APBD untuk Rakyat

Oleh: Astra Tandang*

APBD adalah instrumen fiskal bagi pembiayaan layanan publik dan stimulan ekonomi produktif bagi perkembangan daerah. Namun, tampaknya alokasi fiskal tersebut cenderung tidak bergerak dalam kekuatan penuh, bahkan mandul.

Problem daya serap anggaran yang tidak optimal dan mutu administrasi pelaporan yang tidak patuh asas good budgetary governance, menjadi penyaki menahun sepanjang era desentralisasi. Fakta ekstirm lain ditunjukan juga dengan tidak proporsionalnya pos anggaran antara kepentingan publik dengan urusan pemerintahan.

Kemendagri mencatat, masing banyak kabupaten dengan realisasi belanja sangat lemah, di bawah 50 %. Misalnya, Kabupaten Yalimo, Mamberamo Raya, Mahakam Ulu, Pegunungan Arfak, Raja Ampat, Kupang, Muna, dan Takalar (Tempo, 1/12).

Di tengah rendahnya penyerapan anggaran tersebut, di pos belanja langsung masih didominasi oleh porsi belanja pegawai. Belum lagi ditambah tunjangan, honorarium, operasional pemerintah di pos belaja tak langsung. APBD yang semestinya menjawabi kebutuhan dan hak dasar masyarakat, akhirnya tidak terjadi.

Sengkarut

Ada banyak problem mengenai APBD, bahkan berlapis-lapis. Mulai dari dimensi teknokratik hingga politik. Merentang dari Jakarta ke daerah hingga bersumber dari internal tata kelola fiskal. Sependek pengetahuan penulis, sekurangnya ada tiga hal yang penting dicermati.

Pertama, ranah perencanaan dan penganggaran adalah arena kontestasi politik. Tidak mengherankan jika fase pembahasan APBD di beberapa daerah kerap molor atau melampaui tenggat.

Selain akibat dari substansi perencanaan yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam kerangka anggaran, namun juga akibat dari beragamnya kontestasi kepentingan. Misalnya, terkait apakah lebih menguatamakan pada prioritas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau perencanaan pembangunan yang disodorkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Di sisi yang lain, fase penganggaran menjadi gerbang pembuka bagi determinasi kepentingan kepala daerah dan ruang intervensi politik anggota DPRD yang kerap berdiri dengan dalil aspirasi daerah pemilih (dapil).

Karena itu, jika proses perencanaan didominasi proses teknokratik (pemda) ketimbang proses partisipatif (publik/musrembang), maka di ranah penganggaran acap kali didominasi kepentingan  kepala daerah dan DPRD dengan praktik buru rente. Memutus mata rantai permainan ini hanya dimungkinkan jika DPRD dilibatkan secara penuh dalam proses perencanaan.

Sedangkan fase penganggaran, DPRD jangan dilibatkan sama sekali dalam pembahasan satuan tiga, yakni mengenai proyek, alokasi, dan lokasi. Keterlibatan akhir DPRD dalam memberi persetujuan di paripurna tetap dilakukan.

Kedua, adanya politik pembiaran birokrasi di ranah implementasi. Banyak terjadi di lapangan para birokrat senior yang memiliki integritas kuat, memboikot di tahap implementasi anggaran. Implementasi memang menjadi domain penuh para admistrator program, sehingga memungkinkan kepentingan politik yang dimasukkan dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak mereka kerjakan.

Di lapangan, jarang kita lihat para birokrat senior mau menjadi pemimpin proyek (pimpro), karena mereka sadar betul bahwa mereka tidak mau menjadi tumbal politik dari aksi perburuan rente para politisi. Selain di sisi yang lain, para birokrat ini menyadari bahwa anggaran yang dibuat banyak tidak tepat sasaran.

Membenahi hal ini, tentu diutamakan instrumen pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan keuangan harus bekerja lebih efektif.

Ketiga, fenomena November syndrom. Fenomena ini sudah menjadi rahasia publik, di mana para birokrat atau institusi pemerintahan belomba-lomba untuk membuat kegiatan hanya bertujuan untuk menghabiskan anggaran. Beragam alasan dibaliknya.

Misalnya, aggaran harus terserap semua agar mengamankan porsi penerimaan anggaran tahun berikutnya. Atau agar terkesan pemerintah berkinerja baik dengan idikator anggaran yang terserap maksimal.

Bisa juga kita menilai, praktik semacam ini hanya menegaskan posisi pemerintah yang jauh dari kerja pengadministrasian keadilan sosial. Perilaku semacam ini, sungguh tidak akan menyelesaikan problem-problem utamanya yang ada di daerah.

Mengelola Dilema

Di tiap tahapan mulai dari perencanaan hingga implemnetasi, APBD pasti selalu ada potensi penyelewengan dan tidak representatif dengan kebutuhan warga. Karena itu pengawasan dari publik itu penting. Selain itu, karena tampaknya di beberapa daerah, pembicaraan mengenai ABPD terasa sangat elitis, yaitu hanya antara legislatif dan eksekutif. Rakyat yang menjadi domain beroperasinya APBD malah sulit untuk ikut terlibat.

Soal ini, bisa kita belajar dari kasus rencana pengadaan tiga unit mobil dinas baru untuk anggota DPRD Kabupaten Mangarai Timur tahun 2022, yang pada akhirnya dibatalkan karena protes publik yang masif.

Pengawasan juga akan semakin muda dilakukan, jika pemda menyiapkan platform digital yang memuat dokumen-dokumen penting dalam perencaanaan dan pembahasan APBD sehingga masyarakat tidak kekurangan informasi terkait APBD.

Lebih dari itu, dibutuhkan leadership style kepala daerah yang berani dan berkomitmen pada tata kelola birokrasi yang transparan dan akuntabel. Juga para politisi yang memiliki keluasan pengetahuan dan sikap keberpihakan kepada kepentingan publik.

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Koordinator Intermediary Voice.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA