Salahudin, ODGJ Pengelola Rumah Sampah di Pulau Koja Doi

Maumere, Ekorantt.com – Pagi-pagi, 30 Agustus 2019. Setelahmenikmati matahari terbit dari Bukit Batu Purba di Pulau Kojadoi, kami menyusuri gang yang membelah perkampungan di pulau mungil tersebut.

Air masih surut. Matahari beranjak naik. Anak-anak sekolah bergegas ke sekolah di Pulau Besar yang berada di bagian utara. Untuk sampai ke sana, mereka harus melewati jembatan batu sepanjang 680 meter.

Menurut Ancol, pemuda yang memandu kami selama di Koja Doi, ada dua sekolah di Pulau Besar yakni Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Siswa/i dari Kojadoi setiap hari harus melewati jembatan yang mulai dibangun sejak tahun 1979 ini.

“Ada juga orang tua yang antar anak-anaknya dengan perahu kecil. Biasanya anak-anak kelas satu SD,” kata Ancol sembari menunjuk perahu yang lewat di bagian selatan jembatan. “Itu orang tua antar anaknya”.

Ancol kemudian mangarahkan kami ke rumah sampah di tengah kampung. Rumah sampah itu, kata Ancol, dikelola oleh seorang yang mengalami gangguan jiwa.

iklan

Awalnya kami takut. Mulut boleh berkata iya ketika diajak Ancol, tapi hati sangat cemas. Takutnya kalau terjadi apa-apa.

Ya sudah, kami memberanikan diri karena penasaran. Bagaimana mungkin seorang yang menderita gangguan jiwa bisa mengelola rumah sampah.

Kami berhenti tepat di depan sebuah rumah panggung. Rumah tersebut berbeda dengan rumah-rumah yang lain. Pintu depannya dilumuri sampah-sampah yang bergelantungan. Bahkan, sampah-sampah tertata di pagar depan hingga jemuran di bagian selatan rumah.

Tak lama, pemilik rumah muncul di balik pintu. Ia mengenakan topi, baju kaus berkerak dan celana pendek seperti orang kebanyakan. Tak ada tanda-tanda bahwa ia seorang dengan gangguan jiwa.

Ia melempar senyum walau beberapa gigi depannya sudah rontok. Ia kemudian menuruni anak tangga untuk menjumpai kami di jalan.

“Salahudin, Salahudin, Salahudin saja,” begitu ia memperkenalkan diri singkat.

Salahudin mengajak kami masuk ke rumahnya. Dengan sedikit takut, kami mengiyakannya.

Begitu membuka pintu, semua ruangan terisi dengan sampah. Penuh dan sesak. Ada yang bergelantungan di langit-langit rumah. Ada yang menumpuk di lantai. Ada juga yang berserakan begitu saja.

Hanya tersisa lorong untuk bisa berjalan. Tapi ukurannya sangat sempit. Ada sebuah tempat tidur di pojok yang dibaluti kelambu kusam. Mungkin di situlah tempat tidurnya.

Tiga kucing, satu berwarna hitam dan duanya lagi berwarna belang, bermain asyik di atas tempat tidur. Nampak ketiganya bersih dan asyik dipandang.

Luar biasanya, bau busuk khas sampah tak sedikit pun tercium di dalam rumah tersebut. Hanya udaranya sedikit pengap, mungkin karena sirkulasi udara yang tidak lancar.

Setelah melihat isi ruangan, kami kembali keluar dan berbincang dengan Salahudin tentang rumah sampahnya ini.

Kami berlagak dengan pertanyaan sistematik yang sudah dirancang rapi. Tapi sia-sia. Kami bertanya lain, Salahudin menjawabnya lain.Tidak nyambung.

Bahkan, warga sekampungnya tidak paham dengan apa yang dibicarakannya. Kalau Salahudin menggunakan Bahasa Buton, mereka mengerti. Yang rumitnya adalah saat ia mencampuradukkan Bahasa Buton dengan bahasa-bahasa lain yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya.

Saat mengakhiri pembicaraan, ia selalu tertawa terkekeh dengan mengacungkan jari jempolnya.

Kendati demikian, beberapa hal yang kami tanyakan, ia jelaskan dengan baik meskipun ringkas.

Ia mulai mengumpulkan sampah sejak tiga tahun lalu. Sampah jenis apa saja, ia pungut entah di laut atau di lingkungan sekitarnya.

Setelah dipungut, sampah dicuci hingga bersih dan tidak mengeluarkan bau tak sedap.

Menurut penuturan sejumlah warga, Salahudin memungut sampah setiap hari. Tiada hari tanpa pungut sampah.

“Ia biasanya cuci sampah di laut. Tidak puas di laut, dia cuci lagi pakai air keran. Kadang-kadang air keran habis gara-gara dia punya sampah,” kata Salihun, salah satu pemuda Koja Doi.

Lucunya juga, warga kadang-kadang marah karena ulah Salahudin yang tidak hanya memungut sampah tetapi juga mengangkut jemuran tetangganya untuk dikumpulkan di rumah sampah.

“Pikirnya itu juga sampah. Dia angkat semua. Tapi itu awal-awal, sekarang sudah tidak lagi. Bagus sekali yang dia lakukan, lingkungan jadi bersih,” kata Salihun.

Mungkin karena sudah ngobrol terlalu lama, Salahudin pamit dan kembali ke dalam rumahnya dijemput oleh tiga kucing kecilnya di depan pintu rumah.  

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA