Ende, Ekorantt.com – Surat undangan penerimaan laporan pendidikan (Lapen) SD Negeri 5 Ende, Kabupaten Ende menyulut polemik. Bagaimana tidak, undangan itu disertai catatan kecil di pojok bawah surat.
“Uang Lapen Rp20.000,” demikian catatan yang mesti diingat sebagaimana ditulis dalam surat yang ditandatangani oleh kepala sekolah Sisilia Sombo itu.
Hanya dalam sekejap, potret surat tersebut beredar luas di media sosial yang memantik beragam komentar warganet. Banyak di antara warganet yang mengecam tindakan sekolah yang diduga merupakan bagian dari aksi pungutan liar.
Lantas pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende memanggil Sisilia pada Jumat, 13 Desember 2024.
Kabid Pembinaan SD Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Ende Wendelinus D. Jalima, mengatakan bahwa pungutan tersebut tidak dibenarkan secara aturan.
Dalam pengakuan Sisilia, kata Wendelinus, pungutan itu sudah berlaku sejak tahun 2017.
“Itu kan kesepakatan dari tahun 2017, sekarang sudah 2024 jadi tidak boleh berlaku lagi, jadi tidak boleh lagi,” ujarnya.
“Ibu Kadis perintahkan untuk membuat surat resmi dan diumumkan kepada orang tua siswa bahwa kesepakatan yang dibuat tahun 2017 itu tidak berlaku lagi,” terangnya.
Mengenai pungutan yang berlaku sejak 2017, Wendelinus mengatakan bahwa “kejadian itu sudah lampau, jadi tidak perlu di cari tahu lagi, tetapi sesungguhnya kata dia itu juga tidak diperbolehkan.”
Minta Maaf
Sisilia sendiri telah meminta maaf kepada pihak dinas dan orang tua terkait isi surat yang beredar luas itu.
“Saya mengakui, saya minta maaf kepada Ibu Kadis dan Pak Kabid terkait dengan surat itu. Saya salah dan saya minta maaf,” ujar Sisilia saat ditemui di SDN 5 Ende, Sabtu, 14 Desember 2024.
Sisilia pun sudah membatalkan penerapan kebijakan pungutan tersebut melalui berita acara pembatalan dan dibacakan di hadapan orang tua saat pertemuan sebelum penerimaan laporan pendidikan.
Menurut Sisilia, kebijakan uang Lapen Rp20 ribu berangkat dari kesepakatan bersama orang tua murid dari tahun-tahun sebelumnya.
“Saya baru masuk Januari 2024. Saya hanya melanjutkan kesepakatan itu,” katanya.
Sisilia mengklaim, uang yang dipungut dari siswa saat menerima Lapen “sebenarnya bukan sebuah pungutan, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua murid” dan “itu sudah disepakati bersama.”
“Waktu itu pada saat rapat saya sudah sampaikan kepada orang tua siswa kelas 1 yang belum tahu, di sini terima Lapen biasanya ada uang 20 ribu, berapa saja keikhlasan hati dari orang tua, selama ini di SDN 5 begitu, apakah kita mau berlanjut atau tidak,” ujarnya. Orang tua siswa menyepakati itu, ujarnya.
Pemanfaatan uang tersebut, kata Sisilia, yakni untuk uang kedukaan, membeli perlengkapan kebersihan sekolah, serta membeli perlengkapan sekolah para siswa.
“Sering ditemukan kita di sini ada juga anak yang tidak ada kaus kaki dan juga bolpoin tidak ada, buku tidak ada. Wali kelas langsung beli pakai uang itu,” ungkapnya.
Sisilia mengklaim dirinya tidak mengetahui bahwa dalam surat edaran yang ia tandatangani itu tercantum besaran uang yang harus diberikan para siswa, karena “seharusnya itu keikhlasan, bukan kewajiban.”
“Kesalahan saya itu tidak koreksi surat itu justru langsung tanda tangan. Saya salah secara aturan, kalau sudah tertulis itu otomatis diharuskan. Itu sudah diteken dengan tandatangan saya, di bawah jelas ditulis Rp20.000,” ujarnya.
Ke depan, kata dia, sekolah tidak akan melakukan pungutan uang Lapen.
Sisilia juga berterima kasih kepada akun yang sudah memposting di media sosial, sebab baginya postingan itu mengingatkan dirinya untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan.
“Terima kasih, ini peringatan untuk saya. Supaya lebih bijak lagi dalam pengambilan keputusan,” ungkapnya.
Keberatan
Salah satu orang tua murid yang tidak ingin menyebut namanya mengaku keberatan dengan pungutan uang Lapen.
Menurutnya, kesepakatan awal pungutan uang Lapen hanya berlaku pada saat kenaikan kelas bukan pertengahan semester.
“Memang benar ada kesepakatan tetapi itu berlaku hanya pada saat pembagian laporan pendidikan kenaikan kelas, bukan pertengahan semester begini,” ujarnya.
“Kalau pada saat kenaikan kelas ya tidak apa, kita ikhlas untuk menyumbang, tetapi di pertengahan begini ya saya keberatan,” ungkapnya.
Berkaitan dengan adanya pembatalan pungutan uang Lapen tersebut ia mengaku senang dan bersyukur.
“Ya kalau itu keputusannya kami sangat senang, lumayan bisa beli ikan dan sayur,” tutupnya.
Selain uang laporan pendidikan, kata dia, pihak SDN 5 Ende juga meminta uang setiap satu pekan sebesar Rp2 ribu per siswa. Informasi yang dia dapatkan, uang itu dipakai untuk uang kas.
Sisilia saat dikonfirmasi mengatakan uang tersebut diperuntukkan untuk uang kas yang nantinya dipakai untuk membeli air minum untuk para siswa.
Namun dirinya membantah kalau pengumpulan dilakukan setiap minggu.
“Kas kelas itu untuk mereka beli air minum di kelas supaya anak-anak jangan beli di luar karena sekarang sudah larang jangan beli makanan ringan,” ujarnya.
Wendelinus mengaku belum mengetahui hal itu dan berjanji akan menelusurinya.
“Saya belum mendapatkan informasi dari orang tua, belum ada laporan soal itu, kebetulan ponakan saya juga sekolah di sana nanti saya coba cek di keponakan saya,” ujarnya.
Kata Wendelinus, pihaknya akan menyurati secara resmi sekolah-sekolah terkait larangan melakukan pungutan selain uang komite.
Apabila masih terdapat sekolah yang melakukan pungutan, kata Wendelinus, maka akan ditindak secara tegas.
“Kepada para kepala sekolah dasar untuk lebih cermat dalam memahami aturan supaya setiap kebijakan itu tidak bertentangan dengan aturan,” pungkasnya.
Penulis: Antonius Jata