Logos, Ledalogos, dan Ledalodima* (2/3)

Elton Mengarang

Kesulitan terbesar memahami tulisan Elton adalah ketidakjelasan posisi intelektualnya dalam polemik ini.

Ketidakjelasan ini disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, Elton menulis dan menolak tentang sesuatu yang tidak dia ketahui secara baik.

Kedua, Elton kerap kali tidak memahami konsep-konsep dan terminologi kunci, yang sangat penting dalam perdebatan ini.

iklan

Ketiga, Elton tidak cakap dan teliti dalam membaca tulisan lawan debatnya.

Berdasarkan tiga alasan ini, tulisan Elton yang kurang jelas posisi intelektualnya lebih merupakan sebuah karangan asal-asalan.

Karangan seperti ini lebih merupakan hasil dari sebuah khayalan dari pada refleksi kritis yang didasarkan pada pelacakan dan pemahaman literatur dan pengamatan realitas sosial yang tepat dan cermat.

Bagi Elton, logos adalah “pengetahuan yang terus berkembang dan sadar akan kegunaan dalam sejarah.”

Dengan demikian, Elton sejatinya memahami logos berbeda dengan pemahaman Yunani, seperti yang dipahami oleh Toni.

Seperti Heraklitus, Toni melihat logos sebagai sumber dan budi ilahi bagi nilai-nilai etis dan politis dan sekaligus sebagai sebab imanen terhadap segala sesuatu yang berubah secara konstan, yakni benda-benda partikular, termasuk STFK Ledalero itu sendiri, di dalam universum.

Elton, sebaliknya, melihat logos sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan terus berevolusi dalam sejarah.

Logos yang dipahami Elton adalah logos dalam huruf kecil, sedangkan logos yang dipahami Toni adalah Logos dalam huruf besar.

Dengan demikian, logos-nya Elton adalah logos yang materialis, sedangkan logos-nya Toni adalah logos yang idealis.

Berdasarkan logika dialektik materialis Marxis, saya sendiri, berbeda dengan Toni dan Elton, memahami logos sebagai kesatuan antara logos materialis dan logos idealis.

Karena itu, logos serentak dalam dirinya tetap dan berubah, idealis dan realis, seperti yang ditegaskan dalam kotbah Kleden dalam upacara peringatan pesta emas STFK Ledalero pada tanggal 8 September 2019, di depan Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero (Flores Pos, 14/19/2019).

Sebagai orang beriman dan ilmiah sekaligus, saya yakin bahwa tentu penggerak utama perubahan itu, logos, adalah yang idealis serentak realis.

Namun, yang serentak idealis dan realis ini tetap sekaligus berubah dan tidak menutup dan mengisolasi dirinya sendiri karena, seperti dalam teologi terlibatnya Paul Budi Kleden,  logos ini selalu bergerak secara dialektis antara gerakan anabatis dan katabatis, seperti yang sudah saya singgung di muka.

Dalam bukunya Diolog Antaragama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead, Kleden (2002: 172) menegaskan, logos, Allah, adalah “satuan aktual yang berada dalam proses bipolar,” yakni logos “memiliki hakikat awali dan akhiri,” yang menjadikan-Nya “satuan aktual.”

Lanjut Kleden (2002: 172-173), logos ini “menjadi dirinya sebagai proses intergrasi kedua hakikat-Nya.

Di dalam proses integrasi ini, dia menerima apa yang diserap oleh hakikat akhiri-Nya sebagai perwujudan dari apa yang sudah dirancangkan secara konseptual di dalam hakikat awali-Nya.”

Dengan demikian, logos selalu berada dalam dialektika abadi antara diri-Nya dengan dunia ciptaan-Nya, yang bukan sepenuhnya diri-Nya.

Kita —karena itu— tidak dapat memahami logos tanpa melihat bubungannya dengan dunia.

Sebab, “[d]unia adalah tempat, di mana apa yang dikonsepkan  di dalam hakikat awali Allah diwujudkan”  (Kleden 2002: 173).

Dengan demikian, seperti dalam bahasa platonik, pengetahuan tentang logos, Sang Sabda, hanya dapat diproduksi bila opini — pengalaman akan dunia yang terus berubah-ubah ini— dilebur di dalam logos.

Jadi, seperti logika dialektika materialis yang menegaskan A sama dengan A dan non-A, maka logos, dalam pengertian dialektika materialis Marxis, adalah serentak diri-Nya sendiri dan bukan sepenuhnya diri-Nya sendiri.

Dengan demikian, dalam logika dialektika materialis Marxis, Marxisme sebagai bagian dari logos, menjadikan dirinya sebagai ilmu, bukan dogma.

Elton mempertentangkan antara ilmu dan pengetahuan, yang —menurut saya — kurang bermanfaat dalam perdebatan ini. Apalagi, kesulitan lainnya adalah bagaimana harus meletakan ilmu dan pengetahuan dalam konteks logos.

Dalam konteks logos, menurut saya, ilmu dan pengetahuan tidak berbeda. Keduanya satu dan sama.

Dalam alam filsafat Yunani, Plato membedakan pengetahuan dan opini, yakni opini yang berobjekan pengalaman indrawi yang berubah-ubah (doxa) dan  pengetahuan berobjekan logos, forma yang bersifat tetap (episteme).

Tetapi, bagi Plato, pengalaman indrawi, seperti fungsi katalis dalam reaksi kimia, tetap diperlukan untuk mencapai pengetahuan (Beoang, 1997).

Secara dialektika materialis Marxis, benda yang hadir dalam pengalaman indrawi ini disebut electron.

Di dalam elektron ini terdapat kodrat (logos) yang dinamakan listrik (Malaka, 2015).

Karena itu, benda, dalam hal ini, adalah sarana untuk mencapai kodrat atau logos (Malaka, 2013).

Menurut Malaka (2015: 40), “benda mesti dahulu kita saksikan, barulah di belakangnya bisa kita saksikan kodratnya.”

Berbeda dari Plato, karena didasarkan pada benda, dialektika materialis Marxis, Marxisme sebagai logos, yakni ilmu pengetahuan Marxisme, bukanlah sesuatu yang tetap seperti logos dalam pengertian Yunani.

Sebagai ilmu, Marxisme tunduk terhadap the law of evolution dan filsafat falsifikasi Karl Raimund Popper, yakni ia tetap selalu menjadi hipotesis yang kapan saja bisa difalsifikasi agar sesuai dengan perubahan dan perkembangan dunia.

The law of evolution adalah yang telah menginspirasi Kant dalam menjelaskan tentang keberadaan berbagai planet di alam raya ini, yang tidak lahir dari kekosongan, tetapi hadir dalam waktu tertentu dan terus berkembang (Malaka 2015: 40-41), yang kemudian menginspirasi Hegel dalam menulis Philosophy of History yang gagal.

Akan tetapi, kegagalannya telah menginspirasi Marx di kemudian hari untuk menemukan solusi yang lebih masuk akal melalui metode materialisme historis yang digerakan oleh logika dialektika materialis Marxis (Novack, 1975: 65).

The law of evolution pula yang menginspirasi Darwin yang mengurai tentang timbul dan tenggelamnya hewan dan tumbuhan.

Kedigdayaan the law of evolution ini mendorong Malaka (2015: 41) berkesimpulan bahwa “…walaupun sesuatu sistem dari sesuatu sistem dari suatu ilmu itu bisa mati, hukum evolusi, the law of evolution akan tetap tinggal.”

Namun, dalam filsafat falsifikasi Popper, semua ilmu hanyalah sebuah hipotesis, yang menunggu aksi falsifikasi pada waktu dan titik tertentu.

Bila the law of evoultion difalsifikasi dan runtuh, maka hilang pula ilmu biologi, ilmu tentang hewan dan tumbuhan; Sebuah teori yang pernah mengubah wajah dunia yang telah menginspirasi baik secara langsung maupun tidak langsung banyak ilmuwan seperti yang sudah disebutkan tadi, yakni Darwin, Kant, Hegel, dan kemudian Marx.

Bila the law of evolution tidak membuat hukum yang menjerat kehancuran dirinya sendiri, logika dialektika materialis Marxis melakukan itu untuk menjerat kehancuran dirinya sendiri.

Tentang hal ini, George Novack (1975: 71) menegaskan bahwa “para pendukung metode dialektika mengakui bahwa semua formula harus provisional, terbatas, tidak pasti, sebab semua bentuk dari realitas adalah sementara (transient) dan terbatas. Hukum dialektika ini juga harus berlaku untuk ilmu dialektika dan untuk memformulasikan hukum-hukum dan konsep-konsepnya. Karena metode dialektika berhadapan dengan realitas yang terus berubah, kompleks dan kontradiktoris, formulanya memiliki kelemahan keterbatasan intrinsik. Dalam interaksinya dengan realitas objektif dan dalam proses perkembangannya sendiri berkaitan dengan aktivitas itu, pemikiran dialektis menciptakan, memelihara dan kemudian mendepak setiap formula dalam setiap tahap dari pertumbuhannya.  Logika dialektika itu sendiri bertumbuh dan berubah, seringkali dalam derap yang kontradiktif, bergantung pada kondisi spesifik material dan intelektual yang mendorong perkembangannya. Logika dialektika sudah melewati dua tahap krusial dalam perkembangannya dalam bentuk idealis versi Hegel dan dalam bentuk materialis Marxisme.”

Karena itu, semua teori, termasuk teori logika dialektika materialis Marxis,  terus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan perkembangan dunia yang menjadi objek kajiannya.

Dengan demikian, Elton sejatinya telah melakukan pembohongan dan pembodohan publik dengan mengatakan bahwa saya sedang mendirikan filsafat kemapanan.

Padahal, jika Elton dapat membaca dengan jeli, dia menemukan pernyataan-pernyataan saya dalam tulisan saya yang dikritisinya seperti: “logika dialektika Marxis menekankan pada realitas yang terus berubah, dan logika dialektika materialis Marxis itu sendiri pun akan terus berubah sesuai dengan objek yang dikajinya. Karena itu, logika dialektika materialis Marxis tidak memiliki formula yang tetap, baku, dan tak berubah seperti logika formal. Keinginan untuk menetapkan hukum baku dan tetap bagi logika dialektika materialis Marxis adalah tindakan yang bertentangan dengan logika dialektika materialis Marxis itu sendiri.”

Adalah mustahil untuk ilmu, yakni Marxisme, yang sejak awal sudah memproklamasikan perlawanan atas diri sendiri digolongkan dengan semena-mena sebagai bagian dari filsafat kemapanan, seperti yang secara brutal dituduhkan oleh Elton.

Logika dialektika materialis Marxis adalah hasil dari sebuah proses evolusi pemikiran panjang, yang melewati waktu yang lama sekitar 200o tahun dari Plato hingga Hegel dan tiba pada Marx.

Dalam proses yang panjang itu, apa yang masih dipikirkan Elton di kepalanya secara setengah-setengah dan belum tuntas sudah diselesaikan oleh para filsuf ini dalam rentang sejarah yang panjang itu.

Adalah sebuah kekeliruan besar Elton yang membangun sebuah tuduhan tanpa terlebih dahulu memeriksa evolusi pemikiran dalam sejarah filsafat.

Akibatnya, tuduhan Elton seperti seorang yang datang terlambat di tengah sebuah forum diskusi para filsuf, dengan tidak tahu diri langsung angkat berbicara tanpa tahu apa-apa tentang persoalan yang sudah dilewatkan beberapa waktu lalu dalam diskusi itu.

Tuduhan semacam ini tidak akan menghasilkan pengetahuan (logos), tetapi kegaduhan ketidaktauan (amathia) di forum diskusi, yang pantas untuk ditertawakan.

Tuduhan-tuduhan palsu lain yang remeh temeh juga banyak dikarang Elton dalam tulisannya, yang juga mengarah pada amathia dalam bahasa Yunani atau ignorantia dalam bahasa Latin, yang semuanya menjauhkan diri dari logos.

Elton menulis bahwa saya sedang menentang pemikiran sendiri yang berdasarkan logika dialektika materialis Marxis karena saya menegaskan bahwa STFK “hanya dapat berkembang dan berubah hanya dengan menerima Marxisme sebagai sebuah ilmu.”

Tuduhan ini menurut saya disebabkan atas keterbatasan logos dalam diri Elton untuk memahami perbedaan ilmu dan dogma.

Jika saya mengatakan STFK Ledalero seharusnya menerima Marxisme sebagai dogma, maka tuduhan Elton terhadap saya benar. Dogma cenderung bersifat tetap, tak berubah, dan tidak jarang memaksa walau sudah tidak lagi cocok dengan realitas dunia yang terus berubah.

Namun, yang saya tegaskan adalah menerima Marxisme sebagai ilmu.

Sebagai ilmu, Marxisme dapat dikritik, diperbaiki, dan bahkan bisa dilenyapkan jika tak sesuai lagi dengan realitas dunia yang terus berubah ini.

Sejatinya, contoh lain mengenai persoalan dogma dan ilmu dapat dijelaskan secara lebih sederhana berangkat dari tulisan Elton sendiri.

Berdasarkan penilaian para mahasiswa di STFK Ledalero, Elton adalah seorang yang pandai menulis.

Sebagai dogma, pernyataan ini tidak dapat digugat, yang harus diterima apa pun alasannya.

Namun, saya tidak menjadikan penilaian terhadap kepandaian menulis Elton sebagai dogma, melainkan sebagai ilmu.

Karena itu, saya mencoba dengan tekun untuk memeriksa tulisan tanggapannya untuk artikel saya di Flores Pos (14/9/2019) dan menemukan sebuah kalimat tanya yang ditulis Elton sebagai berikut: “Dengan menyebut STFK perlu “berhati-hati,” bukankah itu juga menyiapkan kemungkinan untuk “memberi hati” bila yang namanya “kemungkinan” juga merupakan suatu kepastian?”

Terhadap kalimat ini, saya membaca berulang-ulang, tetapi juga tetap tidak memahami isinya.

Elton rupanya terlalu sibuk dengan gaya penulisan sastra dengan kata-kata bersayap dan lupa jika kalimat ini tanpa arti yang jelas.

Saya sendiri berpikir, seorang dewa Hermes dari mitologi Yunani pun tak dapat memahami dan menafsir kalimat Elton itu.

Dengan demikian, saya berkesimpulan Elton tidak pandai menulis.

Namun, kesimpulan ini pasti menimbulkan reaksi dari para pendukung Elton yang sangat dogmatis dengan pengetahuannya tentang Elton, yang terus mencari-cari pembenaran terhadap pernyataan Elton yang tanpa isi itu dengan menggunakan filsafat hermeneutik yang diajarkan Dr. Leo Kleden SVD, misalnya.

Sederhananya, perbedaan antara ilmu dan dogma adalah seperti saya berusaha meruntuhkan upaya medogmatiskan kepintaran Elton dalam hal menulis di STFK Ledalero.

Begitu pula dengan Marxisme, dogmatisme terhadapnya mestinya juga dilawan, sebab dialektika materialis Marxis yang menjadi bagian dari Marxisme itu sendiri tidak mengizinkan pendogmatisan itu yang bertentangan dengan hukum dialektika yang menggerakkan seluruh bangunan Marxisme itu.

Dengan demikian, mempertentangkan antara ilmu dan pengetahuan yang dibangun oleh Elton tidak berguna dalam perdebatan ini.

Apalagi, Elton sendiri tidak mengklarifikasikan, apa itu ilmu dan apa itu pengetahuan dan bagaimana mengoperasionalisasikannya dalam tulisannya, yang bagi saya menimbulkan kebingungan yang gaduh.

Apalagi, Elton sendiri sudah sejak awal tidak memahami perbedaan antara ilmu dan dogma, sebuah kekurangan yang sangat besar bagi seorang yang ingin membangun sebuah filsafat yang membebaskan melalui sebuah medan penelitian sosial.

Sebagai seorang yang berambisi membangun filsafat yang membebaskan melalui sebuah medan penelitian sosial, Elton patut bertanggung jawab atas pembacaan yang salah terhadap sebuah literatur dan kemalasan menguliti literatur sebelum berpendapat tentang logos yang dipahaminya.

Sebagai seorang mahasiswa sarjana filsafat di tingkat akhir, Elton masih belum dapat membedakan antara kata seharusnya (should) dan harus (must).

Seharusnya adalah saran, yang tidak memaksa, sedangkan, harus adalah sebuah pemaksaan, yang mesti dilakukan.

Elton menulis “sudah seharusnya yang dimaksudkan Emil adalah sebuah keharusan, maka itu berarti juga sebuah pemaksaan.”

Apalagi, pernyataan ini dibangun dari hipotesa yang dibangun Toni, yang sama sekali tidak saya tulis dalam tulisan saya.

Elton harusnya membaca tulisan saya, sebagai sumber pertama, bukannya membangun argumentasi dan tuduhan dari sumber kedua.

Apalagi, yang dirujuk itu adalah hanyalah sebuah hipotesa yang semena-mena.

Selain itu, Elton juga menuding bahwa saya memaksa pengajaran Marxisme di STFK Ledalero untuk melawan undang-undang pembredelan buku Marxis di Indonesia hari ini.

Tuduhan seperti ini hanya dilakukan oleh seseorang yang tidak membaca dan menekuni literatur dengan serius dan teliti.

Saya tidak pernah mengatakan hal itu, sebab, dalam tulisan saya terdahulu (Flores Pos, 14/9/2919), saya menegaskan bahwa “[k]arena logika dialektika materialis Marxis bersumber pada Marxisme, maka sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari Marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggung jawab ditengah gelombang pembredelan buku-buku berbau Marxis di Indonesia hari ini.”

Dalam kalimat ini, pembredelan buku hanyalah keterangan kondisi hari ini di Indonesia sebagai mana ditunjuk dengan “di tengah yang menunjukkkan keterangan suasana bukan kata “karena” yang menunjukkan alasan, seperti yang dipahami Elton dalam seluruh tulisannya.

Alasan saya menyarankan pengajaran Marxisme di STFK Ledalero adalah karena logika dialektika materialis Marxis yang sudah mendominasi pesta emas STFK Ledalero bersumber pada Marxisme.

Lebih jauh, jika Elton memiliki minat yang sungguh-sungguh untuk membawa filsafat terjun dalam medan penelitian sosial, Elton seharusnya mencari tahu dan membaca evolusi pemikiran saya di literatur lain, mengapa STFK Ledalero perlu mempelajari Marxisme di STFK Ledalero, yang diterbitkan di Ekora NTT (19/9/2019) lima hari sebelum tulisan Toni terbit (Flores Pos 24//9/2019), yang kemudian ditanggap Elton dua hari kemudian (Flores Pos 26/9/2019).

Di Ekora NTT (19/9/2019), saya menulis kurang lebih tiga alasan Marxisme perlu dipelajari di STFK Ledalero sebagai berikut.

Pertama, di STFK Ledalero, sebagai sebuah institusi ilmiah yang mengajarkan Filsafat, Teologi dan ilmu agama, Filsafat Marxisme patut dipelajari karena pembahasan tentang tema-tema ini selalu bersinggungan dengan Marxisme entah secara positif maupun negatif.

Kedua,  di STFK Ledalero, sosiologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang penting, yang hari ini sedang diajar dan dipelajari oleh para dosen dan mahasiswa di STFK Ledalero. Sebagaimana, menurut Alfred North Whitehead, semua filsafat Barat hari ini selalu merupakan catatan kaki dari Plato, maka sosiologi hari ini selalu merupakan catatan kaki dua sosiolog besar: Max Weber dan Karl Marx. Atas alasan ini, semua institusi yang mengajarkan sosiologi perlu juga secara serius memperkenalkan Marxisme.

Ketiga, ilmu-ilmu Marxisme dan non-Marxisme perlu diajarkan secara bersama-sama di STFK Ledalero. Dialektika antara ilmu Marxisme dan non-Marxisme, menurut saya, akan menjadikan STFK Ledalero menjadi sebuah institusi yang berwarna akademik, yang membiarkan pertarungan dialektik antara berbagai pandangan berseberangan sebagai suatu yang wajar dan biasa. Namun, menurut saya, baik ilmu Marxisme maupun non-Marxisme dalam dunia kampus, khususnya STFK Ledalero, tidak boleh digeluti dan dipelajari sebagai sebagai sebuah ideologi, melainkan sebagai ilmu.

Selanjutnya, verbalisme Elton dalam mendorong filsafat terjun dalam medan penelitian sosial membuatnya menghadirkan analisa yang sewenang-wenang berdasarkan konteks era disrupsi hari ini.

Menurut Elton, konteks ini membuat banyak orang mulai menyebarkan dan mempelajari Marxisme secara mandiri melalui situs dan media online hari ini.

Pertanyaan, banyak itu berapa orang? Lima puluh orang atau seratus orang? Klaim banyak ini dibandingkan dengan jumlah yang mana? Yang tidak mempelajari Marxisme?

Pengklaiman seperti ini tanpa menghadirkan data tak ubahnya gaya bicara para politisi busuk, yang lebih pandai menebar hoax daripada menghadirkan logos.

Selain itu, Elton, dalam tulisannya, secara implisit mereduksi fungsi guru, sekolah, dan universitas.

Seolah-olah fungsi guru, sekolah, dan universitas dapat direduksi dengan situs-situs dan media-media online hari ini yang menyebarkan Marxisme.

Namun, klaim Elton ini belum bisa dibuktikan oleh dirinya sendiri, yang kelihatan sempoyongan membahas apa itu Marxisme dengan pelbagai tuduhan yang hanya dideduksi dari khayalan daripada pembacaan yang serius terhadap literatur Marxis itu sendiri.

Sebagai seorang yang baru belajar Marxisme, menurut saya, bila seorang, apalagi seorang yang belum menyelesaikan studi sarjana filsafat, seperti Elton, dibiarkan seorang diri membaca Das Kapital-nya Marx, misalnya, tanpa bimbingan seorang guru, yang pernah mempelajarinya secara serius, maka orang itu kemungkinan besar akan tersesat dalam proses pembelajarannya.

Jika mengikuti kesimpulan Elton, di era disrupsi hari ini, seharusnya sekolah dan universitas sudah semakin berkurang dan bahkan hilang dari sejarah karena kecanggihan teknologi mutakhir seperti yang disinggung Elton dapat menggantikan peran-peran guru dan institusi pendidikan.

Namun, kenyataan hari ini terjadi sebaliknya.

Semakin banyak Negara di dunia berlomba-lomba menginvestasikan modalnya dengan mendirikan sekolah dan universitas berkelas di dunia dan merekrut guru-guru dan dosen-dosen terbaik dari seluruh dunia.

Dengan naiknya jumlah kelas menengah Indonesia, siswa dan mahasiswa Indonesia menjadi target dari beberapa Negara di dunia untuk merekrut mereka demi mengakumulasi modal.

Hari ini, jumlah mahasiswa Indonesia di luar negeri sekitar 20.225 orang, menjadikannya negara ke 22 dunia yang paling banyak mengirim mahasiswanya ke luar negeri (Kompas 8/4/2019).

Dengan demikian, kesimpulan yang dideduksi hanya dari sebuah khayalan filosofis seorang Elton ternyata berjarak terlalu jauh dari realitas dunia hari ini.

Karena itu, filsafat yang harus melibatkan diri dalam medan penelitian sosial yang digagas oleh Elton harus pertama-tama menghantam dan memenggal logos dan/atau hoax Elton sendiri yang mengarang kesimpulan tanpa sebuah penelitian dan pengamatan sosial terlebih dahulu. (bersambung…)

TERKINI
BACA JUGA