Logos, Ledalogos, dan Ledalodima* (1/3)

Oleh:

Emilianus Yakob Sese Tolo

Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT

Sore itu, sembilan Oktober 1987, di Ledalero, tepat jam enambelas dua puluh menit, di atas langit, awan berarak tenang, tetapi, di bawah kaki langit, kurang lebih 150 imam berarak teratur dari pendopo Seminari Tinggi Ledalero menuju panggung upacara di depan Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero untuk merayakan pesta emas lima puluh tahun Seminari Tinggi Ledalero.

Di depan altar perayaan, tarian Ja’i dan Likurai silih berganti meracik tari yang paling apik mengagungkan Ledalero yang sudah menjelma menjadi Ledalogos.

iklan

Sebab, seperti yang ditandaskan oleh Dr. Nikolaus Hayon, SVD dalam kotbahnya bahwa “pada awal mula adalah Sabda, pada awal mula adalah matahari sejati, lalu ada Ledalero, lalu ada Seminari Tinggi, lalu ada penghuni dan ada Imam yang diutus. […] Ledalero, tempat sandar matahari, jadi Ledalogos, yakni tempat sandar sang Sabda, yang adalah matahari sejati. […] Tahun-tahun di bukit ini merupakan saat-saat menyadap sinar matahari sejati, tiba waktunya diutus pergi dari bukit ini untuk berdialog, berinkulturasi serta mengupayakan keadilan sosial dan damai” (Majalah Hidup 8/11/1987: 7).

Tiga puluh dua tahun kemudian, di bulan september 2019, bertepatan dengan perayaan lima puluh tahun STFK ledalero, Ledalogos, tempat sandar sang logos, menjadi medan dialektik dalam mana logos itu secara filosofis kembali dipertanyakan serentak dijawab oleh tiga sarjana pencari logos di STFK Ledalero, sebuah lembaga pendidikan agama Katolik, filsafat, dan teologi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saya — dalam artikel Upaya Menggapai Kebijaksanaan (Flores Pos, 14/9/2019) — menandaskan bahwa logos dapat dipahami melalui logika dialektika materialis Marxis melalui Marxisme.

Toni Mbukut — dalam artikel Sabda Sebagai Sumber Spiritual dan Pusat Intelektual (Flores Pos, 24/9/2019)— menegaskan bahwa logos hanya lebih dipahami melalui Injil.

Sementara itu, Elton Wada —dalam artikel Yang Absen dalam Filsafat Kemapanan dan Teologi Kemapanan (Flores Pos, 26/9/2019)— menegaskan bahwa logos hanya bisa dipahami dengan mendorong filsafat yang berlandaskan pada logika dialektika materialis Marxis dan “logos yang terus berubah-ubah” dalam satu medan penelitian sosial.  

Sebagai seorang sarjana yang digugat dalam perdebatan tentang logos ini, saya patut bertanya, apakah Toni dan Elton sudah memberi jawaban-jawaban yang tepat tentang logos dari hasil refleksi filosofis mereka dari atas bukit Ledalogos ini?

Toni Menerawang

Toni, seorang mahasiswa pasca sarjana di STFK Ledalero, mempersoalkan pendapat saya bahwa logos merevelasikan diri melalui para penulis, pembicara, dan pengkhotbah dalam pesta emas STFK Ledalero 2019 dalam gerak logika dialektika materialis Marxis.

Bagi Toni, kesimpulan saya itu adalah “sebuah keterlaluan yang terburu-buru dan cenderung sempit.”

Sebab, bagi Toni, logos yang terevelasi dalam pesta emas STFK Ledalero adalah logos, sabda Allah, seperti dalam bahasa Yunani.

Logos yang demikian, seperti yang diyakini oleh Heraklitus, adalah satu entitas yang real, yang adalah sebab imanen dari segala perubahan abadi dalam segala benda dalam realitas dunia.

Logos inilah sumber pengetahuan dan kebenaran dalam dunia.

Dengan keyakinan seperti ini, Toni adalah bagai seorang formalist, pemberhala logika formal.

Pemberhala logika ini cenderung jatuh dalam apa yang dalam teologi terlibatnya Paul Budi Kleden (2009) disebut sebagai teologi status quo atau teologi mistik dalam Madilognya Tan Malaka (2015), yang jauh dari dunia, yang cenderung menimpakan semua kebaikan dan keburukan di dunia ini pada sang logos, sabda Allah.

Teologi status quo atau teologi mistik akan dengan mudah mengaitkan semua kejadian di STFK Ledalero sebagai akibat dari intervensi logos.

Karena itu, misalnya, pencetak  5.800 alumnus yang cemerlang, 1.822 imam Katolik yang mana sekitar 500-an orang bekerja sebagai misionaris di berbagai negara, dan 19 uskup (Media Indonesia 29/8/2019); kemenangan lomba penulisan karya ilmiah bank NTT dengan hadiah ratusan juta rupiah; pendominasian mahasiswa dari kalangan tuan tanah-pengusaha-politisi-birokrat di STFK sejak lama; pencurian gading dan uang dari brankas STFK Ledalero; penolakan terhadap Sandiaga Uno sembari mendaku diri pecinta toleransi; sikap acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap demo penolakan mahasiswa di Maumere terhadap UKPK dan RKUHP baru-baru ini; kebiasaan dosen yang tidak mau mengikuti perkembangan zaman seperti melanggengkan pemakaian kertas karbon untuk tugas kuliah; mahasiswa/i yang menyontek; dosen yang lebih sibuk berbicara dari pada berdiam diri di kamar atau perpustakaan untuk membaca, membuat penelitian dan menulis; perpustakaan yang masih terus didominasi buku-buku tua di tengah kenaikan uang sekolah; pelanggengan kondisi kemiskinan di seputar STFK Ledalero; dan penerimaan uang dan bantuan lain pemberian politisi dan birokrat akan dilihat sebagai kehedak logos, Sabda Allah.

Cara pandang seperti ini, yang meletakkan semua tanggung jawab atas kebaikan dan kekacauan di bumi, termasuk di STFK Ledalero, di atas pundak sang logos, adalah tindakan seorang penerawang, seperti seorang Toni, yang tidak aktif dan fasih menggunakan otak dan tenaganya dalam karyanya di bumi, dan, karena itu, mematikan kreativitas dan tangggung jawabnya dalam merespons semua peristiwa yang berhiaskan kebaikan dan kemalangan yang dihadapi di bumi.

Semangat teologi status quo, yang merasuki Toni, mendorong Toni untuk cenderung menerima pelarangan Negara atas pengajaran Marxisme, termasuk di dunia pendidikan, sebagai seolah-olah kehendak logos, sang Sabda.

Padahal, pelarangan itu adalah produk dari pertarungan yang sarat dengan kepentingan ekonomi-politik tertentu bagi mereka yang menang dalam pertarungan ini.

Hegemoni kekuasaan ekonomi dan politik pemenang pertarungan politik dalam Negara ini sejak tahun 1965 telah membungkam hak masyarakat ilmiah Indonesia untuk mempelajari produk pengetahuan yang pernah dihasilkan dalam sejarah.

Pembungkaman ini bahkan hingga menjadikan korban pembantaian pasca 1965 —yang berjumlah sekitar 500.000-3.000.000 orang yang memiliki pandangan politik berbeda dengan para pemenang — dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa.

Para pelaku pembantaian dianggap sebagai pahlawan, termasuk dalam Gereja itu sendiri (Kolimon, 2015).

Dalam kondisi ini, sikap Toni adalah diam dan patuh di hadapan semua persoalan dan tragedi kemanusiaan ini sambil menerawang menunggu pembenaran dari logos, Sabda Allah.

Selanjutnya, seperti Hayon di muka, Toni memahami semua sepak terjang penghuni Ledalogos adalah untuk menyadap sinar sang logos, Sabda Allah.

Dalam nukilan Hayon, Ledalero yang sudah menjadi Ledalogos, dalam kaitannya dengan meresapi sinar sang logos, adalah tempat di mana “sinar mentari pertama dapat ditangkap dan sinar terakhir masih sisa memantul” (Majalah Hidup 8/11/1987: 7).

Dengan formulasi berbeda, dalam rentang jarak tiga puluh dua tahun, Toni kembali menghadirkan nukilan Hayon di muka dengan arti yang sama, tetapi dengan redaksi diksi yang berbeda bahwa “tujuan utama pergumulan teologis di STFK Ledalero adalah untuk memahami Sabada Allah itu, kemudian mewartakannya sebagai Kabar Gembira kepada seluruh dunia.”

Tetapi, sama seperti Hayon, menurut Toni, pewartaan logos ke seluruh dunia itu menunggu sampai penyadap logos itu hengkang dari Ledalogos.

Berbeda dengan gurunya, tiga puluh dua tahun kemudian, di depan Kapela Agung Ledalero dalam khotbahnya untuk pesta emas STFK Ledalero pada tanggal 8 September 2019, seperti Plato membalikkan serentak mengawinkan Heraklitus dan Parmenides, Dr. Paul Budi Kleden, SVD membalikkan gurunya Hayon, bahwa Ledalogos tidak lagi menjadi tempat untuk menyadap logos saja, tetapi para penyadap itu sendiri, yakni seluruh penghuni STFK Ledalero yang hidup di Ledalogos, harus siap disadap oleh dan untuk yang lain.

Dengan kata lain, seluruh penghuni STFK Ledalero, seperti logika dialektika materialis Marxis, harus menjadi serentak penyadap logos dan orang yang disadap logos-nya dalam waktu yang bersamaan.

Dalam kata-kata Kleden sendiri, untuk menyadap logos (menggapai kebijaksanaan), seluruh penghuni STFK Ledalero harus serentak menjadi seorang idealis dan seorang realis.

Dengan demikian, sejak di Ledalogos sinar logos, sang Sabda, itu harus segera dipancarkan setelah didapat kepada yang lain, yakni manusia dan ciptaan lainnya. Tidak perlu menunggu sampai angkat kaki dari Ledalogos, seperti yang diserukan Toni dan Hayon.

Itu berarti dengan menyadap dan disadap dalam relasinya dengan sang logos di Ledalogos, bila seorang ingin menjadi imam, dia harus rajin mengikuti misa pagi di seminari; jika ada karyawan dan karyawati di seminari atau biara digaji rendah dan murah yang tidak sesuai dengan UMR pemerintah, para seminaris yang sedang studi di STFK Ledalero harus berani menegur dan memprotes pengelola seminari atau biara; jika ada demo melawan UKPK dan RKUHP, para mahasiswa di STFK Ledalero tidak hanya sibuk membaca berita-berita di koran dan media sosial tentang itu di perpustakaan dan menulis tentangnya di berbagai media lokal dan nasional, tetapi juga perlu turut terlibat dalam demo dimaksud; jika para formator di seminari cenderung otoriter dan merasa diri paling benar, para seminaris harus berani menegur dan mengkritik secara bertanggung jawab.

Jika penghuni STFK Ledalero hanya sibuk menyadap dan tidak segera memberi, logos itu akan mati berkembang dalam diri para penghuni STFK Ledalero itu sendiri hingga saat perutusannya tiba.

Akibatnya, setelah hengkang dari Ledalogos, karena ketiadaan logos dalam diri mereka, mereka menjadi penakut untuk melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Mereka, misalnya para pastor dan misionaris, juga takut untuk hidup miskin di tengah kemiskinan umat dan masyarakat dan, karena itu, cenderung otoriter, sebuah sikap anti dialektika yang berlawanan dari logos.

Mereka juga takut tidak hidup dalam kemewahan dunia.

Ketakutan seperti ini pantas dialami bagi mereka yang hanya sibuk menyadap logos dan tidak segera memberi kembali kepada yang lain logos yang diperolehnya sejak keberadaannya di STFK Ledalero.  

Bagi saya, dalam kadar tertentu seperti dalam filsafat prosesnya Alfred North Whitehead dan teologi terlibatnya Paul Budi Kleden, segala sesuatu, termasuk logos itu sendiri, selalu bergerak secara dialektik sebagai karakter alamiah dari dirinya.

Logos itu terus bergerak, yakni gerakan merangkul manusia dan ciptaan yang lain yang disebut anabatis, dan gerakan bersama seluruh ciptaan untuk berdiam dan bersatu di dalam sang logos itu sendiri, yang disebut katabatis.

Sekali logos dibuat berhenti bergerak secara dialektik, dia akan mati bertumbuh dalam diri penyadapnya.

Itulah alasan mengapa banyak jebolan dari STFK Ledalero, seperti yang diungkapkan oleh RD Louis Jawa (Flores Pos 8/9/2019), tidak memiliki keberanian ketika sedang berada dalam medan misi perutusan, entah sebagai awam atau imam Katolik.

Sebab, tanpa logos dalam dirinya, manusia tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebaliknya, logos juga tak bisa menjadi nyata tanpa manusia dan ciptaan lainnya.

Keduanya, Logos (dalam huruf besar) dan logos (dalam huruf kecil) selalu berada dalam ketegangan dialektik abadi untuk sebuah kebaikan bersama.

Pertanyaannya, bagaimana Toni harus mempertanggungjawabkan teologi status quo atau teologi kemapanan dalam bahasa Elton untuk melihat kondisi kemiskinan dan kemelaratan di NTT umumnya dan Flores khususnya, yang menjadi ladang pertama logos dari STFK Ledalero itu ditaburkan?

Di tahun 2010, dari 1,8 juta penduduk Flores, terdapat 330.380 (17.33%) penduduk miskin, yang jauh melampaui tingkat kemiskinan pada level nasional (13.33%).

Pada tahun 2018, tingkat kemiskinan di NTT masih sekitar 21,03, hanya turun 0,2% dalam kurun waktu satu dekade sejak 2010.

Selain itu, ketimpangan agraria masih belum terurai akibat terkonsentrasinya tanah pada tuan tanah, pemilik modal, Gereja Katolik, dan pemerintah (Tolo, 2016).

Akibat kemiskinan dan ketimpangan agrarian ini, NTT mengirim 200.000-400.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) dari kalangan petani miskin yang tidak memiliki kecakapan intelektual dan praktis baik secara legal maupun ilegal sembari menyambut kiriman mayat para TKI ini hampir setiap hari di beberapa bandar udara di NTT.

Dari tahun 2014-2018, mayat TKI yang dikirim ke NTT sebanyak 268, yang tiap tahun jumlahnya meningkat, misalnya dari 27 mayat di tahun 2014 menjadi 107 mayat di tahun 2018.

Di tahun 2019, hingga bulan September, masyarakat NTT sudah menerima 85 kiriman mayat para TKI.

Di tengah ketimpangan agraria, kemiskinan dan duka lara keluarga para TKI ini, hirarki Gereja Katolik, juga Protestan, berlomba-lomba membangun gereja megah, dengan membebankan proyek pembangunan itu kepada umat dan, karena itu, mimbar khotbah untuk memancarkan logos yang disadap di Ledalogos menjadi mimbar untuk mewartakan mamon.

Dari mimbar logos menjadi mimbar mamon tidak sedikit umat Katolik, terkhusus dari kalangan miskin,  yang tertunda, terlewatkan, dan bahkan terabaikan dari sinar logos yang dipancarkan dari Ledalogos.

Toni sendiri, dalam artikelnya di Vox NTT (27/8/2019), juga mengeluhkan soal mimbar logos yang sudah berubah menjadi mamon demi keinginan untuk mendirikan gereja megah di NTT.

Namun, karena keluhan Toni hanya didasarkan pada Injil, maka dia pun tidak tahu mengapa hal itu terjadi dan bagaimana harus meniadakan hal itu tanpa mencederai harkat dan martabat manusia.

Lagi-lagi, Toni hanya menerawang ke langit menunggu turunnya logos dari surga dan, karena itu, tak menggunakan nalar, tenaga, dan ilmu-ilmu lain, seperti Marxisme, yang sudah dihadiahkan logos untuk dirinya memecahkan persoalan-persoalan itu.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Toni, sembari membusung dada, menandaskan bahwa “[m]arxisme memang dapat membantu, tetapi Injil jauh lebih kaya dan inspiratif ketimbang Marxisme.”

Pernyataan Toni cenderung meremehkan Marxisme, sebagai sebuah alat analisa ekonomi-politik, dalam memahami diri, melihat dunia dan membongkar kemapanan status quo dalam masyarakat.

Dengan demikian, Toni meremehkan Marx, yang kontribusinya terhadap umat manusia untuk mehamami diri dan dunianya sendiri, yang hanya bisa disandingkan dengan Plato, Aristoteles, Kopernikus, Galileo, Newton, Darwin, Freud, dan Einstein.

Akibatnya, ketika saya membaca tulisannya di Vox NTT (27/8/2019), Toni tampak linglung dengan persoalan pembangunan gereja megah di tengah kemiskinan di NTT dan tidak tahu bagaimana cara mengakhiri itu semua.

Kelinglungan Toni adalah sebuah keniscayaan, sebab, walau diinspirasi oleh Roh Kudus, para penulis-penulisnya yang menuliskan Injil belum mempelajari ilmu ekonomi-politik seperti Marx.

Begitu pun Yesus juga belum mempelajari ilmu ekonomi-politik.

Alasannya, pada saat itu, ilmu ekonomi-politik belum ada.

Jika pun ada, dia belum berkembang seperti di masa Marx, yang mempelajari ilmu ekonomi-politik Inggris dari Adam Smith, David Ricardo, dan beberapa penulis lain.

Andai saja di masa Yesus, ilmu ekonomi politik sudah berkembang seperti di masa Marx, Yesus mungkin saja lebih banyak berkhotbah dan menulis secara ekonomi politik dengan menggunakan logika dialektika materialis Marxis seperti yang dilakukan Marx untuk para pengikutnya pada saat itu.

Karena itu, Injil, yang adalah logos, mungkin memiliki corak serentak ilahi dan ilmiah.

Injil ditulis di masa di mana ilmu pengetahuan filsafat, sosial, ekonomi, politik, dan alam yang belum berkembang seperti ketika Hegel menulis Philosophy of Right dan Marx menulis Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan Das Kapital.

Tetapi, apakah dengan demikian nilai Injil lebih rendah dari Marxisme?

Tentu tidak, sebab, menurut saya, baik Injil maupun ilmu ekonomi-politik Marxisme bersumber pada logos yang sama.

Sebab ketika Yesus naik ke surga, Dia mengutus Roh Kudus-Nya untuk menemani karya manusia di bumi.

Karena itu, bagi saya, semua produksi ilmu — sejak jaman Heraklitus, Parmenides, Plato, dan bahkan hingga saya, Toni, dan Elton saling mempersoalkan pengetahuan yang sudah diproduksi sejak jaman Yunani kuno hingga pemikiran abad 19 dari Hegel dan Marx — yang memiliki kontribusi bagi pertumbuhan dan pekembangan manusia untuk begerak secara dialektik untuk menggapai kebaikan dan kebijaksanaan manusia adalah karya Roh Kudus yang sama, yang telah menginspirasi penulisan Injil itu.

Dengan demikian, seperti pada tulisan saya terdahulu di Flores Pos (14/9/2019) yang dipersoalkan oleh Toni dan Elton, relasi dialektis abadi di antara ilmu-ilmu, yang merupakan revelasi dari logos, Sabada Allah, harus dipertahankan.

Marxisme dan Injil harus sama-sama dihargai karena keduanya adalah penjelmaan dari logos.

Begitupun relasi Marxisme dan Injil dengan ilmu-ilmu lain.

Di Jerman, misalnya, lembaga Paulus Gesellschaft, yang mewadai dan memfasilitasi pertemuan teolog dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu lain, baik itu ilmu ekonomi-politik, sosial dan alam, membicarakan masalah agama dan kemanusiaan.

Hal inilah, yang sudah saya tegaskan di artikel saya di Flores Pos (14/9/2019), yang kemudian saya tegaskan kembali secara lebih mendetail dalam sebuah wawancara dengan Ekora NTT (19/9/2019),  yang perlu dikembangkan di STFK Ledalero sebagai sebuah laboratorium logos atau Ledalogos.

Dengan demikian, saya tidak ingin mengecilkan kontribusi ilmu-ilmu lain yang adalah pancaran sang logos kepada kehidupan, seperti yang dilakukan oleh Toni pada Marxisme, dan mengagungkan logos, sabda Allah, dan membawanya ke langit, menjauhi bumi yang terus berubah-ubah ini, yang secara tepat ditegaskan oleh Elton sebagai sebuah kiblat teologi kemapanan. (bersambung…)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA