Pertarungan Narasi di Pilkada NTT: Antara Emosi dan Rekam Jejak

Pilkada NTT 2024 juga harus menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang literasi digital dan literasi media

Oleh: Jim Briand Kolianan

Pilkada serentak, termasuk di NTT tahun 2024 akan menjadi momen refleksi, tentang sejauh mana kita sebagai masyarakat telah beradaptasi dengan ekosistem informasi baru.

Ia akan menjadi ujian, bukan hanya bagi kapabilitas para kandidat dalam menyusun dan mengkomunikasikan kebijakan, tetapi juga kedewasaan kita dalam menyikapi dan partisipasi dalam proses demokrasi. Elite politik dan masyarakat kebanyakan sama-sama memikul beban informasi itu.

Sebagai elemen otonom, pemilih mempunyai pekerjaan rumah. Di tengah membanjirnya informasi, pemilih harus lebih kritis dan selektif dalam menyerap dan menilai sebuah pesan politik.

Adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengutamakan fakta, bukan sekadar persepsi dalam menentukan pilihan politik.

iklan

Banjir informasi tentu harus dilawan dengan banjir pengetahuan yang mapan tentang informasi yang sama. Ada banyak inisiatif menjanjikan untuk memerangi disinformasi, baik dari pemerintah, kelompok masyarakat sipil, hingga platform teknologi.

Namun pada akhirnya, bobot terbesar ada di pundak masing-masing individu, kita harus jeli memilah konten, rajin mengecek fakta, dan bijak dalam membagikan informasi.

Era Post-truth

Kita hidup di era dimana kebenaran objektif seakan menjadi barang langka. Istilah post-truth bahkan dinobatkan sebagai Word of the Year 2016 oleh Kamus Oxford, istilah post-truth itu sendiri dipopulerkan oleh Matthew d’Ancona yang menjelaskan bahwa di era post-truth, emosi dan keyakinan pribadi sering kali lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding fakta obyektif.

Fenomena ini menimbulkan tantangan signifikan bagi komunikasi kebijakan, terutama dalam konteks pemilihan umum seperti Pilkada Nusa Tenggara Timur (NTT) 2024.

Kondisi ini tentu saja menimbulkan tantangan tersendiri bagi sektor pemerintahan, terutama dalam hal komunikasi kebijakan kepada publik.

Dalam konteks Indonesia, salah satu ujian terbesar datang dalam format pemilihan kepala daerah atau Pilkada, termasuk di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan menggelar Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, dan Bupati dan Wakil Bupati di tahun 2024.

Pilkada NTT tahun 2024 akan menjadi ajang pembuktian, tidak hanya bagi para kandidat, namun juga bagi kematangan demokrasi kita di era digital. Kita akan menghadapi tantangan/lanskap yang sangat berbeda dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya.

Disrupsi digital telah mengubah cara kandidat berkampanye dan berinteraksi dengan pemilih. Media sosial kini menjadi arena utama pertarungan naratif dan pertarungan berbagai tagline atau slogan-slogan kekinian untuk memenangkan hati dan pikiran pemilih, di mana emosi sering kali lebih ditonjolkan dibanding fakta atau rekam jejak.

Namun, media sosial juga menjadi lahan subur atau rentan terhadap penyebaran disinformasi: hoaks dan fake news, sehingga menciptakan apa yang disebut oleh Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus (2020) sebagai “infodemic”.

Dalam situasi ini, para calon akan dituntut untuk tidak hanya merumuskan program-program yang visioner dan relevan, tetapi juga mengemas dan mengkomunikasikannya secara efektif dan etis di kanal-kanal digital. Mereka harus mampu menyajikan data dan fakta secara atraktif, tanpa terjebak dalam dramatisasi atau manipulasi emosi.

Konteks NTT

Kita berharap, siapapun yang terpilih nanti, NTT akan mendapatkan pemimpin yang tidak hanya piawai dalam berpolitik, namun juga pemimpin yang jujur, berintegritas, dan mengedepankan fakta dalam setiap komunikasi kebijakannya.

Dalam era post-truth seperti sekarang, kejujuran dan fakta adalah modal berharga yang akan membedakan pemimpin sejati dengan oportunis.

Selain itu, kita juga perlu mewaspadai potensi penyalahgunaan data pribadi dalam kampanye digital. Cambridge Analytica scandal beberapa tahun lalu menunjukkan betapa rentannya data kita untuk dieksploitasi demi kepentingan politik. Para kandidat dan tim suksesnya harus berkomitmen untuk menjalankan kampanye yang etis dan menghormati privasi pemilih.

Pilkada NTT 2024 juga harus menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang literasi digital dan literasi media. Kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi digital akan menjadi benteng pertahanan utama dalam melawan disinformasi. Ini harus menjadi gerakan kolektif yang melibatkan sekolah, universitas, organisasi masyarakat, dan tentu saja pemerintah.

Fenomena post-truth dan disrupsi digital memang menghadirkan tantangan baru, namun ia juga membuka peluang untuk inovasi dalam komunikasi politik. Kandidat yang mampu memanfaatkan teknologi secara kreatif dan bertanggung jawab, sambil tetap menjunjung tinggi integritas dan fakta, akan memiliki keunggulan tersendiri.

Pada akhirnya, kualitas demokrasi kita akan ditentukan oleh kemampuan kita untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, tanpa mengkhianati prinsip-prinsip dasarnya.

Pilkada NTT 2024, harus menjadi ajang untuk merayakan kebinekaan, mengedepankan gagasan, dan memperkuat partisipasi publik. Hanya dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa era post-truth tidak akan menggerogoti sendi-sendi demokrasi yang telah kita perjuangkan bersama.

Masa depan NTT, dan Indonesia secara luas, ada di tangan kita semua. Mari kita jadikan Pilkada NTT 2024 sebagai momentum untuk menegaskan kembali komitmen kita pada kebenaran, integritas dan demokrasi yang bermutu.

Di tengah gelombang disinformasi dan ketidakpastian, kebenaran dan fakta harus tetap menjadi kompas yang menuntun langkah kita ke depan.


*Penulis adalah Dosen Ilmu Administrasi Negara Fisip Undana

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA