Oleh: Gerardus Kuma*
Pada penghujung tahun pelajaran, orang tua yang anaknya akan lulus di jenjang pendidikan tertentu pasti mengalami momen bahagia sekaligus memusingkan. Bahagia karena anaknya menamatkan pendidikan pada jenjang tersebut. Memusingkan karena selain harus memikirkan pendidikan lanjut pada jenjang lebih tinggi, orang tua juga harus menanggung beban biaya acara kelulusan siswa.
Orang tua siswa melontarkan protes dan kritik atas kegiatan wisuda yang hanya memboroskan anggaran dan memberatkan mereka. Akun Instagram Mendikbudristek Nadiem Makarim pun menjadi sasaran dari kekesalan orang tua murid.
Secara tradisi, wisuda hanya dilakukan di tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa yang diwisuda adalah mereka yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, baik itu strata satu, strata dua, maupun strata tiga. Dalam kelulusan ala wisudawan, mahasiswa yang diwisuda menggunakan toga, topi, sleber, samir, gordon.
Entah dimulai oleh siapa dan sejak kapan, tradisi wisuda ini diadopsi untuk dilaksanakan bagi anak-anak dari tingkat TK hingga SMA. Dengan alasan sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas pencapaian akademik maupun non akademik siswa pada jenjang pendidikan tertentu; juga sebagai motivasi dan inspirasi dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kegiatan wisuda dipaksa-terapkan di jenjang pendidikan yang tidak seharusnya.
Dalam acara wisuda ini, sekolah harus menyewa pakaian wisuda beserta atributnya, gedung atau hotel kegiatan, memesan makanan, dan fasilitas lainnya. Semua biaya wisuda ini dibebankan kepada orang tua siswa. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, misalnya, perayaan wisuda salah satu TK menghabiskan dana Rp500.000 per anak (Kompas.id, 24/06/2023).
Kapitalisme
Fenomena wisuda dengan segala kemewahan merupakan dampak dari kapitalisme yang telah merasuki dunia pendidikan. Kapitalisme di sini diartikan sebagai masuknya bisnis dalam dunia pendidikan. Di mana semua aset yang dimiliki pendidikan dijadikan barang modal yang mendatangkan keuntungan. Sekolah dijadikan lahan bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Kegiatan wisuda yang ramai digelar belakangan ini sebenarnya hanya seremonial semata. Namun orang tua siswa dipaksa merogoh kocek karena biaya wisuda yang tidak sedikit. Ini karena dalam acara wisuda ada bisnis yang dijalankan. Ada sewa pakai pakaian wisuda, sewa gedung, sewa tukang foto, pemesanan makanan, dan lainnya.
Ketika kapitalisme merasuki dunia pendidikan, jeritan orang tua siswa dari keluarga kurang mampu tidak akan di dengar. Di sini kehadiran pemerintah dibutuhkan agar pendidikan tidak menjadi barang mahal yang hanya dapat diakses oleh orang berduit.
Surat Edaran “Karet”
Menanggapi fenomena wisuda pada tingkat TK–SMA, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023 tentang kegiatan wisuda pada satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar, dan satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah.
Surat edaran yang ditanda tangani Sekretaris Jenderal, Suharti, memuat tiga poin. Salah satu poinnya adalah mengimbau Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten, dan Kepala Satuan Pendidikan agar tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan yang bersifat wajib dan pelaksanaan kegiatan wisuda tidak boleh membebani orang tua/wali peserta didik.
Membaca surat edaran tersebut, tentu disayangkan karena surat tersebut tidak tegas. Sebagai sebuah imbauan, surat edaran tersebut bersifat karet. Isi surat edaran tersebut tidak tegas melarang kegiatan wisuda, walau tidak juga mewajibkan kegiatan wisuda. Artinya sekolah masih diberi peluang mengadakan ritual ini.
Ini berarti surat edaran Kemdikbudristek tersebut tidak menjawab keluhan orang tua siswa yang menginginkan pemerintah dengan tegas melarang kegiatan wisuda untuk tingkat TK-SMA. Ketika pemerintah masih membuka peluang bagi sekolah mengadakan wisuda, walau harus melalui kesepakatan bersama orang tua siswa dan komite sekolah, setiap sekolah selalu ingin menampilkan terbaik. Ujung-ujungnya acara wisuda tetap dijalankan dan dikemas dengan meriah.
Berdasarkan pengalaman saya sebagai guru, setiap kegiatan yang diadakan di sekolah, termasuk kegiatan wisuda, selalu dibahas bersama dalam rapat orang tua siswa bersama komite sekolah. Bila orang tua menyetujui, maka akan dilaksanakan.
Persoalannya adalah dalam musyawarah bersama ini, sering dipakai suara mayoritas. Artinya bila sebagian besar orang tua siswa menyetujui, sebuah kegiatan, wisuda misalnya, akan dilaksanakan. Di sini suara minoritas tidak didengar. Akibatnya mereka yang menolak harus mengikuti kemauan yang setuju. Orang tua siswa, walau hanya satu orang, yang tidak setuju tetap harus mengikuti keinginan mayoritas yang setuju.
Bila pemerintah sunguh-sungguh memahami protes orang tua siswa, pemerintah seharusnya berdiri bersama suara minoritas yang sering kali tidak didengar. Karena yang diharapkan dari suara minoritas adalah sebuah sikap tegas dari pemerintah melarang kegiatan wisuda. Pemerintah sepatutnya mendengarkan suara kaum tak bersuara (voice of the voiceless) yang selalu kalah berhadapan dengan suara mayoritas.
Solusi Merayakan Kelulusan
Lalu apakah kelulusan siswa tidak boleh dirayakan? Tentu tidak. Setiap kelulusan/keberhasilan pantas untuk dirayakan. Namun perayaan tersebut jangan berlebihan. Kelulusan bisa dirayakan secara sederhana. Tidak dengan menguras habis kantong ekonomi orang tua murid; juga jangan sampai diekspresikan dengan cara negatif.
Sebelum keluhan terhadap fenomena wisuda mencuat, kritik terhadap perayaan kelulusan siswa sudah sering dilontarkan. Hal ini karena perayaan kelulusan, terutama di tingkat SMP dan SMA, selalu disertai tindakan destruktif siswa. Selalu saja ada aksi-aksi yang tidak simpatik dan meresahkan masyarakat yang mewarnai perayaan kelulusan siswa.
Dalam merayakan kelulusan, siswa sering melakukan konvoi yang membuat macet lalu lintas, bersikap ugal-ugalan di jalan raya, pesta dan mabuk-mabukan, mencoret pakaian, telanjang dada, dan tindakan asusila lainnya.
Kita tentu merasa prihatin dan khawatir dengan sikap anak-anak dalam merayakan kelulusan secara negatif. Tindakan negatif tersebut tentu saja mencoreng lembaga pendidikan sebagai tempat untuk memanusiakan manusia. Karena itu orang tua dan guru perlu memfasilitasi perayaan kelulusan yang sederhana dan jauh dari tindakan destruktif.
Maka, penting sekali sinergisitas antara sekolah dan keluarga untuk menghindari euforia kelulusan siswa yang menimbulkan efek destruktif. Orang tua dan guru harus mewadahi perayaan kelulusan siswa dengan kegiatan yang lebih beradab dan sederhana agar aksi-aksi yang meresahkan dan merugikan masyarakat dapat dihindari.
Kegiatan positif dan sederhana dalam perayaan kelulusan siswa yang bisa dijalankan misalnya melakukan aksi sosial. Siswa yang lulus diajak untuk membagi sembako bagi keluarga miskin, membersihkan fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah, jalan atau lorong desa
Siswa juga bisa diarahkan untuk mendonasikan pakaian seragam mereka bagi teman-teman adik kelas mereka. Bisa juga mengadakan pementasan seni. Atau kegiatan kerohanian, seperti doa bersama, rekoleksi, atau siraman rohani lain.
Ada banyak cara merayakan kelulusan siswa secara positif yang mengedepankan nilai moral dan edukasi. Orang tua dan guru dapat membangun sinergi untuk memilih salah satu kegiatan yang edukatif.
Intinya perayaan kelulusan siswa jangan sampai membebankan orang tua secara ekonomi dan mencegah siswa terlibat dalam aksi-aksi destruktif yang merugikan diri, meresahkan masyarakat, dan mencoreng marwah pendidikan.*
*Alumni Universitas Katolik Santu Paulus, Ruteng-Flores