“PK” dan Agama yang Tersinggung

Oleh

Hans Hayon

Kegelisahan: Sebuah Latar Belakang

Dalam Die Fröliche Wissenchaft, nomor 125, Friedrich Nietszche menggambarkan seorang gila yang berlarian di tengah pasar.

Di tangannya, sebuah lantera bernyala. Dengan tatapan penuh kegusaran, beberapa kali ia berteriak, “Aku mencari Allah!”

iklan

Orang-orang di pasar menertawakannya tetapi ia malah melompat ke tengah mereka sambil berteriak, “Ke manakah Allah? Aku memberitahu kalian.

Kita sudah membunuhnya―kalian dan aku. Kita semua pembunuh.

Tetapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita meneguk habis lautan? Siapa yang memberi kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari matahari? Allah sudah mati… Dan kita telah membunuhnya….” (Kaufmann, 1974:97).

Nietzsche memang ateis sejak usia muda dan kritiknya atas teisme memuncak dalam Antichrist.

Siapa sangka, satir semacam ini semakin mengemuka dalam bentuk yang paling ekstrim di depan mata kita?

Sebelumnya, Nietzsche memproklamasikan kematian ‘Allah” sebagai bentuk kritikannya terhadap kondisi kultural masyarakat yang terlampau menomorsatukan rasionalitas dan metafisika serta mendepak unsur irasional yang dianggap berasal dari agama.

Jika mau jujur, kecenderungan ini sudah terjadi berabad-abad sebelumnya misalnya dalam studi kosmologi di mana Galileo Galilei mengkritik otoritas Gereja yang menganut pandangan geosentris dengan mengemukakan teorinya tentang heliosentris―bumi dan benda-benda langit lainnya mengelilingi matahari.

Demikian pula Ludwig Feuerbach yang memahami bahwa sebagai sebuah masalah filosofis-filsafat, agama harus mencerahkan manusia tentang hakekat agama yang sebenarnya,―dan Karl Marx berpendapat bahwa masalah agama akan pergi dengan sendirinya apabila ketidakadilan di dunia ini dihapus, atau bagi Nietzsche, Allah―tepatnya kematiannya, merupakan “peristiwa baru paling besar”.

Dalam suratnya kepada Franz Overbeck, rekannya misalnya, Nietzsche mengatakan bahwa satu hal yang paling berbeda dari Zarathustra adalah pandangannya tentang kekristenan; sejak Voltaire belum pernah ada lagi kritik yang sedemikian tajam terhadap kekristenan (James Garvey, 2010: 244).

Francois-Marie de Voltaire, tokoh yang dikenal sebagai pencetus zaman pencerahan dan tukang kritik Gereja paling kepala batu ini menegaskan bahwa gereja-gereja hanya perlu menyalahkan diri sendiri atas penyimpangan selama ini, karena selama berabad-abad mereka telah membanjiri kaum beriman dengan berlimpah doktrin.

Yang ia tolak sesungguhnya bukanlah gagasan tentang Tuhan, melainkan konsepsi Tuhan kaum ortodoks yang kejam, yang mengancam manusia dengan api neraka.

Sebaliknya, ia menulis bahwa agama itu hendaknya sesederhana mungkin:

Bukankah itu agama yang banyak mengajarkan moralitas dan sangat sedikit dogma? Yang condong untuk membuat manusia mejadi adil dan tidak membuat mereka bodoh?

Yang tidak memerintahkan orang untuk meyakini sesuatu yang mustahil, bertentangan, merusak nilai-nilai ketuhanan, dan berbahaya bagi umat manusia, dan yang tidak mengancam dengan hukuman neraka kepada siapa saja yang memiliki akal sehat?

Bukankah itu agama yang tidak menegakkan ajarannya melalui pemaksaan, dan tidak mengenangi bumi dengan darah sofisme yang tidak terjangkau akal?…yang hanya mengajarkan pengabdian kepada satu ilah, kepada keadilan, toleransi dan kemanusiaan? (Francois-Marie de Voltaire, 1972: 375).

Bahkan, pernah ditemukan sebuah sajak satire (dalam format epigram) berbunyi, “After the conclave, a ubiquitos epigram within Rome was: Alexander sells the Keys, the Altar, Christ Himselfhe has a right to for he bought them; Alexander menjual Kunci, Altar dan Kristus” (http://en.wikipedia.org/wiki/Papal conclabe,1493).

Itulah abad ke-16 di Italia, ketika Paus Alexander VI naik Takhta Suci dan agama, zina, uang, nepotisme, jual-beli jabatan, perang, pembunuhan dan moralitas campur-baur.

Berangkat dari kegelisahan yang (saya kira) sama, film yang akan dibahas di dalam tulisan ini memperkenalkan beberapa pokok pikiran yang dapat didiskusikan lebih lanjut.

Untuk memudahkan pemahamahan, berikut dijelaskan (sesingkat mungkin) gambaran umum tentang film termaksud.

“PK” dan Pertanyaan-pertanyaan yang Tidak Biasa

Film dibuka dengan adegan mendaratnya seorang alien (Aamir Khan) di bumi dan tiba-tiba sebuah remote control yang, hanya dengan benda itu, ia bisa pulang ke planetnya dirampok orang.

Tidak tahu bagaimana caranya hidup sebagai manusia, berbahasa, berpakaian atau berbohong, alien itu mencari remotenya dengan penuh harap.

Perilakunya yang dianggap kuno dan aneh (tergambar dalam kebiasaannya mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap natural oleh masyarakat) membuat orang-orang menganggapnya mabuk (dalam bahasa India, ‘pee kay’/PK).

Bagaimana tidak, alien itu (yang selanjutnya disebut PK) mempertanyakan hal paling mendasar dari semua penyebab kejanggalan di dunia: bahasa.

Alih-alih mengantarkan makna melalui struktur kalimat tertentu, bahasa menurut PK justru mengaburkan makna.

Diawali dengan mengkritik grammar yang menyebabkan sebuah kata mempunyai lebih dari satu makna, PK akhirnya sampai pada satu kesimpulan tentang betapa pentingnya membongkar ideologi tertentu yang ada di balik susunan kalimat, bahkan kata tertentu.

Selanjutnya, setting cerita beralih ke Bruges, Belgia di mana Jaggu (Anushka Sharma) bertemu dengan Sarfaraaz (Sushant Singh Rajput), pria yang berasal dari Pakistan dan mereka saling jatuh cinta.

Ayah Jaggu (Parikshit Sahni) menemui godman Tapasvi Maharaj (Saurabh Shukla) untuk melakukan konsultasi dan Tapasvi menjelaskan kepada Jaggu bahwa Sarfaraaz akan menipunya dan tidak akan menikahinya.

Kisah cinta ini tidak berjalan mulus karena perbedaan agama dan kewarganegaraan yang menyebabkan mereka tidak bisa bersatu.

Kembali ke PK. Dalam kekalutan tentang bagaimana menemukan kembali kalungnya yang hilang, PK memutuskan untuk mempelajari bahasa yang digunakan oleh manusia di bumi.

Melalui bahasa itulah, PK akhirnya memahami segala seluk beluk dunia dan pelbagai aspek paradoks yang ada di dalamnya.

Akhirnya, setelah bercakap-cakap dengan seorang anggota kepolisian berkaitan dengan hilangnya kalungnya, PK disarankan untuk berangkat di Dehli.

Di New Dehli inilah, secara tak sengaja, PK dan Jaggu yang bekerja sebagai reporter TV di Dehli, bertemu. Dari situ pula, konflik demi konflik mulai bermunculan.

Selama 2 jam 32 menit 18 detik, film yang disutradarai oleh Rajhkumar Hirani ini memaparkan pelbagai konsep serius dan ruwet dalam adegan yang mudah dipahami.

Ini kali kedua kolaborasi Aamir Khan dengan sutradara Rajkumar Hirani yang sebelumnya sukses lewat 3 Idiots (2009).

Gejala Awal “Agama yang Tersinggung”

Kritik bermula dari upaya si PK meminta pertolongan pada Tuhan untuk menemukan kembali remote controlnya yang hilang pada adegan awal film ini.

Setelah bertanya kepada hampir semua orang tentang bagaimana caranya menemukan kembali “benda paling berharga”nya itu, secara sinis orang menyarankan PK dengan kalimat, “cobalah minta pada Tuhan, siapa tahu ia mengetahui keberadaan barang milikmu itu”.

Menerjemahkan secara harafiah metafora tersebut, PK akhirnya memutuskan untuk menyampaikan permohonannya kepada “Tuhan” di rumah ibadah.

Meskipun telah mengikuti semua ritual dan seremoni tertentu yang diwajibkan dalam hampir semua agama, PK dihadapkan pada jawaban yang selalu sama: Tuhan tidak menjawab permohonannya.

Ia lalu berpindah dari satu agama kepada agama yang lain namun jawabannya selalu nihil.

Bahkan, ia akhirnya mengambil tindakan paling ekstrem dengan cara memeluk semua agama yang ada di dalam masyarakat. Toh cara ini pun menuai kekecewaan.

Setelah ia berpikir begitu lama, akhirnya muncul sebuah dugaan, jangan-jangan ada hal yang salah dengan mediator yang menghubungkan antara manusia dan Allah.

Di sinilah muncul slogan yang terkenal dalam film ini: “wrong number”. Sederhananya, frasa itu menunjukkan bahwa ada hal yang keliru dalam kelembagaan agama yakni urusan administratif dan liturgis yang pada akhirnya memudarkan aspek substansial dalam beragama.

Sebuah review ditulis, “Helped by Jaggu’s pieces, PK’s efforts spur a “wrong number” campaign across India, as amateur reporters use cellphones to catch religious leaders contradicting themselves or making false promises for money” (http://www.filmjournal.com/content/fim-review-pk).

Dengan kata lain, sutradara film ini ingin menunjukkan gejala hipokrisi dan korupsi dalam masyarakat modern terutama lembaga agama di India.

Latar belakang utama yang mendorong lahirnya kritikan seperti itu juga dibahas secara mendetail dalam esai karya Vikas Pandey bertajuk Why is Bollywood PK Controversial? dalam BBC, 26 Desember 2014.

Ia memulai esainya dengan deksripsi tentang Bollywood yang mengisi performance dalam film produksinya dengan rutinitas tarian, efek visualisasi dramatis dan lagu di seluruh dunia.

Meskipun demikian, tulis Pandey, industri perfilman di India juga memproduksi film yang menginisiasi debat sosial tentang isu penting bagi negara.

Salah satunya, film ini (PK) mempertanyakan supertisi dalam negara di mana agama sudah berakar mendalam dalam keasadaran masyarakat.

Patut diingat bahwa meskipun film ini memunculkan respon yang keras dari berbagai kalangan bukan karena film ini tidak memberikan kesimpulan tentang eksistensi agama, melainkan karena ia mempertanyakan ihwal yang dianggap takhayul.

Analis film lainnya, Namrata Joshi mengatakan, Aamir merupakan bintang dan karena itulah mengapa film ini mengasilkan triliunan. Film ini membuat orang berpikir. Agama telah banyak diperdebatkan di banyak film dari berbagai negara, tetapi kehadiran Aamir membuat perbedaan (https://www.bbc.com/news/world-asia-india-30602809).

Dikatakan demikian karena PK tidak menyerang agama tertentu secara partikular melainkan mengeritik dalil utama fenomena beragama melalui pernyataan, “Berimanlah kepada Allah yang menciptakanmu, bukan kepada salah satu ‘allah” yang kau ciptakan.”

Merawat Rasa Tersinggung

Inti kritikan PK yang paling banter simetris dengan apa yang dikatakan oleh John Lennon, God is a concept to measure our pain.

Dengan demikian, Tuhan tidak lagi sakral. Posisinya tak jauh beda dari “instrumen-instrumen” lain.

Tidak mengherankan jika film ini menyorot pelbagai jenis simbol semisal patung dan ritus seremonial yang tampak lebih dominan.

Meskipun demikian, bukan berarti PK menempatkan “Tuhan” sebagai instrumen atau sarana yang tak lagi memiliki aspek sakral.

Sebaliknya, PK―mengikuti Voltaire―ingin menegaskan kembali seruan yang pernah muncul beberapa abad lalu: Orang yang mengatakan kepadaku, “Berimanlah dengan imanku, kalau tidak Tuhan akan menghukummu,” kini akan mengatakan, “Berimanlah dengan imanku, kalau tidak aku bunuh kau.”

Terdapat beberapa poin utama lahirnya rasa ketersinggungan antara lain: Pertama, posisi bahasa sebagai sarana yang mendistribusikan sekaligus mengaburkan makna.

Dalam film ini, PK sebagai alien yang datang ke bumi menyadari bahwa sarana paling mendasar untuk memahami dunia adalah bahasa.

Hanya melalui bahasalah, segala hal yang ada di dunia bisa dipahami secara purna.

Meskipun dalam film ini strategi mempelajari bahasa yang diterapkan terkesan irasional, namun muatan dasar yang ingin ditonjolkan adalah bagaimana bahasa merupakan conditio sine qua non, syarat mutlak yang tidak bisa dinegosiasi kembali penggunaannya.

Hal ini terlihat misalnya pada scene terakhir film ini di mana PK secara keras melawan suara hatinya sendiri, selanjutnya memanipulasi makna yang tersirat di balik dadanya, hanya untuk mengatakan bahwa ia tidak mencintai Jaggu.

Pada titik inilah, ia secara tidak langsung membohongi dirinya sendiri dan belajar berbohong untuk pertama kalinya.

Kedua, posisi agama dalam budaya masyarakat postmodern.

Meskipun mengambil lokasi di Dehli, India, film ini sangat relevan bagi masyarakat postmodern di seluruh dunia.

Dikatakan demikian karena muatan dasar yang terkandung dalam kritikannya bersifat universal dan berlaku di semua negara.

Tanpa terjebak dalam perspektif menggeneralisasi, PK menyerang inti dasar dari kehidupan beragama yakni bagaimana menjadi pribadi yang menomorsatukan religiositas di atas segala-galanya.

Maksudnya, religiositas tentu saja merupakan prasyarat utama dalam semua agama. Dengan kata lain, religiositas merupakan inti dari aktivitas beragama.

Orang yang memiliki religiositas tidak otomatis memeluk agama tertentu dan begitu juga sebaliknya orang yang memiliki religiositas tidak selalu memeluk agama yang diakui formal.

Ketiga, gelombang kebangkitan agama di Indonesia. Sebagaimana yang diramalkan oleh Karl Marx, agama merupakan alat penindasan yang mengalihkan pandangan masyarakat dari persoalan yang sebenarnya.

Dikatakan demikian karena bagi Marx, hal yang menjadi dasar atau apa yang ia sebut sebagai base adalah ekonomi.

Konsekuensi lanjutannya adalah bahwa politik, ideologi, agama, dan hal-hal lainnya merupakan supersturktur.

Dengan bahasa lain, ekonomilah yang menjadi penggerak utama seluruh segmen kehidupan manusia.

Artinya, segala bentuk diskriminasi sosial dan kemiskinan yang ada di dunia pertama-tama bukan karena orang tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut tetapi karena pandangannya dialihkan kepada agama.

Alih-alih menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia, agama justru hadir dengan penghiburan yang tidak ada faedahnya seperti iming-iming tentang surga dan ancaman api neraka.

Bagi pemikir Marxis seperti Gramsci dan post Marxis semacam Foucault, munculnya dua konsep yakni surga dan neraka itu merupakan bentuk penindasan kaum kapitalis melalui ideologi yang bergerak secara halus dan tidak represif.

Dengan kata lain, penindasan tidak lagi dijalankan melalui cara-cara represif menggunakan kekerasan fisik tetapi dalam bentuk yang paling halus, melalui negosiasi kedua belah pihak, dan tampak seolah-olah sebagai sebuah hal yang natural/alamiah.

Untuk membongkar naturalitas seperti ini, dibutuhkan adanya perangkat analisis yang jitu sebagaimana yang ditawarkan oleh para pemikir post-strukturalis.

Bagi mereka, untuk membongkar klaim naturalistas seperti itu, diperlukan adanya dekonstruksi terhadap pelbagai wacana yang berkembang di dalam masyarakat.

Disebut demikian karena hanya melalui wacanalah, segala jenis ideologi yang diterapkan itu beroperasi.

Ideologi tersebut hanya bisa berkembang dan bekerja dalam jalinan relasi kekuasaan.

Oleh karena itu, membongkar sebuah ideologi memerlukan semacam perangkat kerja analisis kekuasaan.

Foucault misalnya, membongkar legitimasi kekuasaan dalam lembaga atau institusi dengan cara menganalisis muatan wacana apa saja yang tersebar dan berkembang di dalam keseharian hidup.

Bandingkan saja ketika ia menganalisis sistem panoptikon dalam penjara. Dijelaskan bahwa, kehidupan di dalam sebuah penjara menjadikan orang merasa senantiasa diawasi.

Pengawasan itu dilakukan dengan cara menempatkan semacam kamera penjaga yang memantau segala gerak gerik para narapidana.

Melanjutkan analogi tersebut, Foucault menegaskan bahwa pelbagai institusi yang ada di dalam masyarakat modern menerapkan logika kekuasaan serupa.

Institusi kesehatan misalnya, memiliki kuasa untuk mendefiniskan seseorang sebagai orang sehat atau orang sakit, lembaga psikologi dengan perangkat kuasa yang dimiliki mampu mendefinisikan kegilaan atau kewarasan.

PK, sebuah film yang menjadikan agama sebagai sebuah laboratorium ilmiah, ingin mempertanyakan aspek liturgis dari pelbagai aktivitas keagamaan.

Disebut demikian karena hampir di semua bagian film ini, PK memborbardir habis-habisan semangat puritanisme yang menomorsatukan aspek liturgis dan menyamarkan substansi dalam hampir semua agama.

Artinya, beragama manusia modern dalam kacamata PK terjebak dalam apa yang terlampau praktis dan administratif dan melupakan aspek paling mendasar dalam semua pemeluk agama yakni kemanusiaan.

Padahal, berkaca dari pelbagai gerakan teologi pembebasan baik di Afrika maupun Amerika Latin, semangat utama yang melatarbelakangi semua gerakan beragama yakni memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Itu berarti, memprioritaskan liturgi dan mengabaikan aspek kemanusiaan merupakan kegagalan utama dari kehidupan beragama.

Tidak mengherankan, jika di luar itu, terjadi tidak sedikit tindakan penyelewengan atas nama agama seperti korupsi, nepotisme, jual beli jabatan agama, dan sebagainya.

Implikasi yang paling bombastis di Indonesia oleh karena pengabaian nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan beragama tampak dalam semakin menjamurnya ujaran kebencian dan pelabelan kafir terhadap pemeluk agama lain yang membuat iklim berdemokrasi di Indonesia rentan konflik.

Dari fenomena seperti ini, pantaslah kita perlu mempertimbangkan kembali posisi Nietzsche.

Saya kira ada baiknya saya mengutip pendapat Michel Foucault mengenai perlu tidaknya kita menafsir Nietzsche secara sungguh-sungguh.

“Kehadiran Nietzsche saat ini makin lama makin penting saja. Tetapi, saya capek dengan orang-orang yang mempelajari Nietzsche hanya untuk menghasilkan komentar-komentar yang mirip dengan apa yang dibuat untuk Hegel dan Mallarme. Bagi saya sendiri, saya mengunakan para penulis yang saya sukai. Satu-satunya sumbangan yang valid untuk pemikiran sekaliber Nietzsche adalah menggunakannya, mendeformasinya, membuatnya mengeram dan protes. Dan jika para komentator kemudian mengatakan saya sebagai setia atau tidak setia pada Nietzsche, that is of absolutely no interest” (Foucault, 1980: 53).

Tentu saja tulisan ini juga berutang pada Nietzsche yang dengan keras mengkritik cara beragama masyarakat pada zaman itu.

Melanjutkan apa yang sudah mulai dibahas dalam film PK, tulisan ini juga sama sekali tidak memberikan semacam alternatif solusi kepada pembaca.

Jika ada pembaca yang mengharapkan saya memberikan solusi sebaiknya sudahi saja pembacaan atas tulisan ini.

Tujuan utama tulisan ini dibuat yakni mengajak saya dan Anda untuk berpikir.

Tanpa memikirkan sesuatu secara kritis, mustahil muncul semacam solusi yang kemudian berguna bagi kehidupan Anda dan saya.

Dengan kata lain, saya berharap, setelah menyelesaikan pembacaan, Anda merenungi kehidupanmu sendiri, membuat pertimbangan terhadap aspek tertentu, dan selanjutnya merancang kesimpulan dan merumuskan solusi yang, paling kurang, Anda jalani sendiri.

Syukur-syukur jika solusi tersebut ditawarkan dan selanjutnya diterima oleh orang lain.

*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA