Melihat Politik dari Perspektif Rakyat Desa

Oleh Iqra Anugrah*

Awal tahun saya diawali dengan sejumlah perjalanan yang menantang, namun juga mencerahkan. Saya memulai tahun 2019 dengan agenda penelitian lapangan mengenai politik sumber daya alam dan lingkungan – ini berarti keluar masuk kampung, blusukan, dan belajar langsung kepada para warga desa terutama mengenai pengalaman hidup mereka.

Alhasil, hampir setiap bulan saya selalu melakukan perjalanan ke luar Jakarta untuk pergi ke berbagai daerah di Indonesia, untuk sejenak melepaskan bias-bias urban dan kelas menengah saya dan berbincang dengan teman-teman petani, nelayan, dan perempuan desa di berbagai kampung.

Hasil blusukan ini membukakan mata saya akan banyak hal. Salah satunya, dan yang paling utama, adalah bagaimana rakyat desa melihat politik. Berbicara soal politik, apalagi politik di Indonesia, memang gampang-gampang ruwet. Narasi yang dominan membahasakan politik melulu soal prosedur elektoral, pembangunan, dan acap kali soal konflik antar elit.

Politik sesekali hingar bingar – lihat saja drama politik Indonesia dalam lima tahun terakhir ini – tetapi sebagian besarnya adalah business as usual: tentang sekelompok kecil elit dan oligark yang saling berbagi dan melanggengkan kekuasaan yang memanfaatkan polarisasi di antara para warga negara, yang prosedurnya dinormalisasi oleh aparatus-aparatus pembangunan.

iklan

Kawan-kawan saya di lapangan punya istilah yang asyik untuk menggambarkan kondisi tersebut: yang di bawah masih bacok-bacokan, yang di atas sudah makan-makan. Tetapi, bagi banyak warga desa yang saya temui, politik adalah sesuatu yang sangat riil dan lebih kaya dari segedar dramanya para elit.

Bagi para nelayan di Desa Sei Nagalawan di Serdang Bedagai, Sumatera Utara sana, politik adalah soal bagaimana mempertahankan hak melaut mereka dari para pengusaha kapal trawl besar yang mengeksploitasi sumber daya laut masyarakat lokal. Bagi para warga di Gojoyo, sebuah desa pesisir di Demak, Jawa Tengah, politik adalah soal bagaimana warga dan pemerintah mengusahakan hak atas pembangunan jalan dan penyediaan sarana publik yang layak bagi daerah-daerah terpencil.

Bagi para petani di Desa Santan Tengah di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, politik adalah soal bagaimana petani mempertahankan hak mereka atas sumber mata air dan ikan dari sungai mereka dari limbah korporasi tambang dan merayakan tradisi dan memori tentang desa yang asri.

Cerita-cerita inilah yang jarang terungkap dan hampir tidak pernah terangkat baik oleh media arus utama maupun diskursus politik dominan. Nyatanya, proses-proses politik dan pembangunan yang ada selama ini cenderung meminggirkan suara dan aspirasi dari lapisan masyarakat desa yang paling terpinggirkan dan tereksploitasi.

Politik elektoral yang kita rayakan hari ini, yang dianggap sebagai obat bagi seribu penyakit, nyatanya turut berkontribusi bagi letupan konflik dan perusakan sosio-ekologis yang kita hadapi hari ini. Ini karena arsitektur politik yang kita miliki hari ini justru memfasilitasi ekspansi kapital ke daerah pedesaan alih-alih melakukan kontrol terhadapnya.

Pengerdilan demokrasi sebagai prosedur elektoral-teknokratis semata, kampanye berbiaya tinggi yang bergantung kepada donasi korporasi dan oligarki, dan pembatasan atas ruang-ruang ekspresi bagi kedaulatan rakyat adalah sejumlah contoh cara yang dilakukan oleh rezim “demokratis” hari ini untuk melanggengkan kuasa kapital dan membungkam perlawanan rakyat desa terhadapnya.

Dengan kata lain, segala pembicaraan mengenai persoalan kerusakan lingkungan dan berkurangnya kualitas hidup di daerah pedesaan harus mengangkat persoalan kualitas demokrasi kita di tingkat lokal dan dampak kapitalisme kepada penghidupan dan lingkungan pedesaan.

Menyaksikan perusakan ruang hidup pedesaan yang terjadi secara massif akhir-akhir ini tentu membuat kita marah dan kecewa. Tetapi kita tidak perlu patah semangat, karena di setiap kekalahan selalu ada ruang-ruang untuk melakukan perlawanan menuju potensi kemenangan.

Lantas, bagaimana caranya memperluas ruang-ruang perlawanan itu? Kita bisa memulainya dengan menggali pengalaman dari rakyat desa itu sendiri. Gerak sejarah, menurut sejarawan kritis Inggris E. P. Thompson, bukan hanya didominasi oleh narasi elit, tetapi juga didorong oleh tradisi dan perlawanan dari rakyat pekerja itu sendiri. Karenanya, kita bisa memperluas ruang perlawanan dengan belajar dari berbagai catatan dan upaya perlawanan warga desa di ranah politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam mempertahankan hak-hak sosio-ekologisnya.

Dari situ, akan terlihat bahwa sejarah tidaklah melulu suram dan berisi gugusan kekalahan. Sejarah juga diisi oleh kegembiraan dalam melakukan perlawanan dan kemenangan-kemenangan kecil yang patut dirayakan dan dijadikan acuan. Perjuangan berbagai serikat-serikat rakyat di seluruh nusantara, perlawanan berbagai komunitas di belahan Indonesia Timur, dan segenap kemenangan-kemenangan kecil yang diraih melalui upaya-upaya tersebut juga patut untuk dipelajari strateginya dan diterapkan dalam aksi-aksi selanjutnya demi mencapai kemenangan yang lebih besar.

Konkritnya, ini berarti mempelajari aspek-aspek apa yang memungkinkan hak atas tanah dan pengelolaan hutan dimenangkan setelah aksi-aksi pendudukan lahan dilakukan, mengemulasi strategi gerakan sosial di beberapa wilayah konflik agraria yang berhasil memenangkan kader-kader terbaik mereka sebagai kepala desa progresif di masing-masing daerahnya, mencontoh praktik-praktik terbaik dari ekonomi kerakyatan, ekonomi solidaritas yang berbasiskan pengelolaan kolektif, entah itu berbentuk ekowisata, koperasi produksi, pertanian alami, hingga credit union, hingga menerapkan usulan-usulan kebijakan yang inovatif, partisipatoris, dan ramah lingkungan, seperti memberi komunitas yang paling terdampak atas investasi skala besar di industri ekstraktif hak veto atas ekspansi korporasi di komunitas mereka.

Apakah cerita-cerita dan usulan-usulan tersebut terdengar asing? Wajar saja, karena tatanan ekonomi-politik hari ini tidak memberi tempat bagi imajinasi politik yang berbeda, tentang cita-cita mengenai dunia yang lain dan lebih baik. Tetapi, dunia yang lebih baik, dimana keadilan sosial dan ekologis tercapai, adalah mungkin. Dan untuk mencpai cita-cita tersebut, kita harus bersedia mengubah cara pandang kita, termasuk cara pandang tentang dinamika politik hari ini.

Melihat politik dari perspektif warga desa, dengan demikian, adalah langkah awal yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita itu.

* Peneliti sosial dan Correspondent Fellow untuk New Mandala, Editor IndoProgress. 

 

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA