Jean Loustar Jewadut*
Awal Oktober lalu, kita diramaikan oleh kasus yang terjadi di wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Persoalan ini kemudian menjadi bahan diskusi menarik di kalangan mahasiswa dalam proses pembelajaran di kelas.
De facto, tidak dapat dipungkiri bahwa ada konflik pembangunan antara pemerintah dan masyarakat adat di balik rencana perluasan wilayah pengeboran proyek geotermal di Poco Leok. Pemerintah mendorong pembangunan yang berfokus pada pengejaran keuntungan sebesar-besarnya dengan berbagai cara.
Hal ini menunjukkan keangkuhan dan keserakahan manusia untuk mengorbankan alam ciptaan dan orang lain demi keuntungan finansial jangka pendek.
Konsep filosofis cogito ergo sum dari Rene Descartes, ratusan tahun silam, justru berkiblat pada arogansi manusia yang menganggap dirinya sebagai yang paling penting dalam lingkungan karena hanya manusia yang memiliki kemampuan khusus untuk berpikir. Akibatnya, segala sesuatu di luar dirinya yang tidak dapat berpikir harus dikontrol oleh manusia.
Kemampuan berpikir adalah kemampuan yang memberikan legitimasi untuk semua tindakan manusia, bahkan ketika tindakan itu ternyata merugikan orang lain.
Kemampuan manusia untuk berpikir dapat dicapai melalui teknologi yang memungkinkan manusia mengeksploitasi alam untuk tujuan yang lebih besar daripada hanya memenuhi kebutuhan dasar.
Menurut Kleden (2019), positivisme menekankan kemampuan rasio pragmatis, yang membuat manusia memprioritaskan manfaat jangka pendek dari pemanfaatan alam.
Dalam ensikliknya Laudato Si, Paus Fransiskus mengakui betapa buruknya lingkungan kita, yang dirasakan sendiri oleh semua orang, terutama mereka yang miskin. Efek lebih lanjut dari kecenderungan manusia untuk menganggap dirinya sebagai bagian penting dari tata ciptaan adalah kejahatan terhadap alam yang menyebabkan kerusakan ekologis.
Akibatnya, manusia merebut hak alam ciptaan-Nya yang diberikan kepada mereka untuk dijaga, dilestarikan, dan digunakan dengan cara yang paling cerdas.
Paus Fransiskus menyebut tindakan eksploitasi manusia atas alam disebabkan oleh “antroposentrisme diktatorial” (Paus Fransiskus, LS, 68).
Hak kepemilikan tanah masyarakat kecil seringkali dilecehkan oleh pembangunan yang diboncengi oleh kepentingan ekonomi segelintir orang. Pembangunan seperti ini bertentangan dengan apa yang diharapkan masyarakat lokal untuk dilakukan.
Masyarakat lokal percaya bahwa politik pembangunan global dan nasional yang berfokus pada keuntungan sebesar-besarnya mengabaikan keutuhan dan kelestarian lingkungan hidup. Manipulasi manusia atas lingkungan hidup menjadi lebih penting saat globalisasi berfokus pada keuntungan ekonomi.
Jika teknologi ciptaan manusia digunakan dalam proyek pembangunan yang bertujuan untuk mengejar keuntungan, eksploitasi kekayaan alam dapat berdampak negatif.
Kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan yang ditandai oleh peradaban manusia ternyata tidak sejalan dengan penghormatan terhadap lingkungan hidup. Eksploitasi membahayakan lingkungan hidup, termasuk tanah masyarakat adat.
Padahal masyarakat adat mengutamakan pembangunan yang mengedepankan harmonisasi relasi manusia-alam. Sehingga modernisasi tidak merusak kekayaan kultural masyarakat lokal, pembangunan harus dimulai dengan penelitian antroplogis-budaya yang menyeluruh.
Ini adalah alasan utama masyarakat lokal Poco Leok menentang rencana proyek geotermal. Mereka berpendapat bahwa prinsip kearifan lokal, yang memandang tanah sebagai ibu (tana hitu ende dami), bertentangan dengan proyek geotermal.
Mereka melihat tanah sebagai ibu yang memberi kehidupan. Mereka hidup dari hasil tanah yang diolah melalui pertanian dan perkebunan.
Menurut mereka, pembangunan yang benar adalah yang menghargai kemampuan tanah untuk terus memberikan kehidupan kepada manusia.
Masyarakat adat Poco Leok tetap memilih untuk menolak proyek perluasan PLTU Ulumbu, terlepas dari keinginan pemerintah dan pihak PLN untuk melanjutkannya. Sangat menarik bahwa penolakan proyek ini sering terjadi dan melibatkan kaum ibu (wanita).
Diberitakan di media massa bahwa warga adat Poco Leok menolak proyek perluasan PLTU Ulumbu. Kisah kaum perempuan Poco Leok yang gigih untuk menyelamatkan bumi (tanah) sangat menarik karena perjuangan mereka terjadi di tengah gempuran budaya patriarki yang sangat mendominasi kehidupan masyarakat.
Lebih menarik lagi, alasan kultural bahwa “tanah itu ibu kami” mendorong kaum perempuan untuk menentang proyek perluasan PLTU Ulumbu. Warga Poco Leok melihat tanah sebagai ibu. Dengan demikian, merusakkan tanah, termasuk dengan proyek PLTU, merupakan bentuk perusakan terhadap tubuh ibu mereka sendiri.
Penggalian makna kekayaan kultural sebagai rujukan untuk menilai pembangunan adalah satu upaya untuk menyelamatkan bumi (tanah) dari praktik eksploitasi.
Meskipun demikian, hal yang penting disadari ialah respons terhadap masalah lingkungan hidup melalui pendekatan kultural dengan menggali kekayaan dimensi relasi dalam filosofi masyarakat lokal, terutama di Manggarai yang mayoritas beriman Katolik, tidak dimaksudkan sebagai upaya membumikan kosmosentrisme dalam relasi dengan alam yang membahayakan iman Kristen karena mengarahkan orang untuk menyembah alam dan bukan menyembah Tuhan (Kleden, 2009).
Teologi ciptaan Kristiani tidak mencapai titik pusat dan titik akhir pada ciptaan, tetapi tetap berpusat pada Allah sebagai Pencipta (Sunarko, 2008).
Ada kelompok tertentu yang merasakan bahwa pembangunan mendongkrak kekayaan mereka, tetapi bagi sebagian besar kelompok lainnya, pembangunan justru membawa mudarat.
Alih-alih membawa kesejahteraan, pembangunan berpotensi mengancam kelangsungan hidup, merusak lingkungan, dan bahkan menghancurkan aspek budaya, termasuk menghapus sejarah lokal.
Pada akhirnya, pembangunan biasanya hanya mengarah pada dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, eksploitasi, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Ini menyebabkan kontroversi dan ambiguitas yang terkait dengan pembangunan. Sementara beberapa orang mendukung pembangunan, yang lain menentangnya.
Dengan menggunakan neoliberalisme sebagai pendekatan dominan, konsep pembangunan sangat ambisius. Faktanya, bias negatif yang dihasilkan oleh neoliberalisme membahayakan martabat manusia, merusak lingkungan, dan mengancam keberlanjutan identitas budaya.
Oleh karena itu, perlu diakui bahwa filsafat dan perspektif kultural lokal, terutama ketika dikombinasikan dengan prinsip teologis, sangat penting untuk melindungi kepentingan masyarakat setempat, terutama dalam hal keadilan agraria.
Lebih dari itu, filosofi lokal dan teologi, termasuk teologi Kristen, harus digunakan secara aktif untuk berpartisipasi dalam proses perundingan dan bahkan untuk berhadapan dengan rasionalitas pembangunan modern. Dengan mempertimbangkan perspektif lokal ini, dapat dilakukan upaya untuk menyesuaikan dan menyelaraskan pembangunan modern dengan prinsip dan kebutuhan lokal.
*Penulis adalah mahasiswa Prodi Teologi di IFTK Ledalero, Maumere