Tentang Agama dan Iman

Oleh

Eka Putra Nggalu*

Cum eadem spes

Sicut tua, te amo.

iklan

Spes me semper salvat

Cum religio non iam satis sit.

(Dengan iman yang sama

Seperti imanmu, aku menyayangimu.

Iman senantiasa menyelamatkan

Aku ketika agama tak lagi cukup)

Tentang syair ini, Mario Lawi, si Penulis pernah berterus terang, ‘cinta beda agama’-lah yang melatari bangunan pemaknaannya. Namun, syair tetaplah syair, puisi tetaplah puisi. Penyair selalu sudah langsung mati ketika ia menyajikan syair yang ditulisnya (dengan otoritas pemaknaan) kepada semua yang mengapresiasi karya itu. Yang tertinggal hanyalah syair yang dihadapi oleh begitu banyak pembaca, penikmat, pendengar, dan semua yang memberi waktu untuk sekedar merenungkannya. Dengan demikian, makna tak lagi tunggal. Makna perlahan menyebar, merambat, membekas, di otak, hati, hingga gerak laku semua yang mengambil syair itu menjadi miliknya. Mario boleh jadi turut mati bersama ‘cinta beda agama-nya.

Feuerbach mungkin benar. Allah adalah hasil proyeksi manusia-manusia yang kehilangan harapan dan daya untuk hidup. Manusia yang terbatas, selalu melihat diri dalam dualisme antara ketidakmampuannya, dengan sesuatu yang lain yang lebih luas dari kemampuannya. Manusia lantas memproyeksikan ‘sesuatu yang tak terbatas’ sebagai yang ada, berdiri sendiri, dan berkuasa di luar dirinya. ‘Sesuatu yang tak terbatas’ itu diberi karakter manusiawi, dipersonifikasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sosok patronis, tempat ia bisa meletakkan segala beban dalam hidup yang keras.

Manusia menyembahnya, menjadikan dia sandaran dan penopang: sesuatu yang menurut Feuerbach menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri. ‘Manusia mengakui dalam Tuhan, sesuatu yang diingkari dari dirinya sendiri’. Karena itu, manusia beragama yang menyembah adanya sesuatu yang disebut Tuhan selalu sudah terasing dengan dan dari dirinya sendiri.

Marx yang dicerahkan oleh Feuerbach pun tidak main-main mengkritik agama sebagai candu masyarakat. Agama semakin meninabobokan manusia, yang secara negatif dalam kerangka pemahaman Marx dapat dipahami sebagai ‘the suffering being’. Manusia sebagai makhluk yang terbatas adalah makhluk yang menderita. Namun, Marx tidak hanya berhenti pada kritik terhadap agama. Menurut Marx, pelarian yang dilakukan oleh manusia selalu didorong oleh realitas yang tidak memberi jaminan kepada manusia untuk hidup sesuai dengan fitrah dan pilihan bebasnya. Kritik pada agama adalah tumpul tanpa kritik terhadap sistem-sistem dalam masyarakat. Kritik terhadap surga adalah sia-sia tanpa adanya kritik terhadap dunia.

Marx ingin mengubah dunia, karena interpretasi, baginya selalu tidak cukup. Marx ingin agar realitas yang telah terdistorsi oleh kelas-kelas sosial, ekonomi kapitalis yang secara tidak langsung maupun langsung mendapat legitimasinya dalam agama dan kebudayaan, harus segera diakhiri dengan satu aksi revolusioner bercorak sosialisme ilmiah, demi tercapainya ‘kerajaan kebebasan’. Bagi Marx, kesetaraan kelas adalah segalanya, dan manusia pada akhirnya adalah materi, dan selalu hanya materi. Manusia adalah economic animal.

Bagi Mario, agama bisa menjadi sangat terbatas. Agama bisa menjadi tak cukup. Bagi Mario, agama dalam arti tertentu bisa menjadi penghalang, atau tembok yang memenjarakan.

Marx mungkin mendasari kritiknya akan agama dengan melihat situasi Gereja yang amburadul pada masa itu. Gereja yang menjanjikan pembebasan, justru melegitimasi ketertindasan dan tidak memiliki opsi terhadap yang menderita, kecuali pelajaran moral yang sama sekali tidak mengubah sistem dalam realitas masyarakat. Pelajaran moral dan kesalehan bukan satu-satunya indikator yang bisa mengubah taraf kesejahteraan hidup manusia.

Kisah tentang Allah yang lewat nabi-nabinya – bahkan Putra-Nya sendiri – membebaskan penderitaan para janda dan anak-anak yatim piatu agaknya hanya menjadi utopia semata. Marx meragukan keberpihakan Gereja, dan mempertanyakan janji kebangkitan jiwa-badan, yang selalu berarti manusia akan mengalami transformasi secara keseluruhan sebagai pribadi di surga kelak, bahkan tanpa harus bersusah payah mengusahakan kehidupannya di dunia. Agama, bagi Marx, menjanjikan sesuatu yang pada kenyataannya tidak dapat diusahakannya sendiri.

Marx mungkin akan semakin tertawa jika tahu, telah banyak manusia di dunia ini yang hidup dalam agama dengan suatu kesadaran palsu. Kesadaran palsu itu yang membuat manusia selalu membuat kapling-kapling eksklusif, mengidentifikasi dirinya sebagai yang lain dari yang lain, yang benar dari yang bidaah, yang baik dari yang buruk, dan yang suci dari yang najis. Marx akan semakin berbangga diri sembari mencibir ketika melihat doktrin-doktrin agama menjadi basis legitimasi berbagai jenis teror, pembunuhan, perang, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya.

Agama masa kini adalah agama dalam ideal Marx, agama yang menjadi candu bagi masyarakat. Siapa saja yang hidup dalam candu, kemabukan, dan kesadaran palsu, berpotensi arogan dan reaktif jika berhadapan dengan yang lain, yang dianggap mengancam eksistensinya. Sekali lagi, Marx mungkin akan tertawa dengan sangat nikmat jika fenomena seperti ini bisa diamatinya.

Namun, apakah Marx bisa membatalkan, kalau manusia juga selalu punya appetitus naturalis, sebuah kerinduan (keterarahan) yang sifatnya alamiah kepada kebahagiaan dan kedamaian sempurna, yang selamanya tidak bisa dipuaskan oleh barang-barang ekonomis semata? Marx mungkin bisa menghapus kapitalisme pun secara utopis, tetapi apakah Marx, dengan sistem ekonominya bisa membatalkan factum primum, bahwa manusia secara ontologis memiliki keterbatasan yang paling radikal dari eksistensinya sebagai manusia, yang oleh karenanya selalu terbuka kepada Yang Transenden, sebagai cakrawala tak terbatas, tempat ia mengeksplorasi kerinduan-kerinduannya?

Keterbukaan kepada Yang Transenden sebagai cakrawala yang tidak terbatas tidak serta merta membuktikan adanya Tuhan, tetapi juga tidak bisa membatalkan begitu saja adanya Tuhan. Intinya, manusia selalu melebihi yang materi semata. Manusia selalu bermatra epistemologis, etis, dan estetis.

Dan iman selalu hadir sebagai sebuah keberanian berkonsistensi terhadap sesuatu yang diyakini, yang juga selalu berpaut erat dengan harapan sebagai sebuah cakrawala, kaki langit kemungkinan dan cinta sebagai daya yang mempersatukan. Iman selalu menuntut adanya keterbukaan, merasakan sesuatu yang tak terbatas. Iman selalu berarti penyingkapan diri yang total terhadap sesuatu yang transenden, yang hanya bisa diterima keberadaannya dengan seluruh diri dan sangat pribadi. Iman pun menuntut adanya pemberian diri terhadap yang lain, kebersediaan untuk berkomunikasi dengan yang lain sebagai yang setara dalam komunitas kosmik.

Manusia tidak serta merta bisa direduksikan sebagai economic animal, tidak juga bisa dipenjara dalam tembok-tembok keagamaan yang sempit. Manusia adalah substansi dan subjek multidimensional yang tidak hanya bisa ditakar secara material, tetapi satu-kesatuan jiwa-badan yang bertindih tepat. Materialisme Marx sesungguhnya kontradiktoris dalam dirinya sendiri, ketika di satu sisi berusaha mengkampanyekan kemampuan manusia mengenal esensi materialnya, dan dalam memprediksikan hakikat serta tujuan akhir sejarah, tetapi di sisi yang lain bersikukuh bahwa pengetahuan manusia hanya bersumber dari hal-hal empiris, pengalaman indrawi saat ini.

Manusia bukanlah makhluk yang menyerah pada determinisme alam. Manusia bisa melampauinya, dengan rasionalitas dan imannya. Manusia pun terbuka pada keterbatasannya. Manusia terbuka pada kekurangannya. Manusia mentransendensi dirinya, terbuka pada pelbagai kemungkinan kebahagiaan, kedamaian, dengan cinta sebagai kekuatan utama mencapai cita-cita kesempurnaan itu. Sehingga, dalam wujud yang paling nyata, keterbukaan itu melahirkan penerimaan kepada yang lain sebagai partner, sebagai sebuah penolong yang sepadan, sebagai yang satu dalam komunitas kosmik.

Manusia mungkin perlu agama sebagai panduan yang mengarahkannya untuk membuka diri kepada yang lain, juga kepada Yang Transenden. Agama yang statis, bisa menjadi penjaga ritme, pembentuk kebiasaan, dan juga bisa menjadi penuntun dalam membangun sistem nilai yang bisa dihidupi oleh manusia dalam keterbatasannya, dalam ruang serta waktu yang terbatas pula selama ia hidup di dunia ini.

Namun, agama lewat doktrinnya tidak bisa membatasi interelasi manusia sebagai yang sama-sama hadir dalam komunitas kosmik, yang selalu menuntut adanya komunikasi, saling pengertian, tenggang rasa, dan sikap saling berbagi. Iman yang bersifat liquid, yang adekuat dengan cinta serta harapan adalah penyambung asa, jembatan, dan landasan komunikasi ketika doktrin agama menjadi penghalang, sistem dan kelas ekonomi menjadi pemisah, dan perbedaan suku serta ras menjadi tameng untuk saling menutup diri. Manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, manusia bisa hidup tanpa kekayaan harta benda, tetapi manusia sama sekali tidak bisa hidup tanpa iman, harap, dan kasih sebagai satu kesatuan adekuat yang menopang keterbatasan ontologis manusia.

*Ketua Komunitas KAHE, Redaktur EKORA NTT

TERKINI
BACA JUGA