Dinamika Keterlibatan Militer di Ruang Publik

Aristoteles mengelompokkan militer pada zamannya ke dalam golongan menengah yang berada di antara golongan kaya (oligarki) dan golongan miskin (demokrasi).

Oleh: Jean Loustar Jewadut*

Minggu lalu, media sosial diramaikan oleh video yang mempertontonkan aksi saling dorong antara masyarakat Poco Leok dan para petugas keamanan. Selain itu, viral juga kesaksian pemimpin redaksi media Floresa yang mengungkap aksi kekerasan aparat keamanan terhadap dirinya yang sedang meliput kejadian itu.

Fakta ini mengundang reaksi gugatan terhadap keterlibatan aparat keamanan di ruang publik yang lebih mengedepankan kekerasan, ketimbang dialog. Itulah sebabnya, banyak pihak yang mengungkapkan pernyataan sikap terhadap aksi aparat keamanan.

Salah satu pernyataan sikap berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IFTK Ledalero, Maumere dan segenap mahasiswa IFTK Ledalero atas proyek geotermal Poco Leok dan atas tindakan represif aparat keamanan terhadap jurnalis dan warga.

Keterlibatan aparat keamanan di ruang publik menarik untuk ditelisik lebih jauh. Apakah keterlibatan militer di ruang publik dapat mengatasi masalah atau malah memunculkan masalah baru yang lebih runyam lagi?

Secara historis, pembicaraan tentang keberadaan dan peran militer sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno. Plato, misalnya, berbicara tentang timokrasi sebagai sebuah kemunduran negara ideal, Kallipolis.

Timokrasi muncul ketika kepemilikan pribadi tanah, harta, dan militersime diperkenalkan karena adanya pertentangan antara anggota dari kelompok penguasa. Negara timokrasi dipimpin oleh tentara. Selanjutnya, Aristoteles mengelompokkan militer pada zamannya ke dalam golongan menengah yang berada di antara golongan kaya (oligarki) dan golongan miskin (demokrasi).

Aristoteles menegaskan bahwa apabila dalam suatu negara terdapat kelas menengah yang sangat besar jumlahnya, dan merekalah pula yang menjadi pemegang kekuasaan dalam negara itu dan takluk pada hukum, maka dapatlah diharapkan negara itu akan menjadi negara yang amat kuat dan sanggup bertahan dalam waktu yang lama.

Dalam sejarahnya, kelahiran militer di Indonesia bukan dimotivasi oleh karier kemiliteran, melainkan banyak dilandasi oleh semangat untuk melawan penjajahan.

Hal inilah yang menjadi dasar sulitnya peran militer lepas dari kepentingan politik karena sejak kelahirannya, institusi ini telah memegang peranan yang sangat vital dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa kehadiran dan peran militer memberikan kontribusi yang besar bagi pencapaian kemerdekaan Indonesia.

Rezim Soeharto dikenal sebagai sebuah rezim militer yang melibatkan peran banyak militer untuk membantu Soeharto mempertahankan kekuasaannya sebagai seorang presiden. Kedudukan militer dalam politik semakin diperkuat pada masa Orde Baru melalui kebijakan dwifungsi yang menugaskan militer baik di bidang pertahanan maupun bidang politik dan ekonomi.

Konsep dwifungsi ABRI berawal dari sebuah konsep “jalan tengah” yang dikemukakan Nasution. Konsep jalan tengah sebagaimana yang telah direncanakan Soekarno, kabinet dan pimpinan angkatan perang akan memberikan kesempatan yang luas kepada perwira-perwira tentara atas dasar perorangan tetapi sebagai eksponen tentara, untuk berpartisipasi secara aktif dalam bidang non-militer dan dalam menentukan kebijakan nasional pada tingkat yang paling tinggi, termasuk dalam bidang seperti keuangan negara, ekonomi dan sebagainya.

Hal ini diyakini sebagai bagian dari upaya mempertahankan stabilitas dan keamanan negara.
Secara praktis dapat dirasakan bahwa peran militer telah terasa di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat pada saat itu. Militer masuk ke ranah yang bukan tugas pokoknya sebagai anggota militer, seperti dalam penanganan aset negara, menjadi penguasa di sektor bisnis dan industri, bahkan menjadi pejabat pemerintahan yang seharusnya ditempati oleh orang sipil.

Atas dasar itu, maksud terselubung dwifungsi ABRI yang dalam pemahaman Nasution ditafsir sebagai sebuah konsep “jalan tengah” kemudian terungkap. Angkatan Darat di bawah komando Nasution mendesak terwujudnya bentuk negara korporatis, militer, yang di dalamnya partai politik dihapus dan ranah publik dikosongkan dari pertarungan politik.

Pada 1958 politikus veteran Sjahrir memperingatkan bahwa perwira-perwira Nasution memendam “cita-cita militeristik dan fasis” untuk pemerintah Indonesia.

Keterlibatan militer yang mengalami peningkatan jumlah pada masa orde baru tidak hanya terkonsentrasi di pusat (Jakarta), tetapi juga merambah ke desa-desa. Dari tahun 1980, militer berusaha menduduki posisi sentral dalam pembangunan desa dengan melancarkan satu kebijakan bernama “ABRI masuk desa”.

Di desa-desa, para militer memperbaiki jembatan dan sumur, membetulkan jalan, membangun rumah-rumah ibadah dan klinik-klinik kesehatan, dan juga melakukan indoktrinasi. Ketika penduduk lokal mulai menunjukkan kepentingan dan aspirasi yang bertentangan dengan kepentingan dan aspirasi militer, militer siap menggunakan tindakan kekerasan untuk tanpa kenal ampun membasmi para disiden.

Pemerintah totaliter pada masa Orde Baru menjadikan militer sebagai agen untuk menciptakan teror secara total kepada masyarakat mulai dari tingkat pusat hingga tingkat lokal. Teror menjadi total apabila teror tidak hanya diarahkan untuk mengontrol oposisi, tetapi juga terutama orang yang sama sekali tidak bersalah, dan tidak mengetahui mengapa mereka ditangkap, disiksa, dan dibunuh.

Hannah Arendt menyebut orang-orang seperti itu sebagai “musuh objektif” atau “penjahat tanpa kejahatan”. Nyatanya, dominasi keterlibatan militer dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam menyelesaikan konflik masyarakat mulai dari tingkat pusat hingga tingkat lokal bukannya menciptakan kebaikan dan kesejahteraan hidup masyarakat, melainkan memimpin masyarakat menuju kekacauan sosial dan disintegrasi nasional.

Dominasi kelompok militer pada masa Orde Baru dianggap sebagai salah satu agen potensial yang membidani lahirnya militerisme di kalangan masyarakat sipil yang kontraproduktif dengan prinsip-prinsip fundamental demokrasi. Itulah sebabnya, masa pemerintahan Soeharto adalah satu masa penerapan militerisme secara sistematis.

Militerisme secara sederhana berwujud dalam pengaruh organisasi, nilai, dan ide-ide militer ke dalam struktur sosial sebagai akibat militerisasi. Militerisme dalam konteks ini dipahami sebagai kenyataan tatkala nilai-nilai, cara kerja dan tata organisasi, penggunaan simbol, dan sebagainya, yang kesemuanya berinteraksi satu sama lain sebagai sistem yang bekerja di bawah kesadaran kolektif.

Pola pikir dan tindak yang militeristik tidak lagi hanya diperuntukkan bagi kalangan militer, tetapi bagi seluruh lapisan masyarakat. Melalui berbagai program, pemerintah yang berafiliasi dengan militer hendak menjadikan seluruh masyarakat bawahan yang kehilangan otonomi diri karena terus membuka diri untuk menaati setiap komando atasan.

Situasi seperti ini menyebabkan absennya partisipasi demokratis karena orang menyerahkan pikirannya kepada orang lain untuk memikirkannya atau menyerahkan kehendaknya kepada orang lain untuk menghendaki sesuatu.

Ketika ada konflik, baik yang direkayasa demi kepentingan politis tertentu maupun yang muncul secara spontan dalam interaksi masyarakat, rakyat dipaksa secara fisik atau mental untuk patuh menerima penyelesaian dari atas.

Kepercayaan kepada atasan menjadi sebuah keharusan yang mesti dipatuhi. Tidak boleh ada demonstrasi karena hal ini akan melecehkan kepercayaan kepada para atasan.

Meskipun demikian, sejumlah mahasiswa yang kritis berhasil membaca ekses destruktif kehidupan bernegara sebagai akibat dominasi peran militer. Gerakan perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru dan militer muncul dari kalangan mahasiswa.

Dalam usaha membendung gerakan perlawanan tersebut, militer mulai berkamuflase di hadapan mahasiswa dengan mengajak mahasiswa melakukan dialog secara damai. Akan tetapi, mahasiswa berhasil membaca maksud terselubung ajakan dialog dari kalangan militer.

Ajakan tersebut hanya bertujuan untuk mengurangi gerakan perlawanan dan menjadi bentuk strategi oportunis yang bertujuan untuk meningkatkan popularitas diri kalangan militer. Keberhasilan melacak kamuflase kalangan militer berujung pada upaya Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI) untuk menuntut pencabutan dwifungsi ABRI.

Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI) dalam statement mereka pada 29 September 1999 merumuskan enam visi reformasi yaitu (1) Cabut dwifungsi ABRI, (2) Adili Soeharto dan kroni-kroninya atau pemberantasan KKN, (3) Tegakkan supremasi hukum, (4) Otonomi daerah seluas-luasnya, (5) Amandemen UUD 1945, dan (6) Budayakan demokrasi nasional dan egalitarianisme.

Apakah dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, militerisasi dan militerisme sebagai akibat dari militerisasi sudah benar-benar hilang pada era reformasi? Apakah tuntutan pencabutan dwi fungsi ABRI sungguh-sungguh berhasil diwujudkan pada era reformasi?

Secara tegas, saya menjawab belum sungguh-sungguh berhasil. Otoritarianisme Orde Baru memang berakhir, namun kultur politiknya menetap: anti-individualisme, anti-kritisisme, anti-intelektual, anti-HAM, anti-liberalisme, dan anti-komunisme.

Orde Baru digantikan dengan era reformasi, tetapi karakter Orde Baru yang mengkultuskan cara berpikir, nilai, dan sistem yang membelenggu manusia di dalam cara kerja kepatuhan dan ketakutan tetap eksis pada era reformasi.

Yang terjadi sejak 1998 bukan revolusi, melainkan reformasi. Revolusi adalah perubahan sistem politik, namun secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar konstitusi dan pengingkaran atas lembaga pemerintah.

Sebaliknya, reformasi adalah perubahan sistem politik baik secara cepat ataupun gradual melalui cara-cara kontitusional dan melalui berbagai lembaga pemerintahan yang ada.

Sebagian besar kekuatan Orde Baru mengalami re-form-asi: ganti baju, ganti penampilan tetapi dengan mempertahankan kedudukan dan hak-hak istimewa warisan Orde Baru.

Cara-cara militeristik yang digunakan di kalangan warga masyarakat biasanya membidani lahirnya ketakutan semu terus berlanjut di era reformasi. Di atas ketakutan tersebut diletakkan bangunan kekuasaan.

Bermodalkan ketakutan yang telah dibentuk, kekuasaan digalang, dilaksanakan dan dilanggengkan. Biasanya cara-cara seperti ini menjamin tercapainya hasil dalam waktu yang singkat namun dengan risiko ketakutan semu masyarakat membuat mereka menjadi orang-orang yang munafik. Mereka taat bukan karena sadar bahwa taat itu penting tetapi semata-mata karena takut ditindas dan dihukum.

Dengan latar belakang seperti ini, maka militerisme mesti dibedakan dari militer, walaupun keduanya mempunyai kaitan yang sangat erat. Menerima dan mempraktikkan militerisme berarti melebarkan ruang keberlakuan prinsip-prinsip kerja militer.

Sebaliknya, menolak militerisme sebenarnya berarti menempatkan militer pada posisi yang sebenarnya yaitu sebagai institusi yang fokus pada upaya menjaga keamanan bangsa Indonesia. Kalau demikian, menolak militerisme tidak selalu berarti menolak militer.

Menolak militerisme berarti menolak pemberlakuan pendekatan-pendekatan militer di dalam kehidupan politik. Pendekatan-pendekatan militer dapat dibenarkan dalam lingkup militer, tetapi akan menjadi sebuah problem berbahaya jika diterapkan untuk menyelesaikan semua persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.

Militer perlu memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil untuk berusaha mencari jalan sendiri untuk mengatasi konflik secara damai dengan menolak penggunaan kekerasan.

Patut diakui bahwa berbagai konflik yang secara cepat menjadi konflik berdarah dan yang dapat membahayakan integrasi bangsa ini di banyak wilayah di negara kita adalah akibat dari ekspansi pola penyelesaian konflik secara militer.

Sebenarnya, dengan menolak militerisme orang menghendaki agar militer menjalankan perannya yang khas dan perlu secara profesional. Pola pikir dan strategi militer mempunyai ruang tertentu, yaitu di dalam lingkungan militer, untuk soal-soal yang secara tegas sudah didefinisikan dan harus ditaati secara total.

Menolak militerisme berarti memberikan penghargaan terhadap militer dan memberikannya tempat sesuai dengan fungsinya yang benar di dalam sebuah negara demokrasi.

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Teologi di IFTK Ledalero, Maumere

spot_img
TERKINI
BACA JUGA