Oleh: Patrisius. E. K. Jenila
Kemiskinan erat kaitannya dengan kondisi ekonomi. Rumah tangga atau keluarga dikategorikan miskin karena kondisi ekonomi yang tak berkecukupan. Sandang, pangan, dan papan yang tak terpenuhi secara layak, dapat dikategorikan miskin.
Kemiskinan dilihat sebagai persoalan yang datangnya dari bawah yakni faktor individu; malas, kurang kreatif dan inovatif, cara berpikir/mindset, lingkungan sosial dan kultural. Singkatnya, kemiskinan dipengaruhi karena rendahnya sumber daya manusia.
Cara pandang di atas hampir mewarnai kehidupan sosial kita setiap hari. Karena dibangun lewat cara berpikir ini, kemiskinan dipahami sebagai persoalan individu, lingkungan sosial, dan kultural semata.
Menurut cara pandang ini, jalan satu-satunya bagi individu dan rumah tangga keluar dari kemiskinan ialah membangun beberapa hal seperti: keterampilan, inovasi, ubah mindset.
Yang perlu dilakukan ialah meningkatkan sumber daya manusia agar mampu memanfaatkan setiap peluang pasar.
Apakah cara pandang seperti ini salah? Tidak. Tetapi, cara pandang demikian sangat terbatas dalam mengenali faktor eksternal yang membuat individu dan rumah tangga menjadi miskin.
Cara pandang ini kurang serius melihat lebih jauh masalah kemiskinan, serta kurang kritis dalam menjelaskan persoalan kemiskinan. Maka, tanpa mengurangi sudut pandang di atas, kita mesti bertolak dari cara pandang dan pendekatan lain yakni pendekatan dan cara pandang struktural.
Cara pandang struktural menekankan pada ‘relasi kekuasaan’ lewat kepengaturan dan pengkondisian suatu masyarakat terkait kondisi yang mereka hadapi. Ini melibatkan negara dan pasar di satu pihak, dan masyarakat (petani) di lain pihak.
Di pandang dari cara pandang struktural, kemiskinan tidak selamanya dipengaruhi karena minimnya keterampilan dan rendahnya sumber daya petani. Ini menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan di kalangan petani di NTT sangat berkait kelindan dengan bagaimana dan dengan cara ‘pengaturan’ (negara dan pasar) sehingga petani terjebak dalam kemiskinan.
Masuknya agenda kapitalisme yang hadir lewat komersialisasi dan komodifikasi di sektor pertanian juga menciptakan kemiskinan di kalangan petani.
Kemiskinan dan Minat Bertani
Pemerintah Pusat menetapkan Provinsi NTT masuk kategori miskin dengan persentase kemiskinan di angka 19,96 persen dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 1.141.110 jiwa dengan garis kemiskinan per kapita sebesar Rp507.203 per bulan (Kompas.com; 14/10/2023).
Cukup tingginya angka kemiskinan di NTT sebetulnya perlu dilihat lebih kritis pada soal bagaimana dan mengapa NTT masuk kategori miskin. Padahal, dengan potensi pariwisata, pertanian, dan peternakan – mengapa NTT masih berkubang dalam kemiskinan?
Padahal kalau kita kaji dari Laporan Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 – Tahap I Provinsi NTT dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT tahun 2023 ditemukan sebanyak 901.801 jumlah Usaha Pertanian Perorangan (UTP).
Angka ini menurun sebesar 2,85 persen jika dibandingkan dengan jumlah Usaha Pertanian Perorangan tahun 2013 sebanyak 928.269 unit.
Sementara, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) sebanyak 873.096 rumah tangga. Angka ini naik sebesar 12,10 persen dari tahun 2013 sebanyak 778.854 rumah tangga (BPS, 2023).
Laporan itu juga menemukan data terkait jumlah petani umur 19-39 tahun atau yang disebut sebagai petani milenial terbagi ke dalam dua kelompok besar. Petani milenial yang menggunakan teknologi digital sebanyak 50.877 orang dan petani yang tidak menggunakan teknologi digital sebanyak 174.306 orang (BPS, 2023).
Ini menunjukkan bahwa sebagian penduduk di NTT masih menggantungkan nasib pada sektor pertanian sebagai tumpuan ekonomi.
Ketergantungan pada sektor pertanian bagi pendapatan rumah tangga telah menjadi ‘harapan hidup’ sebagian masyarakat di NTT. Namun, mengharapkan pendapatan ekonomi keluarga dari bertani tentu juga bermasalah.
Sebab, selain faktor iklim, faktor lain yang lebih berdampak langsung bagi petani ialah harga komoditas pasaran yang fluktuatif dan tak menguntungkan petani.
Ada kesan permainan harga di pasar, seperti komoditas kakao, cengkih, kopi, kemiri, kopra, dan berbagai jenis komoditas lain, sudah menjadi rahasia umum di kalangan petani.
Petani Dalam Pusaran Kemiskinan?
Untuk memenuhi kebutuhan hariannya, petani harus rela meminjam uang di koperasi dan bank dengan jaminan sertifikat tanah. Petani menggadaikan sertifikat tanah dengan harapan pihak bank dan koperasi bisa meminjam uang senilai yang mereka butuhkan.
Tentu kesepakatan itu tidak berhenti di situ, melainkan ada kesepakatan lain yang harus dipenuhi oleh petani. Ini berkaitan dengan bunga pinjaman, katakanlah bunga pinjaman 5 persen dari nilai pinjaman. Pinjaman plus bunga pinjaman, yang harus dibayarkan oleh petani sampai pelunasan pinjaman.
Karena dibangun lewat relasi yang sifatnya ‘ekonomistik’, maka petani harus tunduk pada hukum kerja pasar. Hukum kerja pasar mendudukkan petani dalam posisi yang amat rentan: harus mau dan bersedia mematuhi aturan main pinjaman, bersedia memberikan jaminan, dan harus melunasi utang pinjaman sesuai waktu yang ditentukan.
Dalam posisi yang seperti ini, kerja di pihak petani tidak lagi dimaknai sebagai sebuah aktivitas berproduksi untuk mendatangkan nilai ekonomi bagi diri dan keluarganya.
Kerja telah bergeser menjadi sebuah aktivitas ‘keterpaksaan’ karena ditekan oleh tuntutan akan pembayaran dan pelunasan beban pinjaman di bank maupun di koperasi. Ini makin memberatkan bagi petani dengan lahan terbatas yang disebut sebagai petani gurem.
Bagi petani gurem, produksi pertanian di atas lahan sempit yang hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ditambah tekanan bunga pinjaman dan pelunasan utang, kehidupan mereka makin terpojok dan terjepit di bawah tekanan pasar.
Sayangnya, negara kurang serius (bahkan abai) pada problem di kalangan petani, persis ketika mereka terjebak dalam pusaran kemiskinan.
Menurut saya, persoalan petani di atas tidak terletak pada apa yang diklaim sebagian orang, karena tidak kreatif, inovatif, mindset/cara pikir lemah, malas bekerja, dan lain-lain.
Tetapi, menurut saya, karena negara kurang serius dalam meletakan masalah tersebut ke jantung kebijakan (policy). Alhasil, petani kian terperosok dalam kemiskinan.
Ketidakseriusan negara, menurut saya, merupakan penggambaran dari ‘pengkondisian’ yang justru dimanfaatkan pasar untuk mendudukkan petani yang makin terjepit. Kemiskinan akhirnya hadir lewat relasi semacam ini.
Teknikalisasi Masalah
Tania Murray Li (2021) dalam bukunya ‘The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia’ mengenalkan konsep teknikalisasi masalah (rendering technical), yang rujukannya ia kembangkan dari Ferguson.
Teknikalisasi masalah, menurut Tania Li, ialah suatu penafsiran segala centang perentang persoalan menjadi sekadar urusan teknis belaka.
Teknikalisasi masalah dapat dengan mudah kita amati dari berbagai program pemerintah, yang berencana mengentaskan kemiskinan, tetapi justru tak menjawab masalah. Sebagai misal, pemerintah membuka keran investasi di sektor pertambangan geotermal di Mataloko dan Poco Leok, dengan narasi besarnya, meningkatkan pendapatan asli daerah dan menggenjot pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Padahal, selain merusak lingkungan dan pertanian warga, proyek ini sama sekali tidak mendorong adanya pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat lingkar tambang.
Negara seharusnya mendorong adanya program pertanian warga yang lebih ramah pasar. Selain itu, yang tak kalah penting, mendorong adanya reforma agraria skala kecil di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Bagi petani yang memiliki lahan, negara bisa menyubsidi berbagai kebutuhan pertanian mereka dan mendorong petani ini agar mandiri dalam mengelola lahan garapannya dan menjamin harga komoditas di pasaran yang bisa menyerap hasil pertanian petani.
Bagi petani yang tak memiliki lahan, negara bisa mendistribusikan lahan dengan menyubsidi berbagai kebutuhan pertanian. Distribusi lahan menjadi sangat penting bagi petani jenis ini, agar mereka mampu mengintensifkan lahan pertanian.
Tanpa menyentuh kebijakan dengan cara ini, negara malah menjauh dari akar masalah kemiskinan. Bahwa kemiskinan bukan hanya soal cara pikir, tidak inovatif dan kreatif, tetapi lebih pada soal ‘kepengaturan’ macam apa dan bagaimana negara hadir menyelesaikannya.
*Alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta