daya alam secara rakus.
Dalam konteks ini, ekologi sosial yang diusung oleh pemikir Neo-Marxis seperti Murray Bookchin menekankan bahwa konflik lingkungan tidak bisa dipisahkan dari konflik sosial.
Kasus Poco Leok harus menjadi refleksi bagi kita semua tentang arah pembangunan Indonesia yang semakin jauh dari prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan (Scott, 1998).
Negara yang seharusnya berdiri sebagai pelindung masyarakat malah menjadi agen represif yang membela kepentingan kapitalis. Dari sudut pandang Neo-Marxis, Indonesia sedang bergerak menuju barbarisme kapitalis, di mana kekerasan terhadap masyarakat adat dan alam semakin dianggap sebagai praktik normal demi pembangunan (Chomsky, 1997).
Indonesia perlu menyadari bahwa hak-hak masyarakat adat bukanlah sesuatu yang bisa dikorbankan demi kepentingan modal (Harvey, 2005). Pembangunan yang sesungguhnya adalah pembangunan yang adil, inklusif, dan menghormati hak-hak semua warga negara, termasuk masyarakat adat yang menjadi penjaga alam.
*Penulis adalah Dosen Prodi Sosiologi FISIP Undana Kupang