Jangan “Main Mata” dengan Pemerintah dan Karya Sastra Berjudul “Saksi Mata”

Maumere, Ekorantt.comJangan “Main Mata” dengan Pemerintah. Begitulah bunyi headline Surat Kabar EKORA NTT Edisi 88 Kamis, 29 Agustus 2019. Konteksnya adalah pelantikan anggota DPRD Sikka Periode 2019-2024 di Gedung Kula Babong, Jalan El Tari, Maumere, Kabupaten Sikka.

Para redaktur media ini tampaknya ingin memberikan tone yang tegas kepada  wakil-wakil rakyat yang baru diresmikan statusnya itu. Bahwa menjadi bagian dari badan legislatif sepatutnya bekerja mengontrol eksekutif, dan bukan sebaliknya; saling main mata, kongkalikong, apalagi sampai sekongkol untuk bagi-bagi jatah proyek.

Media sebagai representasi suara publik memang sangat wajar melontarkan gagasan politik redaksi semacam itu. Pers adalah pilar keempat demokrasi. Pers bekerja untuk memberi makna pada demokrasi. Dengan begitu, keberpihakan kepada rakyat menjadi hal yang tak tersangkalkan.

Tentu saja kita berharap, anggota-anggota dewan termaksud mencerna makna dari “Jangan ‘Main Mata’ dengan Pemerintah.” Bukan hanya dengan membeli koran atau memasang iklan seputar momen historis pengukuhan, melainkan dengan menanamkan baik-baik amanat publik yang salah satunya diwakili lewat media. Kenangan seremonial dapat ditaksir dengan nominal. Tapi tidak untuk pengamalan janji-janji sewaktu momen kampanye dulu. Harga yang harus dibayar untuk traktat ini hanyalah kepercayaan semata. Taruhannya adalah harga diri.

Penggunaaan frasa “main mata” dalam pemberitaan EKORA NTT memang sangatlah menarik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu definisi “main mata” adalah mengadakan kontak dengan pihak lain untuk tujuan yang menguntungkan pihak tertentu. Contoh kalimat yang ditawarkan; terdakwa itu main mata dengan hakim. Yang berarti, terdakwa dalam proses persidangan melakukan kontak dengan pihak hakim agar membawa keuntungan bagi dirinya, seperti pembebasan perkara, pengurangan masa hukuman, dan lain sebagainya. Tarik ulur tafsiran bisa merujuk pada perbuatan suap-menyuap atau sogok-menyogok. Dengan uang dan barang, misalnya.

iklan

Berkenaan dengan “main mata” ini, kita mungkin teringat pada sebuah cerpen karya penulis kawakan Seno Gumira Ajidarma. Judulnya hampir mirip; Saksi Mata. Substansinya jelas beda.

Dalam cerpen yang ditulis di Jakarta, medio 4 Maret 1992 itu, Seno melukiskan sebuah situasi persidangan yang di dalamnya terjalin percakapan antara seorang hakim dan pengadu perkara yang notabene matanya buta karena tercongkel sendok.

Percakapan-percakapan tampak menarik karena si hakim seolah-olah merasa kebingungan oleh keterangan pengadu perkara yang juga menjadi saksi itu sendiri. Sebabnya, yang dia adukan adalah pelaku-pelaku yang tak ada di tempat. Bahkan, beberapa kali keterangan dia tak masuk akal pun tak menjawabi inti pertanyaan hakim.

“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”

“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?”

“Yang mengambil mata saya Pak.”

“Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?”

“Dia tidak bilang siapa namanya Pak.”

“Saudara tidak tanya bego?”

“Tidak Pak.”

Atau, sebagaimana dinarasikan sebagai berikut.

“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”

“Mereka berlima Pak.”

“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?”

“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.”

Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.

Konteks penulisan cerpen ini adalah situasi Orde Baru yang mana negara menjadi pengatur otoriter bagi segala sendi kehidupan masyarakat. Baik tata sosial-budaya, maupun ekonomi-politik. Si “Saksi Mata” sendiri barangkali terbaca sebagai warga yang takut bicara atas represi yang menimpanya. Warga yang sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah dibikin buta (oleh kekuasaan), tapi cemas atau tak mau atau berusaha membungkam suaranya pula.

Realita sekarang memang berbeda dengan latar pemunculan karya sastra itu. Pasca tumbangnya Orde Baru, kebebasan berbicara menjadi salah satu matra khas dari apa yang kita kenal sebagai Reformasi. Meskipun hal ini seyogianya bisa ditakar kembali, berkaca pada berbagai peristiwa “tekanan” yang dibuat oleh aparatur negara juga kelompok masyarakat tertentu.

Terlepas dari risalah itu, dalam posisi mencari keterhubungan “Main Mata” dan “Saksi Mata”, kita tentu berharap, warga atau publik tidaklah menjadi seperti figur “Saksi Mata” dalam disposisi sebagai orang yang tak mau atau genting bicara. Sebab, “kekerasan” dari penguasa (baca: wakil rakyat, anggota DPRD) mungkin bukanlah lagi berbentuk fisik, melainkan apa yang dinamakan oleh pemikir Antoni Gramsci sebagai “kekerasan budaya” atau hegemoni.

Hegemoni ini sifatnya halus dan tak kelihatan. Seorang anggota DPRD yang melakukan korupsi bisa membuat masyarakat, bahkan media, adem ayem dan seolah-olah tak sadar atas kejahatannya. Dengan memberikan bantuan-bantuan atau membuat acara pesta yang merangkul semua kalangan. Ada citra baik yang hendak dia bangun untuk menutupi atraksi busuk dia. Seolah-olah merakyat, tapi membuat skandal di balik meja atau gedung yang mewah. Saat sidang, gagasannya tajam, tapi tak ada satu pun kebijakan anggaran yang betul-betul pro rakyat. Dalam paradigma relasi kuasa, itu sebenarnya adalah bentuk “kekerasan” juga.

Maka dari itu, para wakil rakyat semestinya sadar sekaligus paham akan kapasitas dan kapabilitas mereka. Mereka mungkin tak gemar membaca, apalagi diajak berpikir kritis. Namun, setidaknya mereka membaca fungsi, tugas juga wewenangnya agar tidak lagi salah kaprah sebagaimana memacak slogan-slogan kampanye yang isinya sebetulnya jadi tanggung jawab ranah pengambil keputusan (eksekutif).

Kalau tidak sadar dan paham, “main mata” bisa saja terjadi. Kalau sudah “main mata”, orang bisa jadi “buta mata”. Dan ketika publik ataupun media tampil sebagai “saksi mata” untuk memberikan penghakiman, para kaum “buta mata” itu ramai-ramai berkilah dengan dalih yang terlihat cengeng dan serampangan.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA