Desakan Pasar dan Dinamika Agraria di Kalangan Petani di Flores

Petani di Flores, kalau kita amati, berada dalam ruang pasar yang menghendaki mereka untuk mengambil tindakan ekonomi yang didasari, tidak lagi berpegang pada ‘nilai subsistensi’

Oleh: Patrisius. E. K. Jenila

Petani di Flores sangat bergantung pada pasar. Karena aktivitas ekonomi diperantarai lewat pasar. Dalam ruang pasar, petani hadir sebagai ‘subjek’ dan sebagai ‘objek’ bagi bekerjanya pasar.

Sebagai subjek, petani adalah aktor yang menggerakkan pasar, sekaligus menentukan keberlanjutan pasar. Sementara sebagai objek, petani merupakan manifestasi dari modal yang memberikan nilai (value) bagi pasar.

Penting dicatat, pasar di sini tak merujuk pada perspektif dominan yang mendefinisikan pasar sebagai aktivitas bertemunya individu (penjual) dengan individu lain (pembeli).

Pasar dalam tulisan ini tak merujuk sebagai peluang yang memungkinkan setiap orang dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan (profit). Tetapi, pasar di sini dimaknai sebagai ‘desakan’, yang memiliki implikasi lebih lanjut pada bekerjanya pasar.

Tulisan ini mendiskusikan problem keseharian petani di Flores, yang mengalami ‘dinamika agraria’ sebagai respons atas ‘desakan pasar’. Desakan itu mewujud dalam banyak ragam, yang membentuk apa yang disebut Tania Murray Li (2022) sebagai “keadaan sehari-hari yang tidak terkenali”, tetapi mengandung dimensi kompetisi demi laba, akumulasi tanah, maksimalisasi keuntungan hingga pemagaran tanah (enclosure) yang dilakukan secara diam-diam.

Ini bukan efek dari peluang pasar. Tetapi desakan pasar yang mengakibatkan petani terpojok dalam ruang pasar. Tetapi, pasar tetap menghendaki keberadaan mereka sebagai subjek sekaligus objek bagi bekerjanya pasar.

Tak heran, dalam ruang pasar seperti ini, kita dapat mengamati realitas ketimpangan agraria di kalangan petani.

Kita bisa bertanya, misalnya, mengapa petani A memiliki banyak tanah, petani B memiliki satu bidang tanah, petani C menjadi buruh tani di petani A, sementara petani D memilih migrasi ke kota untuk bekerja. Apakah fenomena itu dibentuk secara alamiah?

Menurut saya, mengamati tingkat rasio penguasaan tanah di kalangan petani merupakan titik awal yang bisa menjelaskan fenomena itu.

Pasar Sebagai ‘Desakan’

Tanpa mengurangi perspektif dan temuan lain terkait persoalan petani di Flores, seperti kasus perampasan tanah (land grabbing) yang marak belakangan, seperti di Poco Leok. Tulisan ini mengambil sedikit rute yang berbeda dalam menjelaskan persoalan petani di Flores.

Persoalan itu mesti didudukkan dalam konteks bekerjanya pasar sebagai sebuah ‘desakan’, yang mendorong petani untuk berkompetisi demi laba lewat praktik keseharian mereka, seperti akumulasi tanah atau terperangkap dalam beban utang.

Konsep pasar sebagai ‘desakan’ (imperative) ketimbang sebagai ‘peluang’ (opportunity) dikaji oleh Ellen Meiksins Wood (2021) dalam buku yang berjudul “Asal-Usul Kapitalisme, Kajian Secara Menyeluruh”.

Meskipun fokus kajian Wood dalam buku ini lebih menggali asal-usul terbentuknya kapitalisme atau pasar kapitalis. Tetapi penjelasannya mengenai pasar sebagai ‘desakan’ dapat berguna untuk menjelaskan dinamika agraria dan persoalan petani di Flores.

Menurut Wood (2021), dalam masyarakat pasar, tindakan individu tak ditentukan oleh peluang dan pilihan, yakni penawaran (supply) bertemu dengan permintaan (demand) dan orang bebas untuk memilih dan menentukan komoditas atau jasa yang ditawarkan.

Sebaliknya, menurut Wood, karena aktivitas individu dan kelompok diperantarai lewat pasar, maka kecenderungannya adalah orang akan berusaha memperoleh (menguasai) akses sebagai sarana kehidupan.

Di sini, tindakan itu tidak ditentukan oleh peluang atau pilihan sikapnya pada pasar. Tetapi, tindakannya merupakan suatu ‘desakan’ (imperative), yang mendorongnya untuk tetap berada di ruang pasar. Dalam ruang pasar ini, setiap orang sebagaimana menurut Wood, membentuk relasi sosial berdasarkan pada ‘relasi komoditas’.

Karl Marx menyebut relasi ini sebagai ‘fetisisme komoditas’, yakni “ketika relasi antara manusia diperantarai oleh proses pertukaran komoditas, maka relasi sosial antara manusia akan muncul sebagai relasi di antara benda” (dalam Wood, 2021).

Relasi komoditas ini membentuk ‘desakan-desakan’ yang mengarah pada kompetisi, akumulasi, maksimalisasi keuntungan, dan peningkatan produktivitas kerja (Wood, 2021).

Bagaimana menjelaskan ‘desakan pasar’ dalam konteks dinamika agraria dan persoalan petani di Flores?

Dinamika Agraria

Untuk memahami desakan pasar, maka penting dimulai dari ekspansi kapitalisme. Ekspansi kapitalisme di sektor pertanian telah mengubah pola pertanian yang semula berdasar pada pertanian subsistensi menjadi pertanian yang sifatnya kompetitif dan akumulatif (kapitalis).

Dalam pertanian subsistensi, misalnya, petani lebih menekankan pada pemenuhan hak dasar mereka sebagai petani. Di sini yang diutamakan ialah, pertanian mereka mampu menyediakan kebutuhan dasar para petani.

Namun, perkembangan sektor pertanian, yang disertai dengan tingkat kebutuhan pasokan makanan, maka pertanian subsistensi ini mulai ditinggalkan. Petani di desa-desa, yang semula bercorak subsisten, mulai mengadopsi jenis pertanian yang dapat memberi mereka nilai ekonomi yang menjanjikan. Pada titik ini, petani berpegang pada prinsip nilai ekonomi yang membentuk akumulasi dan maksimalisasi keuntungan.

Persis fenomena seperti ini terjadi di Flores. Petani di Flores, kalau kita amati, berada dalam ruang pasar yang menghendaki mereka untuk mengambil tindakan ekonomi yang didasari, tidak lagi berpegang pada ‘nilai subsistensi’.

Tetapi tindakannya memiliki kecenderungan mengakumulasi, maksimalisasi keuntungan, dan berkompetisi. Fenomena ini dapat dijumpai di hampir semua petani di daratan Flores.

Menurut saya, bergesernya pertanian subsistensi di kalangan petani di Flores, bukanlah suatu pilihan yang mereka ambil secara tiba-tiba. Bukan pula karena peluang pasar yang mereka dapatkan dari aktivitas pertanian. Tetapi, terletak pada ‘desakan pasar’ sebagai reaksi atas ekspansi kapitalisme di sektor pertanian di Flores.

Jika dalam pertanian subsistensi petani menekankan pada kolektivitas ekonomi, seperti gotong royong, saling berbagi, dan keharmonisan sosial. Maka dalam pertanian kapitalis, corak pertaniannya menjadi lebih kompetitif, yang mengarah pada tindakan akumulasi tanah dan maksimalisasi keuntungan.

Teknologi di sektor pertanian, meskipun menciptakan efisiensi bagi petani, tetapi juga ia serentak mengakselerasi dan memperlancar proses akumulasi, konsentrasi, dan maksimalisasi keuntungan. Jika kerja yang semula dapat dilakukan seorang buruh tani, maka teknologi memotong rantai itu untuk penciptaan efisiensi kerja dan padat modal.

Pada tingkat semacam ini, kita dapat amati perilaku ekonomi itu di masyarakat Flores. Para petani di Flores, sejauh pengamatan saya, berada dalam ‘desakan pasar’ yang mendesak mereka untuk mengambil aktivitas ekonomi yang sifatnya akumulatif ini.

Prosesnya melalui beragam cara, seperti akumulasi tanah, penguasaan teknologi pertanian, mengonsentrasikan modal (uang), dan penguasaan tenaga kerja (buruh).

Corak pertanian yang sifatnya akumulatif pada gilirannya akan menghasilkan dinamika agraria di kalangan petani di Flores. Dinamika agraria itu dapat dilihat dari tingkat penguasaan tanah di masyarakat. Karena sifatnya yang akumulatif, maka tingkat penguasaan tanah juga cenderung mengalami ketimpangan.

Kita bisa amati, misalnya, petani A menguasai berhektare-hektare luas sawah, petani B memiliki satu bidang tanah, petani C tak memiliki sebidang tanah, dan petani D memilih migrasi ke kota untuk mencari pekerjaan yang bisa menopang kebutuhan ekonomi keluarga.

Pertanyaannya, apakah itu merupakan proses yang alamiah? Apakah faktor individu seperti malas bekerja, minim inovasi pertanian dan rendahnya literasi pertanian sebagaimana kerap dikemukakan oleh banyak orang merupakan faktor tunggal terjadinya ketimpangan agraria?

Menurut saya, ‘desakan pasar’ sebagai respons atas ekspansi kapitalisme di Flores telah menciptakan dinamika agraria di kalangan petani.

Petani di Flores tak bisa menolak pada ‘desakan pasar’. Karena hampir semua aktivitas ekonomi diperantarai lewat pasar, yang di dalamnya tertanam prinsip kompetisi, akumulasi, dan penguasaan sarana produksi.

Bagi petani yang memiliki sumber daya berlebih, seperti tanah luas, modal (uang), teknologi pertanian, dan penguasaan tenaga kerja – dapat bersaing. Sementara, petani kecil atau buruh tani terjebak dalam lingkaran proletarianisasi, karena tak mampu bersaing dalam corak pasar kapitalis.

Apa Jalan Keluarnya?

Menurut saya, persoalan seperti ini tak bisa hanya dilihat di tingkat individu. Penting kiranya kita melihat fakta lain yakni yang oleh Tania Murray Li (2021) sebut sebagai “konteks ekonomi politik yang bekerja di masyarakat”.

Sebab kemiskinan di masyarakat Flores selalu beririsan dengan tingkat rasio penguasaan tanah di tiap rumah tangga, yang memungkinkan mereka menghasilkan nilai ekonomi dari lahan pertanian.

Di Flores, sependek pengetahuan saya, gereja Katolik dan pemerintah daerah punya banyak sumber daya, salah satunya tanah. Maka pelibatan gereja Katolik dan pemerintah pada persoalan ini amatlah penting dan mendesak. Gereja Katolik dan pemerintah harus hadir dan melibatkan diri pada persoalan petani di Flores.

Melalui skema reforma agraria skala kecil di tingkat daerah atau di tiap paroki, tanah yang tak terpakai bisa didistribusikan kepada rumah tangga yang tak memiliki lahan pertanian. Sementara, bagi petani lahan kecil, pemerintah dan gereja bisa mendorong penguatan melalui subsidi pupuk, modal, alat pertanian.

Gereja Katolik dan pemerintah daerah bisa memulai dengan membuat semacam bank data yang menghimpun data penguasaan tanah. Ini penting, tujuannya untuk mengetahui rasio penguasaan tanah dan memahami perkembangan pertanian petani. Melalui data ini, maka pengambilan kebijakan tepat sasaran.

Tentu jalan keluar seperti ini hampir mustahil dikerjakan oleh pemerintah dan gereja Katolik di Flores. Saya agaknya pesimistis, karena melihat sikap pemerintah dan gereja Katolik yang sedikit mengambil jarak pada urusan ‘distribusi tanah’ bagi masyarakat yang tak punya tanah.

Tetapi kita perlu mendorong agar gereja dan pemerintah harus punya perhatian pada masalah di kalangan petani di Flores yang makin terabaikan.


*Penulis adalah alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta

spot_img
TERKINI
BACA JUGA