Mbay, Ekorantt.com – Tanaman padi sawah tumbuh subur menghijau di dataran persawahan Boanio di Desa Nataia, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejauh mata memandang, lahan sawah yang terletak pada sisi utara ruas Jalan Aegela (pertigaan Trans Flores dari Ende-Ngada-Labuan Bajo) menuju Mbay ibukota Nagekeo menawarkan kesejukan kepada setiap tatapan yang melintasi ruas jalan tersebut.
Areal persawahan Boanio merupakan lahan sawah tadah hujan, tempat warga Desa Nataia dan desa-desa tetangga menggantungkan hidupnya. Setahun sekali ditanami padi sawah memanfaatkan limpahan air hujan. Bila masih ada hujan sisa setelah panen, mereka akan menanami jagung dan kacang hijau.
Curah hujan tinggi sejak akhir 2024 hingga sekarang membawa asa bagi petani. Panen melimpah menjadi harapan petani dari setiap cucuran keringat dan terik siang menyengat.
Kendati demikian, mimpi untuk memanen hasil yang melimpah tak seiring kemampuan petani mengolah dan merawat tanaman padi. Tak punya uang untuk ongkos bajak sawah, beli pupuk, obat-obat hama, dan ongkos tenaga kerja selalu dialami menjelang musim tanam.
Tak ayal banyak petani yang terjebak dalam perangkap rentenir yang menawarkan bunga pinjaman mingguan yang tinggi. Rentenir dianggap sebagai ‘penyelamat’ dalam mengatasi kesulitan uang.
Uang pinjaman akan dibarter dengan sejumlah karung padi ketika telah panen. Sudah menjadi cerita umum bila rentenir datang ke sawah-sawah menunggu petani panen.
“Selama ini seringkali kami dengar banyak petani di sana pinjam uang ke rentenir untuk olah sawah. Prosesnya gampang sekali, hari ini mereka butuhkan uang langsung diberikan. Harganya ditentukan rentenir, jauh di bawah harga pasar,” cerita Eman Sargosa Loke, Ketua Komite Kopdit Pintu Air Cabang Mbay, kepada Ekora NTT pada Rabu, 26 Februari 2025 di Mbay.
Kopdit Pintu Air Cabang Mbay kemudian menawarkan program Jemput Bola (Jempola) yakni pelayanan cepat melalui pemberian modal bagi pelaku UMKM dengan modal minimal Rp5 juta meski yang bersangkutan belum menjadi anggota. Program tersebut digagas tiga tahun silam.

Sosialisasi produk-produk Kopdit Pintu Air, pinjam-simpan model Jempola berhasil menyadarkan belasan orang perempuan petani sawah di awal 2025. Pagu pinjaman sebesar Rp 5 juta dengan dipotong untuk simpanan anggota baru, simpanan saham, administrasi, dan dana solidaritas.
Anggota membawa pulang Rp3,2 juta yang dirasa cukup untuk ongkos bajak sawah, membeli pupuk, obat-obatan dan ongkos tenaga kerja lahan sawah rata-rata seperempat hektar milik setiap petani.
Sejumlah 16 petani asal Boanio, Nataia dan beberapa orang dari Aesesa teratasi kesulitan uang dengan memanfaatkan Jempola dari Kopdit Pintu Air. Mereka lega telah menjadi anggota Kopdit Pintu Air, memiliki saham hingga terlindungi kesehatannya dan solidaritas duka.
“Petani di Boanio butuh proses cepat karena sudah terbiasa menanam serentak memanfaatkan hujan, sehingga jarang terserang hama penyakit. Pemupukan dilakukan sekali,” cerita Eman.
Tak hanya menyalurkan pinjaman, kata Eman, pendampingan kepada anggota yang dilaksanakan secara periodik, jaminan mengakses pinjaman lebih besar bila Jempola telah dilunasi, menjadi nilai lebih yang didapatkan petani di Baonio.
Servas Paga, 71 tahun, mantan Ketua Komite Kopdit Pintu Air Cabang Mbay membagi pengalaman serupa tentang kehidupan para petani di Boanio, Lambo, Roe hingga Riung Barat yang memanfaatkan Jempola semenjak program ini diluncurkan.
Para petani yang sebelumnya terjebak pinjaman bunga harian atau rentenir beralih menggunakan Jempola untuk mengolah lahan sawah dan mengembangkan usaha-usaha lainnya.
“Mereka butuh uang cepat. Kalau kita terlambat layani pinjaman, terutama mama-mama akan pinjam ke koperasi harian yang langsung beri mereka uang,” imbuh Servas yang enam tahun memimpin Komite Kopdit Pintu Air Cabang Mbay.
Penulis: Eginius Moa