Oleh
Marianus Nuwa a.ka Ge Mario*
Sudah pukul 08.00 WITA dan saya baru saja bangun dari tidur yang lelap. Itu tidur yang memberi kelegaan untuk anak muda seumuran saya yang disebut kebanyakan orang sebagai penggangguran. Negara memang sedang susah-susahnya memberi pekerjaan kepada anak-anaknya.
Itu sebabnya, kepada generasi muda, dianjurkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri; membuka bengkel, memanfaatkan luas perkebunan yang belum maksimal, memelihara ternak, dan berbagai pemanfaatan potensi lainnya.
Baru saja bangun tidur dan belum menyeruput kopi, ibu sudah marah-marah. Kali ini soal pembayaran BPJS. Sudah lewat dari batas pembayaran di awal bulan, bapak belum melaksanakan kewajibannya untuk membayar jaminan kesehatan itu. Kalau soal pulsa listrik dan air, semuanya sudah terbayar sesuai dengan ketentuannya. Pembayaran menggunakan sistem pulsa memang menuntut kecepatan. Sebab, dengan sistem pulsa, telat sejam, kehidupan akan terancam. Pendingin makanan dan air bisa tidak mendapat sajiannya yang baik.
Itu sebabnya, para ibu rumah tangga bekerja lebih ekstra. Disiplin ditanamkan. Kerja dimaksimalkan.
Meski ibu marah-marah soal keterlambatan pembayaran BPJS itu, bapak seperti tidak menggubris. Asap rokok di sampingnya mengepul. Segelas kopi yang khas Flores yang dibelinya di Bajawa menambah aroma paginya yang damai itu. Ia membaca koran. Tetapi bukan koran hari itu. Saya tahu, itu koran bekas. Sebab, koran itu saya bawa kemarin untuk membungkus beberapa potong buku yang saya pinjam dari seorang sahabat saya.
Bapak membacanya dengan serius, seolah sedang mengkuliti setiap isi bacaan tersebut. Matanya yang sudah tidak muda lagi untuk usianya itu, difokuskan pada detail kata, kalimat, dan paragraf yang tentu saja dengan kerja keras yang tidak sedikit diketik oleh wartawan dan juru editor.
Saya tidak ingin mengganggunya. Sebab, saya tahu, pilihan membaca koran jaman ini bukanlah hal yang mudah. Saat media sosial aktif mengabarkan berita-beritanya, golongan tua seperti bapak saya ini justru kesulitan mengakses berita melalui media cetak.
“Padahal, membaca koran itu enak sekali. Ada baunya. Ada aroma kayu-kayunya. Kalau membaca lewat handphone, mata saya cepat lelah. Belum lagi, terlalu banyak aroma listriknya.”
Itu sebabnya, konsentrasinya membaca koran pagi itu tidak ingin saya ganggu. Saya tidak ingin ia kehilangan beberapa kisah kota kabupaten yang kecil ini dalam koran tersebut.
“Ya, tentu saja dengan membaca, saya dapat banyak ilmunya. Pengetahuan lebih luas. Baik kan untuk penyegaran otak.”
Jika pembicaraan melebar soal membaca, bapak pasti bercerita lebih segar. Bukan karena kebanggaan akan luasnya pengetahuannya, tetapi memang demikianlah orangnya. Jika bekaitan dengan membaca, ia kelihatan lebih muda beberapa tahun saat menyampaikan isi bacaannya.
“Sekurang-kurannya saya tahu siapa itu Soekarna dan apa keinginannya. Kalau Soekarno kelihatan lebih agresif, Bung Hatta lain lagi. Bung Hatta kuat penerapan kemajuan bangsa menggunakan jalur pendidikan. Ini sama halnya dengan Soedirman, Djuanda, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Sutan Syair, dan lain-lain,” jelasnya.
Saya ingat, ia pernah bercerita soal Soekarno dan para pejuang bangsa setelah membaca salah satu buku yang membahas ketokohan para pendiri bangsa ini. Jika pagi ini ia membaca koran yang mewartakan situasi kota, tentu saja pengelanaannya terhadap situasi kota ini lebih dalam. Ya, sekurang-kurangnya, ia lebih sejengkal dari para politisi atau mahasiswa yang tidak pernah meluangkan waktunya untuk membaca. Tiba-tiba, saya teringat apa yang harus saya lakukan dengan BPJS.
*Pegiat di Komunitas KAHE