Ruteng, Ekorantt.com – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Poco Leok menggelar aksi damai di Ruteng pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Aksi ini sebagai respons terhadap dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap sejumlah warga dan seorang jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Saat itu, warga sedang melakukan aksi “jaga kampung”, sebagai upaya menentang proyek perluasan geotermal Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai.
Massa aksi menggunakan mobil pikap. Mereka membawa replika peti mati bertuliskan ‘RIP Keadilan’, menyita perhatian masyarakat kota Ruteng. Mereka melakukan orasi di depan Kodim 1612 Manggarai, Kantor Bupati Manggarai, dan Mapolres Manggarai.
Mahasiswa menilai, tindakan yang dilakukan aparat keamanan sangat mencederai prinsip-prinsip demokrasi, melanggar hak asasi manusia, serta mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, terutama hak masyarakat adat dan kebebasan pers.
“Kami mengutuk keras tindakan represif dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Poco Leok oleh aparat penegak hukum,” kata Yosefina Iman, salah seorang mahasiswa ketika membaca pernyataan sikap.
Dia berpendapat, kriminalisasi terhadap masyarakat adat juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum. Pasal 9 konvensi internasional hak sipil dan politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi.
Baginya, tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Ataupun dapat dirampas kebebasannya, kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
“Jaminan perlindungan kepada tiap warga negara telah diatur dalam UUD 1945 yang kemudian dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.”
Dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak atas tanahnya, termasuk terhadap tindakan kriminalisasi.
Mahasiswa pun mengutuk tindakan aparat penegak hukum yang telah melakukan pembungkaman dan intimidasi terhadap jurnalis Floresa.
Penangkapan jurnalis tentu melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana Pers dijamin sebagai wahana yang bebas untuk menyampaikan informasi tanpa sensor, tanpa pencekalan, dan tanpa ancaman.
“Penangkapan ini juga bertentangan dengan pasal 28 E ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, pasal 28 UUD 1945 juga menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang,” tegasnya.
Mahasiswa mendesak Kapolda NTT mencopot Kapolres Manggarai dan menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap masyarakat adat bertolak belakang dengan amanat yang dimandatkan oleh Undang-undang.
Sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, menurutnya, tindakan kekerasan yang berlebihan ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan prinsip penegakan hukum yang berkeadilan.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal 19 ayat (1), yang menyatakan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Namun, situasi yang terjadi aparat kepolisian tidak lagi menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak mengayomi masyarakat, dan pelayanan yang baik.
“Untuk itu kami menuntut aparat penegak hukum untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, mengedepankan pendekatan humanis dan proporsional dalam menjalankan tugas.”
Mahasiswa menegaskan, setiap pembangunan harus dilakukan secara inklusif, menghormati hak-hak asasi manusia, serta melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
“Kami tidak akan tinggal diam dalam menghadapi tindakan represif terhadap masyarakat adat dan kebebasan pers,” terang mahasiswa.
Warga Poco Leok ‘Bukan Musuh’
Saat bertemu sekretaris daerah Kabupaten Manggarai, mahasiswa menanyakan cara pendekatan pemerintah yang cenderung mengerahkan aparat dengan jumlah yang banyak.
“Pendekatannya elitis, sepihak juga,” kata Yondri, salah satu anggota aksi.
Pemerintah, katanya, sering mengabaikan suara-suara warga Poco Leok yang rentan dan terdampak langsung dengan kehadiran proyek geotermal. Ia juga menuding pemerintah daerah sengaja membentrokkan masyarakat dan aparat keamanan.
“Dengan seenaknya orang yang sedang memperjuangkan tanah yang diwariskan leluhurnya diintimidasi, dipukuli sampai masuk rumah sakit,” katanya.
“Apa salah rakyat. Mereka bukan musuh. Rakyat Poco Leok bukan musuh.”
Yondri menuntut Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk menghentikan segala aktivitas di Poco Leok, terutama pengerahan aparat.
“Bukan situasi perang di sana,” tegas Yondri merujuk ke situasi di Poco Leok.
Mahasiswa lain juga menyentil soal dugaan manipulasi data yang dilakukan pemerintah dan perusahaan. Misalkan, data yang didapat warga ada 85,7 persen masyarakat yang menerima. Lalu, yang menolak hanya 14,3 persen. Sementara riilnya banyak masyarakat yang menolak. Dari 14 gendang di Poco Leok, sebanyak 10 gendang yang secara tegas menolak.
“Bagaimana logika kita lebih banyak yang menerima. Dari komunitas gendangnya saja sudah 10 gendang yang menolak,” kata Marsianus Gampu.
Aksi pengadangan yang dilakukan warga merupakan cara memperjuangkan hak-hak mereka dalam menjaga budaya dan ruang hidup mereka. Akan tetapi, dalam aksi itu muncul hal yang tidak terpuji dilakukan aparat keamanan.
Pada kesempatan itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Fansi Jahang mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan pendekatan-pendekatan agar tidak terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat.
Pemerintah, kata dia, akan melakukan pertemuan bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
“Kami akan mengundang Forkopimda untuk melakukan rapat koordinasi di sini, dalam rangka menentukan proses atau langkah selanjutnya,” ucapnya.
“Aspirasi teman-teman mahasiswa sungguh baik, dan itu menjadi masukan baik untuk kami, untuk kami bicarakan di dalam rapat forum komunikasi pemerintah daerah.”.
Kutuk Tindakan PT PLN dan Pembiaran Konflik Agraria
Pada 2 Oktober, Ekora NTT mendapat rilis dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mengutuk keras tindakan PT PLN dan pembiaran konflik agraria yang dilakukan Pemerintah selama ini.
“Kami mendesak Pemkab Manggarai untuk mencabut SK Nomor HK/417/2022 tentang izin survei di dua titik eksplorasi di Poco Leok,” ujar Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika.
Ia meminta Kapolri segera menindak tegas Direktur Utama PLN dan pelaku represifitas pada warga Poco Leok, termasuk menegur kepolisian setempat yang terlibat dalam cara-cara kekerasan.
“Kepada Kementerian ESDM untuk segera mencabut SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 tentang penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Kepada Kementerian BUMN untuk tidak berdiam diri pada proses-proses perampasan tanah warga yang menyebabkan konflik agraria, serta PT PLN harus menghentikan upaya penambangan di tanah warga Poco Leok,” tegasnya.
Pasca-penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi, Bupati Manggarai memberikan izin survei, yang mendukung proyek geotermal dengan perampasan tanah Masyarakat Poco Leok.
Bahkan, Bupati Manggarai menambahkan titik eksplorasi PLTU Ulumbu di wilayah Poco Leok.
“Jika kebijakan ini terus dilanjutkan, selain Masyarakat Poco Leok, sebanyak 2.233 KK masyarakat yang tinggal di sekitarnya akan terdampak akibat dilaksanakannya proyek geotermal yang menghancurkan ruang hidup mereka,” katanya.
Kesewenang-wenangan Pemerintah Kabupaten Manggarai, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan aparat atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) ini bukan yang pertama kalinya.
Sepanjang 2023, setidaknya terdapat lima kali letusan konflik akibat upaya penggusuran yang disertai represifitas di tanah Poco Leok (Catahu KPA 2023). Setidaknya dua perempuan terluka akibat penganiayaan yang dilakukan aparat keamanan.
“Menutup masa pemerintahannya, Jokowi masih terus menggusur dan merampas tanah-tanah rakyat, atas nama pembangunan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN),” ujar Kartika.
“Hingga Juli 2024, setidaknya terdapat 134 letusan konflik akibat PSN. Kejar tayang pembangunan demi kepentingan pengusaha telah merampas tanah rakyat seluas 571.156,87 hektar dari 110.066 kepala keluarga.”
Disilakan Melapor
Sementara itu, Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh berkata, pihaknya berkewajiban mengamankan situasi yang terjadi di Poco Leok, sebab “itu proyek nasional.”
“Di sana terjadi kisruh, tidak dilakukan pengamanan, kami dinilai salah. Tidak melaksanakan tugas pokok kami,” ucapnya saat ditemui mahasiswa.
Kehadiran anggotanya di Poco Leok, katanya “tujuannya adalah menghindari pertengkaran.”
Dia mempersilakan jika ada warga yang mendapat kekerasan untuk melaporkan hal itu. Namun, tujuan pihaknya ada di lokasi demi mengamankan prasarana yang digunakan, termasuk masyarakat yang mendukung dan menolak.
“Terkait isu yang beredar kawan-kawan media dilakukan tindakan represif, nah bahasa-bahasa represif, penangkapan. Nah beda penangkapan ditangkap sama diamankan itu beda. Kalau bicara ditangkap itu berarti ada proses hukum di situ, ada penegakan hukum di situ. Dan itu ada prosedurnya.”
Diamankan itu, menurutnya, bisa disebabkan berdasarkan analisa anggota kepolisian di lokasi, “ini orang ini kalau tidak diamankan bisa jadi korban, bisa jadi pelaku kejahatan.”
“Indikasinya ada. Memprovokasi,” katanya, meski tidak menjelaskan secara gamblang terkait provokasi yang dimaksud.
“Yang kedua, dia tidak bisa membuktikan identitasnya. Main selondong-selondong aja naik ke sana wawancara. Ditanya sama anggota baik-baik mana identitasmu, nggak bisa. Terus mau bilang apa?” katanya.
Tempuh Jalur Hukum
Pemimpin Umum Floresa, Ryan Dagur mempertanyakan kejelasan dari pernyataan Kapolres yang mengatakan adanya indikasi Herry melakukan tindakan provokasi.
“Coba tanya Kapolres-nya, apa bentuk provokasi Herry? Dia hanya ingin memfoto warga yang ditangkap saat diamankan. Apa provokasinya?” kata Ryan pada Kamis, 3 Oktober 2024, dilansir dari Detik
Pada Jumat, 4 Oktober, Ekora NTT mendapatkan rilis pernyataan sikap Floresa terkait kekerasan yang dialami Herry.
“Kami menyadari bahwa tindak kekerasan aparat Herry adalah bagian dari proses pembungkaman terhadap media dan intimidasi atas gerakan kritis warga; dan untuk itu kami menolak bungkam dan melawan rasa takut,” bunyi pernyataan sikap tersebut.
Selanjutnya, pihak Floresa akan menempuh jalur hukum, “agar kejadian ini diproses seadil-adilnya dan tidak terulang kembali.”