Ruteng, Ekorantt.com – Komunitas Teater Saja Ruteng mementaskan teater bertajuk X-Ray Mission, mengangkat kembali warisan Wilhelmus Zakharia Johannes, perintis radiologi Indonesia. Melibatkan 40 seniman, teater tersebut berlangsung di Aula Efata, St. Aloysius Ruteng pada Sabtu, 14 Desember 2024.
Ketua Komunitas Teater Saja Ruteng, Retha Janu mengatakan penggarapan teater didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. “Ini adalah kali kedua Teater Saja menerima dukungan tersebut tahun ini,” kata dia.
X-Ray Mission, jelas Retha, merupakan puncak dari kerja keras selama 2 bulan terakhir, setelah keberhasilan program Sinema Mikro Teater Saja.
Sebelumnya Teater Saja berkolaborasi dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Indonesia, berfokus pada literasi film, screening film, penelitian arsip keluarga, dan pameran memori personal keluarga tentang pakaian.
Upaya Eksploratif
Produksi Misi X-Ray merupakan upaya eksploratif dari para seniman. Dari desain pencahayaan, tata suara, penggunaan kamera secara live, akting dan manajemen panggung, setiap orang memainkan peran penting dalam menghidupkan cerita.
Menurut Indah Baharun, Manajer Panggung X-Ray Mission, proses sinkronisasi kali ini lebih kompleks dari garapan lain yang dikerjakan sebelumnya.
“Kali ini sutradara ingin menggunakan bahasa visual film secara live. Jadi, untuk pentas ini saya juga harus banyak ngobrol dengan operator kamera dan operator komputer untuk menemukan sinkronisasi yang tepat,” kata Indah.
Dunia Orang Sakit
Berlatar keseharian di rumah sakit, adegan-adegan yang ditampilkan bercerita tentang kompleksitas psikis dunia orang sakit. Puncaknya terjadi pada adegan ketujuh yaitu ‘Adegan Dunia Berputar,’.
Ayah yang sakit (diperankan Elgi Ramut) bercakap-cakap dengan kedua putri yang menjaganya. Set diputar membawa mereka pada perjalanan lintas waktu. Konflik batin terjadi antara sang ayah dengan dua putrinya melalui percakapan-percakapan yang menyentak refleksi.
Kedua putrinya menuduhnya sibuk bekerja hingga tidak mempunyai waktu untuk mereka berdua. Tuduhan berlapis datang dari putri keduanya (diperankan Roshe), yang merasa selalu diperlakukan tidak adil, karena menyadari ia anak dari saudari, dan hanya menjadi beban bagi keluarga itu.
Ayah yang sakit tampak berusaha membela diri dengan alasan pekerjaan, tetapi itu tak menghentikan konflik di antara kedua putrinya. Ia kemudian berusaha menenangkan mereka: “Kalian jangan terlalu pikir.” Namun konflik tetap terjadi
Konfik-konflik yang terjadi di dunia orang sakit menghantar audiens pada refleksi mendalam. Boy Doreng, salah seorang penonton menyebutkan jika adegan demi adegan menampilan situasi keluarga di Manggarai umumnya.
“Kelurga juga turut sakit saat merawat orang sakit. Mereka mengalami konflik dan kelelahan psikis,” ujarnya.
Sementara itu, penonton yang lain, Renata Budiman mengungkapkan jika dirinya tersentuh dengan alur demi alur cerita.
“Kehadiran fisik kita di tengah keluarga ternyata bisa mempengaruhi kondisi psikis anggota keluarga yang lain,” ujarnya.
Proyek Lintas Disiplin
Bagi banyak peserta, bekerja pada Misi X-Ray lebih dari sekadar pertunjukan; proyek ini memadukan teater dan film. Else Poseng, yang sehari-hari bergiat di Komunitas Saeh Go Lino, berterima kasih karena terlibat dalam pertujukan ini. “Kebetulan saya sedang bebas, jadi ketika diajak, saya tidak ragu,” katanya.
Donny Abas, seorang penata suara di Teater Saja, menemukan kepuasan dalam mengerjakan sesuatu yang dia sukai. “Saya senang karena saya bisa melakukan apa yang saya sukai setiap hari,” katanya.
Bagi Nong Wejor, penata cahaya X-Ray Mission, kerja kali ini berbeda dari pentas-pentas Teater Saja Ruteng yang sebelumnya.
“Di pentas kali ini, kita tidak berusaha menampilkan dunia fisik rumah sakit, tapi lebih ke dunia psikis orang sakit dan orang-orang yang mengurus orang sakit,” jelas Nong Wejor.
Sementara Daeng Irman, penyelaras visual artistik X-Ray Mission, menjelaskan bahwa proyek memberikan tantangan tersendiri untuk menyelaraskan warna cahaya, set panggung, kostum, dan visual kamera.
“Kami ingin, meski banyak warna, mata penonton tidak lelah. Yang utama penonton bisa merasakan pengalaman seolah berada dalam dunia psikis orang sakit’” ungkap Irman.
Hal senada juga diungkapkan Tibortius Avi, penata panggung. “Pentas ini juga bersifat interaktif dan melibatkan operator kamera yang bergerak dinamis. Karena itu, kami harus mendesain set yang memudahkan sirkulasi,” ujar Avi.
Dihadiri 300 orang, pertunjukan ini menghubungkan penonton dengan pelbagai pengalamannya sendiri mengurus orang sakit. Ketika tirai jatuh, jelas bahwa “Misi X-Ray” tidak hanya menghormati warisan W.Z. Johannes tetapi juga menampilkan kompleksitas dunia orang-orang yang mengurus orang sakit.
Jurnalis Warga: Lolik Apung