Anton Chekhov dan Kakek yang Tidak Saya Ketahui Namanya

“Mo’at, kasih saya uang Rp10 Ribu. Saya mau sewa ojek ke Koting. Saya baru pulang berobat di Puskesmas.”

Kalimat ini adalah terjemahan bebas saya atas kalimat seorang kakek tua. Umurnya sekitar 70-an tahun. Rambutnya tipis dan sudah memutih. Pakai baju kemeja putih dan sarung Sikka. Banyak omong. Lumayan tinggi. Kurus. Hitam. berkasut.

Namanya tak saya ketahui. Saya tak bisa tanyakan namanya secara langsung karena ia sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia pun tak punya pretensi untuk memperkenalkan diri karena saya tak kuasai Bahasa Sikka.

Seluruh pembicaraan saya dengannya adalah monolog satu arah dengan menggunakan bahasa Sikka. Saya pun tahu diri dan memilih jadi pendengar. Dia pembicara. Sesekali saya menanggapinya dengan bahasa tubuh.

Anda bisa bayangkan, kualitas percakapan macam apa yang dihasilkan di antara dua manusia yang tak saling paham bahasa satu sama lain? Kepada peradaban, maafkan saya yang belum sanggup berbahasa Sikka walau sudah terhitung lama menjunjung langit Sikka dan menjejak bumi Nian Tana. Itu adalah dosa kultural yang mesti diakui di bilik pengakuan peradaban.

iklan

“Kita harus belajar bahasa Sikka. Itu tuntutan. Kita tidak bisa paksa kakek itu bicara bahasa Indonesia dan memahami kita. Kita harus menyesuaikan diri dengannya,” celetuk pemilik angkringan, Mbak Susilarini, mantan tetangga sastrawan Pramoedya Ananta Toer di Blora itu.

Akan tetapi, saya dikuatkan dengan kalimat indah dari seorang penjala manusia di Tiongkok, Josef Freinademetz, “Satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang adalah bahasa cinta.”

Walaupun saya tahu persis, argumen itu adalah pelarian dari kelambanan saya mempelajari bahasa yang baru.

Kakek tua yang tidak saya ketahui namanya ini menodong saya untuk memberinya selembar uang di salah satu angkringan di Jalan Kimang Buleng, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Senin (25/3/2019).

Saat itu, saya sedang duduk menyeduh segelas air putih. Pikiran saya sebenarnya sedang terkonsentrasi pada satu arah. Sambil minum air putih dan makan rempeyek, saya membaca buku kumpulan cerita pendek dari “raja cerpen” Rusia, Anton Chekhov. Judul buku itu, Pengakuan.

Pengakuan berisi 24 cerita pendek. 24 cerita itu memang benar-benar pendek. Dan cerita-cerita Chekov umumnya mengisahkan tema tentang korupsi dan kemunafikan. Menurut catatan sang penerjemah, Koesalah Soebagio Toer, kumpulan cerita itu merupakan potret kehidupan masyarakat Rusia pada awal abad ke-20 yang sedang membusuk.

Masyarakat Rusia menjadi busuk karena korupsi dan perilaku munafik para pemangku kebijakan.

Cerpen berjudul “Pengakuan”, misalnya, menceritakan perilaku koruptif Grigorii Kuzmich. Kuzmich sebenarnya orang baik. Namun, semenjak diangkat menjadi kasir, ia menjadi sangat korup. Ia hidup bermewah-mewah dari uang hasil korupsi.

Pada bagian pamungkas, Kuzmihch sang koruptor menjadi sadar dan membuat pengakuan, “Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang budiman. Saya telah jatuh… Telah jatuh, atau dengan kalimat yang lebih panjang: kemarin saya orang baik-baik, jujur, terhormat di mata orang banyak, tetapi hari ini saya penipu, pengecoh, pencuri… Berteriaklah sekarang, maki-makilah, desas-desuskanlah, merasa takjublah, kecamlah, buanglah, tulislah tajuk rencana, lemparkanlah batu, Cuma… saya minta, jangan, jangan semua!”

Saat Si Kakek yang tak saya ketahui namanya memotong bacaan, saya sudah sedang membaca empat cerpen Anton Chekhov. Empat Cerpen itu adalah “Munafik”, “Pengakuan”, “Satu-Satunya Cara”, dan “Cermin Perot.” Semua cerita itu punya satu tema yang sama: Korupsi.

Anton Chekhov dan si kakek yang tidak saya ketahui namanya membuat dahi saya berkerut untuk beberapa saat. Saya merenung, mesti ada sesuatu yang tidak beres dengan keadaan ekonomi politik masyarakat kita.

Karena saya tinggal di Maumere, maka masyarakat yang saya maksudkan adalah masyarakat Maumere. Entah problem Maumere bisa diproyeksikan menjadi problem NTT, Indonesia, Asia, dan bahkan dunia, tak bisa saya pastikan.

Akan tetapi, entah sudah berapa kali, saya temukan sama saudaraku seperti si kakek yang tak saya ketahui namanya hidup luntang-lantung di segala penjuru kota. Saban malam, di pasar malam di samping Gelora Samador Maumere, sekelompok anak muda yang segar bugar tubuhnya tampak lagi mengamen.

Mereka mengemis uang pada semua pengunjung pasar malam. Suara mereka yang cempreng acap kali membuat nafsu makan turun drastis. Untuk lebih detailnya, saya akan tulis tentang mereka di lain waktu.

Ada juga di kompleks pertokoan di Perumnas, seorang lelaki bertubuh kerdil mengemis tanpa henti. Beberapa kali saya berikan selembar uang 5 ribuan kepada beliau karena belas kasihan yang terbit di hati. Saya juga akan tulis secara detail tentang beliau di lain waktu.

Di taman Kota Maumere, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berambut gondrong dan bertubuh hitam dekil tampak duduk termangu. Ia selalu lipat kaki. Belum pernah sepeser rupiah pun saya berikan untuknya. Tapi, saya pernah menulis tentang pria tua ini untuk keperluan tugas mata kuliah “Pengantar Sosiologi” asuhan Bernard Raho, SVD di STFK Ledalero pada 2012 lalu.

Di tenda-tenda pesta dan ruang publik lainnya, orang Maumere juga tentu familiar dengan Mina, ODGJ yang senang berdendang dan menari. Saya sudah menulis tentangnya di Ekora NTT beberapa waktu lalu.

Di tempat pendaratan ikan (TPI) Maumere, yang kebijakan tentangnya sempat menjadi polemik antara pemerintah dan wakil rakyat, terdapat seorang pemuda berusia sekitar 30-an tahun. Pemuda itu adalah ODGJ. Tatapannya kosong dan menerawang jauh entah sedang memikirkan apa. Tubuhnya dekil dan hitam. Ia tak berbaju. Cerita lengkap tentangnya akan saya tulis di lain waktu.

Si kakek yang tak saya ketahui namanya dan orang-orang pinggiran di atas adalah kelompok “warga tak berdaya”, antitesis dari “warga berdaya” seperti dipakai Ross Tapsell dalam buku Kuasa Media di Indonesia.

Warga tak berdaya adalah mereka yang tidak memiliki akses kepada sumber daya produksi seperti tanah, modal, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Karena tidak punya akses, maka mereka sama sekali tidak punya daya tawar dalam bidang ekonomi politik.

Terdapat minimal empat (4) fenomena yang membuat saya merenung, mesti ada yang tidak beres dengan masyarakat Maumere.

Pertama, di sudut-sudut kota, kita akan mampu temukan pengemis dengan gampang. Kedua, kita juga akan menjumpai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dengan mudah. Ketiga, di sudut kampung yang nun jauhnya dari pusat keramaian kota, di sekitar lokasi bekas tanah HGU Nanghale, terdapat sekelompok masyarakat adat yang berjuang mati-matian mempertahankan hak kepemilikan bersama atas tanah ulayat warisan leluhur.

Perjuangan masyarakat adat yang kebanyakan adalah buruh tani dan kaum petani miskin ini penuh onak dan duri. Sebab, lawan perjuangan mereka bukan main raksasanya: Negara dan institusi agama. Sementara itu, keempat, koran-koran lokal menjerit keras dari bilik kertas yang bisu soal korupsi para penjabat publik.

Suara bisu koran tambah pilu karena praktik busuk korupsi dibungkus dengan kain sutera konstitusi. Seolah-olah tindakan menggarong uang rakyat yang mereka lakukan adalah sah karena diatur oleh peraturan bupati, misalnya.

Tampaknya, seperti masyarakat Rusia pada awal abad ke-20, masyarakat kita di sini juga sedang membusuk. Membusuk karena korupsi, kemunafikan dan ketidakpedulian.

TERKINI
BACA JUGA