Ledalero, Ekorantt.com – Malam kedua bazar perayaan 50 tahun STFK Ledalero, Kamis (5/9/2019) mendadak riuh.
Tepuk tangan dan sorak-sorai muncul dari segala arah.
Tepuk tangan itu mengiringi parade busana yang ditampilkan oleh para waria di atas panggung hiburan yang dibangun di halaman depan aula St. Thomas Aquinas, Ledalero.
Waria-waria itu berdandan cantik.
Aneka ragam busana mereka kenakan, mulai dari gaun, terusan, hingga modifikasi busana tradisional Papua.
Mereka berjalan begitu anggun.
Senyum merekah di wajah mereka. Seolah menyahut setiap tepukan tangan dan sorak sorai para penonton malam itu.
Pater Fredy Sebho, SVD mengakui, sejak awal, rencana melibatkan para waria di perayaan emas STFK Ledalero mendapat persetujuan dan apresiasi tidak saja dari dirinya selaku koordinator acara, tetapi juga dari seluruh anggota panitia.
Baginya, sudah saatnya eksistensi para waria, khususnya waria di Kabupaten Sikka diakui dan diterima baik oleh Ledalero sebagai institusi pendidikan yang inklusif maupun Gereja dan masyarakat secara umum.
Para waria yang tergabung dalam Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas) dilibatkan sejak simposium dan bazar hari pertama pada Rabu (4/9/2019) hingga perayaan puncak 50 tahun STFK Ledalero, Minggu (8/9/2019).
Pada bazar malam pertama, Rabu (4/9/2019), Mayora, seorang waria asal Habi menampilkan stand up comedy.
Salah satu yang terekam cukup kuat di ingatan penonton tentang penampilan Mayora malam itu adalah kampanye-kampanyenya tentang visi masyarakat inklusif di Maumere.
Malam itu, Mayora memimpikan Maumere hadir sebagai istana cinta kasih, tempat semua orang bisa hidup dan bereksistensi, saling menerima dan bertenggang rasa.
Ia mengajak semua penonton untuk menghargai keanekaragaman baik agama, suku, ras, maupun gender dan seksualitas.
Tampil memukau di malam pertama, Mayora lantas didapuk sebagai master of ceremony di malam kedua hingga acara resepsi pada puncak perayaan 50 tahun STFK Ledalero.
Pada bazar malam kedua, Mayora bersama Virgin, Yani, Yolanda dan beberapa waria lain menampilkan parade busana.
Parade busana itu menjadi acara yang paling memukau penonton selama tiga hari perhelatan bazar.
Yani, seorang waria muslim mengaku sangat bahagia mengalami sambutan yang hangat dari publik Ledalero malam itu.
“Saya merasa sangat senang, terhibur dan dihargai sekali. Luar biasa. Saya baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Penontonnya juga sangat antusias menyaksikan penampilan perwakas,” kata dia.
Pada malam ketiga, berkolaborasi dengan Komunitas KAHE, Perwakas menampilkan sebuah teater.
Ricky, Aty, Tika, dan Rendy dari KAHE memainkan lagu Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul.
Yani dan Yolanda merespons teks yang dibawakan oleh Adinda.
Teks itu adalah hasil transkripsi dari wawancara yang dilakukan oleh Mario Nuwa dan Ryn Naru dari Komunitas KAHE dengan beberapa orang waria.
Teks itu dikomposisikan lagi oleh Eka Nggalu sebagai sutradara.
Jimmy merespons suasana di atas panggung dengan sebuah tarian di antara para penonton.
Pertunjukan kolaborasi antara KAHE dan Perwakas berlangsung sekitar 20 menit.
Teater yang Kontroversial
Kontroversi terjadi setelah penampilan teater kolaborasi KAHE dan Perwakas.
Mula-mula, kontroversi itu dipicu oleh Melki.
Dia merasa, bahasa yang terdapat di dalam teks tersebut tidak pantas dibacakan di depan para biarawan.
Menurutnya, bahasa terlalu vulgar.
Usai acara, Melki menemui Adinda dan keduanya sempat terlibat adu mulut.
Namun, situasi bisa diredakan oleh beberapa waria dan anggota Komunitas KAHE.
Pater Maxi Manu, SVD punya pendapat sendiri.
Ketika menemui beberapa anggota Komunitas KAHE keesokan harinya, Sabtu (7/9/2019), ia mengatakan bahwa bahasa dalam teks pertunjukan KAHE dan Perwakas terlalu vulgar.
Pater Maxi menimbang kehadiran para audiens di bawah umur pada acara malam hari itu.
Menurut dosen psikologi di STFK Ledalero itu, bahasa-bahasa yang kasar dan terkesan vulgar tidak baik untuk anak-anak.
“Ada orang tua yang menarik anaknya untuk pulang ketika mendengar kalimat-kalimat itu,” ujar P. Maxi.
Pater Maxi juga menyoroti keterlibatan Waria yang menurutnya tidak mampu mengontrol kebebasan dan ruang yang sudah diberikan.
Ia mengaku sudah berbicara dengan Pater Otto Gusti, SVD selaku ketua sekolah untuk tidak memberi kesempatan kepada Waria tampil di acara puncak 50 tahun STFK Ledalero, Minggu (8/9/2019).
Hal ini tentu tidak terbukti.
Sebab, sekali lagi, Mayora tampil sebagai master of ceremony di resepsi puncak.
Frater Charys Djuwa Dobe Ngole, SVD, mahasiswa tingkat V STFK Ledalero ketika dihubungi EKORANTTpada Senin (9/9/2019) juga mengakui bahwa ada polemik mengenai pementasan teater tersebut di kalangan para frater.
Pendapat-pendapat kontra kurang lebih mempersoalkan bahasa yang vulgar, paragraf yang secara terang-terangan menyebut biarawan munafik, batasan antara seni dan bukan seni, hingga kesalahan para penampil yang tidak mempertimbangkan audiens anak-anak.
Ia menilai KAHE dan Perwakas kurang bijak mempertimbangkan penonton.
Meski demikian, ia setuju dengan substansi dari pertunjukan tersebut.
“Penampilan Waria di Ledalero adalah sesuatu yang baru. Saya juga melihat kehadiran Waria di acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai sebuah wujud nyata dari option for the poor yang selama ini digaungkan-gaungkan. Meski skalanya tentu tidak luas. Kalau teks teater itu berangkat dari sebuah riset dan disampaikan dalam sebuah karya seni, itu tidak jadi soal. Teks tidak lantas dibaca sebagai usaha mendobrak satu institusi yang sudah mapan atas dasar sentimen tertentu, tetapi harus dilihat juga dalam konteks pemurnian. Teologi kontekstual yang dikembangkan di STFK tidak berbicara tentang sesuatu yang ideal, tetapi juga sesuatu yang harus dibuat dan diperjuangkan sesuai dengan realitas. Dalam konteks teater kemarin, penerimaan terhadap waria,” kata calon imam Serikat Sabda Allah yang baru saja mengikrarkan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan pada 15 Agustus 2019 lalu ini.
Khanis Suvianita, peneliti Waria yang kala itu menyaksikan acara tersebut, memberikan beberapa catatan terkait hal ini.
Menurutnya, penggunaan bahasa jalanan memang rentan ditanggapi secara negatif oleh masyarakat yang masih tabu dengan diksi-diksi yang merujuk pada hal-hal seksual, apalagi jika kata-kata itu menyinggung biarawan dan dilontarkan di tengah umat yang masih memandang biarawan dengan penuh keagungan.
Meski demikian, ia merasa, tabu seperti itu memang perlu cairkan secara terus-menerus lewat berbagai cara.
Lebih jauh, Khanis mewanti-wanti Komunitas KAHE untuk bersikap bijak.
Sebab, yang paling dirugikan oleh kejadian seperti ini adalah Waria.
Citra Waria bisa saja menjadi semakin buruk karena yang dilihat sebagai penampil di acara tersebut adalah mereka.
Meski demikian, Khanis mengapresiasi keberanian dan kemauan KAHE untuk mengadvokasi Waria lewat kesenian.
Itu pilihan yang berisiko penolakan.
Adinda, Waria yang membacakan teks tersebut, merasa bahwa teks tersebut bukanlah sesuatu yang vulgar dan tidak dimaksudkan untuk menghina.
“Masing-masing orang punya pendapat tentang teks itu, tergantung cara dia mendengar. Tetapi, menurut saya, itu adalah sebuah kejujuran. Tidak direka-reka. Narasi itu hasil wawancara bukan hasil karangan. Jika ada biarawan yang tersinggung, mungkin pantas. Sebab, teks itu menyebut mereka. Saya sendiri punya pengalaman buruk dengan biarawan. Harapan saya, teater yang vulgar itu tidak buat orang semakin membenci kami,” kata dia.
Yani juga mengakui bahwa teks tersebut adalah pengalaman asli mereka.
Ia menyebutnya sebagai pengalaman metamorfosis diri.
“Banyak orang yang menerima kami malam itu. Teks itu bukan hal yang vulgar. Itu adalah sebuah kejujuran. Itu metamorfosis hidup yang kami alami. Kami mau masyarakat tahu betapa sulit perjuangan kami dan ketika mereka tahu, kami harap mereka mau menerima kami,” ungkap dia.
Komunitas KAHE mengucapkan permohonan maaf sekiranya teater tersebut menyinggung atau membuat situasi di bazar STFK Ledalero menjadi tidak nyaman.
Pemilihan teks tersebut tidak bermaksud memojokkan siapapun, tetapi hendak menampilkan realitas Waria apa adanya.
KAHE tidak ingin terjebak sebagai representasi dari Waria, tetapi memilih untuk menghadirkan suara Waria apa adanya, dengan menampilkan transkrip wawancara tersebut, setelah mendapat persetujuan dari para Waria.
Visi Masyarakat Inklusif
Lebih jauh, Khanis Suvianita mengakui bahwa fenomena yang ia temui di Maumere membuktikan, sesungguhnya agama begitu ramah terhadap Waria.
Dalam pengamatan awalnya, ia berpendapat, institusi agama, dalam hal ini Gereja Katolik, menerima kehadiran Waria.
Situasi ini berbeda dengan yang ditemuinya di Jawa.
Di Jawa, banyak kampanye negatif tentang Waria justru dimulai dari indoktrinasi-indoktrinasi yang dilakukan dalam aktivitas-aktivitas keagamaan.
Di Flores, ia bisa menjumpai seorang Waria aktif sebagai seorang koster, pelayan altar hingga ketua Orang Muda Katolik (OMK).
Dalam pemakaman seorang Waria, Waria tersebut diberkati oleh pastor dan di tidak dipanggil dengan kata ganti orang almarhum atau almarhumah, tetapi dengan nama yang sering dipanggil semasa hidupnya.
Khanis sendiri optimis bahwa keramahan Gereja terhadap waria akan berdampak pada penerimaan umat terhadap kaum yang selama ini dipandang dengan penuh stigma negatif itu.
Hanya saja, aspek teologi dan pastoralnya perlu dirancang secara teliti dan sungguh-sungguh menimbang dan berpihak pada Waria tanpa menyepelekan dinamika di kalangan umat.
Frater Charys sendiri melihat kehadiran Waria di acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai satu statement yang kuat dan sangat positif dalam hal penerimaan terhadap eksistensi waria.
STFK Ledalero, yang memiliki nama besar, bisa membangkitkan perdebatan dan wacana mengenai Waria di kalangan Gereja Katolik universal.
Lebih dari itu, STFK Ledalero bisa mempengaruhi semakin banyak umat dan masyarakat untuk menerima serta bersolider dengan orang-orang yang terpinggirkan.
“Secara dogmatis-magisterium, Gereja belum mengakui Waria. Namun, Gereja perlu menimbang kenyataan-kenyataan pastoral yang terjadi di lapangan. Menurut saya, perlu ada diskursus antara hal-hal yang sifatnya rigid dan kenyataan-kenyataan pastoral. Ensiklik Paus, Amoris Laetitiae, yang berbicara tentang belas kasih Allah yang besar dan Allah yang mengampunijadi salah satu contoh bagaimana Paus Fransiskus mencoba membuka diskursus antara kenyataan-kenyataan pastoral semacam ini dan dogma-dogma. Option for the poor dan option with the poor bukan pertama-tama melihat orang kecil dalam sudut pandang benar atau salah, tetapi karena mereka adalah kelompok yang menderita dan terpinggirkan,” kata Frater Charys.
Pater Fredy Sebho sendiri melihat kehadiran Waria dalam seluruh rangkaian acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai sebuah bentuk ekumene yang sangat konkret.
Menurutnya, mengajak Waria berdialog, melihat Tuhan dari perspektif Waria dan mendengarkan Waria berbicara tentang Tuhan-nya adalah aplikasi teologi kontekstual yang sangat nyata di Maumere.
Penerimaan terhadap Waria dan upaya-upaya mendekatkan diri dengan Waria melalui pelayanan doa dan katekese misalnya, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan oleh STFK Ledalero maupun oleh Gereja Katolik di Maumere.
Dalam khotbah di misa puncak 50 tahun STFK Ledalero, Superior General SVD Pater Budi Kleden, SVD mengajak segenap keluarga besar STFK Ledalero untuk menjadi pejuang bagi kemerdekaan diri sendiri dan orang lain dari berbagai macam belenggu.
Kiranya, ajakan ini juga menjadi visi bagi usaha penerimaan dan pengakuan terhadap keberadaan Waria di tengah masyarakat Maumere yang tumbuh dalam tradisi Katolik yang kental, juga dalam karya-karya misi para alumni STFK Ledalero ke belahan dunia lain yang sarat dengan ragam perbedaan.
Seperti kata Pater Budi Kleden, SVD, cinta kepada kebenaran memberikan ruang bagi yang lain untuk menjadi dirinya.
50 Tahun STFK Ledalero
Penampilan para Waria di Ledalero merupakan bagian dari rangkaian acara memeriahkan perayaan 50 tahun STFK Ledalero yang jatuh pada Minggu, 8 September 2019.
Dalam pertanggungjawaban publiknya usai Ekaristi, Minggu (8/9/2019), Pater Yos Keladu Koten, SVD mewakili Panitia Emas STFK Ledalero memaparkan, rangkaian kegiatan menyongsong perayaan 50 tahun STFK Ledalero dibuka secara resmi pada 15 September 2018 lalu.
Selama satu tahun, panitia telah menggelar aneka kegiatan sebagai berikut.
Pertama, kegiatan ilmiah. Di antaranya pertama, penerbitan buku ilmiah “STFK Ledalero Separuh Kenangan” dan “HIDUP Sebuah Pertanyaan: Kenangan 50 Tahun STFK Ledalero” pada September 2018, kedua, seminar, kuliah umum, dan simposium internasional yang menghadirkan para pembicara lokal, nasional, dan internasional seperti Ignas Kleden, Karl Steinback, Johny Plate, Viktor Laiskodat, Robby Idong, Prof. Azzyumirad, Paul Budi Kleden, dan Prof. Stephen B. Bevans, dan ketiga, sayembara penulisan artikel ilmiah tingkat nasional.
Kedua, kegiatan sosial. Di antaranya pertama, penghijauan, kedua, silaturahmi lintas agama, ketiga, penggalangan dana gempa di Lombok, keempat, bakti sosial, kelima konser amal, dan turnamen sepak bola antartingkat.
Ketiga, pengembangan STFK Ledalero. Di antaranya pembukaan Prodi Pendidikan Agama Katolik dan Prodi-Prodi lainnya yang sedang dikaji.
Menurut Pater Yos, sumber dana pelaksanaan kegiatan emas STFK Ledalero berasal dari donatur sebesar Rp2,8 Miliar dan para alumni sebesar Rp400 Juta.
Panitia berjanji akan menggunakan dana tersebut untuk membiayai pengembangan STFK Ledalero.
Dalam acara puncak emas STFK Ledalero itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT beri bantuan kepada STFK Ledalero sebesar Rp500 Juta.
Bantuan uang tunai itu diserahkan langsung oleh Kepala Bagian Keuangan Setda Provinsi NTT kepada Ketua STFK Ledalero Pater Otto Gusti Nd. Madung, SVD.
Profil STFK Ledalero
Sejak didirikan pada tahun 1937 hingga tahun 1969, lembaga pendidikan ini menggunakan nama Seminari Santo Paulus Ledalero.
Pada Januari 1969, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) berdiri secara resmi sebagai salah satu bagian dari Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero.
Motto sekolah tinggi ini adalah Diligite Lumen Sapientiae atau bernyalalah terang kebijaksanaan.
Dalam sejarah pendidikan Republik Indonesia sampai tahun 2016, berdasarkan peringkat dari Kemenristekdikti, STFK Ledalero menempati urutan ke – 133 dari 3.200 perguruan tinggi di Indonesia dan peringkat ke – 2 di kawasan Nusa Tenggara Timur.
STFK Ledalero terakreditasi B oleh BAN – PT dengan nomor SK 0790/SK/BAN-PT/Akred/PT/VI/2016.
Perayaan puncak Emas STFK Ledalero dihadiri oleh Uskup Maumere Mgr. Martinus Edwaldus Sedu, Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung, Superior General SVD Pater Budi Kleden, SVD, Provinsial SVD Ende Pater Lukas Jua, SVD, Kepala Biro Humas Setda Provinsi NTT Marius Jelamu, dan Kasubid Pendidikan Tinggi Dirjen Bimas Katolik Bosco Otto.
Uskup Edwaldus memimpin perayaan Ekaristi sebagai selebran utama didampingi Uskup Frans serta puluhan imam konselebrantes.
Koor gabungan mahasiswa STFK Ledalero dan umat Paroki Santo Thomas Morus Maumere.
105 penari dari SMK St. Yohanes XXIII ikut memeriahkan perayaan tersebut.
Ad multos annos, STFK Ledalero. (eka/sil)