Logos, Ledalogos, dan Ledalodima* (3/Habis)

Saya Meramal

Perdebatan ilmiah antara saya, Toni, dan Elton di Flores merupakan sebuah hal yang perlu dilakukan untuk kemajuan dan perkembangan sebuah institusi pendidikan tinggi dan, karena itu, perdebatan seperti ini, hemat saya, perlu direproduksi di kampus-kampus lain, terutama kampus-kampus di NTT.

Sebab, saya pribadi selalu yakin bahwa manusia tidak pernah menggenggam kebenaran secara total.

Manusia hanya menghampiri kebenaran, apalagi kebenaran itu berkaitan dengan diskursus ilmu filsafat dan sosial, yang mempelajari manusia, yang memiliki kedinamisan yang sangat tinggi dibandingkan benda-benda lain serentak memiliki kemampuan merespons balik secara cepat terhadap subjek yang mempelajarinya.

Pada titik ini, Marxisme menjadi salah satu ilmu, yang cukup berhasil menjelaskan dinamika sejarah perkembangan manusia hingga hari ini.

iklan

Namun, meskipun demikian, Marxisme perlu juga dibantu oleh ilmu-ilmu lain dan, karena itu, harus terus membuka diri terhadap perkembangan ilmu-ilmu itu dan terhadap perubahan dunia yang terus saja terjadi hingga detik ini.

Menurut saya, institusi pendidikan seperti kampus dan sekolah adalah tempat paling tampan bagi persinggungan dialektis Marxisme dengan ilmu-ilmu lain.

Persinggungan dialektis ini tentu tidak hanya terjadi di kampus, tetapi juga bisa merambat sampai ke luar kampus, seperti perdebatan dialektik di Flores Pos dan Ekora NTT antara saya, Toni, dan Elton ini.

Marxisme sebagai logos tentu tidak sekedar memiliki peran hanya untuk mengisi ruang diskursus di kampus, sekolah, dan surat kabar.

Di tengah situasi masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat NTT khususnya yang sedang dilibas oleh gelombang neo-liberalisme global, yang menyatakan diri dalam geliat kapitalisme di bidang ekonomi, pendidikan, agraria dan pariwisata, Marxisme —sebagai logos— harus dihadirkan dalam kondisi dan situasi riil ini.

Walaupun sumbangan ilmu-ilmu lain tetap penting menganalisis persoalan hari ini, Marxisme akan memberikan kontribusi penting, sebab Marxismelah yang pertama-tama membangun pembacaan ilmiah terhadap gerak sejarah kapitalisme sejak kelahirannya dan bahkan hingga hari ini.

Injil, seperti yang disinggung Toni, dapat juga memberikan inspirasi ilahi-humanis, tetapi Marxisme memberikan penjelasan ilmiah terhadap proses alienasi dan eksploitasi atas sejumlah besar umat manusia di bumi, terutama juga massa rakyat Indonesia dan NTT.

Tentu, ilmu-ilmu lain —yang adalah juga pancaran logos— juga dapat membantu Marxisme dan Injil dalam memahami realitas hari ini. 

Namun, saling membantu tidak berarti selalu ada kesepakatan di antara mereka.

Sebaliknya, dalam konteks folosofis, yakni sebagai upaya menghampiri kebenaran, saling membantu harus berarti saling melayani serentak saling menantang di antara ilmu-ilmu itu.

Ketegangan dialektik logika materialis Marxis di antara ilmu-ilmu ini harus dijaga, dipelihara, dan bahkan terus direproduksi dalam derap sejarah manusia, termasuk derap sejarah manusia-manusia penghuni di STFK Ledalero.

Dengan persoalan ekonomi dan politik akibat penetrasi kapitalisme dan neo-liberalisme di Indonesia umumnya dan NTT khususnya, Marxisme, sebagai ilmu yang mempelajari gerak sejarah (kapitalisme) secara ilmiah, semakin relevan dan aktual untuk digunakan sebagai kerangka pikir untuk menganalisa dan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia hari ini.

Di Flores, misalnya, sektor pendidikan semakin dikomodifikasi untuk kepentingan akumulasi kapital.

Sekolah-sekolah yang bermutu —seperti sekolah-sekolah di bawah naungan Gereja Katolik bermutu seperti seminari-seminari menengah— semakin mahal dan menutup kemungkinan golongan miskin untuk mengaksesnya.

Sialnya, sekolah-sekolah bermutu ini justru memperoleh bantuan dari pemerintah, seperti bantuan Rp500 juta untuk Seminari Mataloko yang didapat dari pemerintah NTT belum lama ini.

Bagi saya, bantuan uang kepada sekolah-sekolah bermutu, yang didominasi oleh golongan kaya —seperti Seminari Mataloko— hanyalah bagian dari upaya pemerintah untuk melanggengkan ketimpangan ekonomi politik di Flores.

Selain itu, hari ini, tanah-tanah strategis sudah jatuh satu-satu ke tangan kaum berjubah (Gereja Katolik), para pengusaha, dan investor pariwisata, perkebunan, dan tambang.

Tidak jarang, perolehan tanah-tanah strategis, yang disebut sebagai land grabbing, dilakukan secara legal dan ilegal.

Legalitas itu tak jarang diperoleh melalui aliansi dengan pemerintah melalui pemberian ijin HGU seperti yang diperoleh oleh beberapa perusahaan dan institusi Gereja Katolik, yang hari ini sedang bermasalah dengan massa rakyat Flores, seperti yang terjadi di Hokeng baru-baru ini (Ekora NTT, 30/9/2019).

Legalitas itu juga dapat diperoleh melalui jual beli dengan masyarakat Flores.

Hari ini, tanah-tanah strategis di Flores sudah jatuh satu-satu pada kaum berduit.

Kaum berduit ini bisa petani kapitalis, investor, tetapi juga kaum biarawan Katolik.

Di Ruteng, misalnya, tanah-tanah strategis sudah dibeli para biarawan Katolik yang menjamuri Ruteng, yang hari ini dilihat sebagai Vatikan-nya Flores.

Di sekitar bukit Ledalero, tanah-tanah strategis di sekitarnya sudah menjadi milik konggregasi biarawan dan biarawati yang menjamuri Ledalero untuk mendidik calon-calonnya secara murah akibat bahan mentah, tanah, dan tenaga kerja yang bisa dibayar sangat murah dan kadang-kadang tanpa kontrak yang jelas.

Tidak jarang di Flores, para pekerja yang bekerja puluhan tahun kepada kaum agamawan dan biarawan Katolik tidak mendapat pesangon yang adil dan sesuai dengan peraturan pemerintah seperti yang dialami oleh Emanuel Rute di Ruteng, yang mendapatkan pesangon hanya 2,5 juta rupiah walau sudah bekerja selama 31 tahun pada yayasan SVD Ruteng dengan pangkat golongan II A (Realita 17/8/2019).

Tidak hanya itu, di toko-toko di semua kota di Flores yang didominasi oleh orang Flores beretnis etnis Tionghoa, gaji para pekerjanya dibayar sangat murah, jauh di bawah UMR propinsi, tetapi mereka melakukan banyak pekerjaan yang berat dan banyak.

Dengan konteks ekonomi politik hari ini di Indonesia umumnya dan Flores khususnya seperti yang sudah saya jelaskan di muka, saya meramalkan bahwa Marxisme akan semakin mendapat tempat di hati dan pikiran para penghuni dan pembelajar di STFK Ledalero, yang memiliki semangat emansipatif seperti yang dilakukan oleh logos, Yesus Kristus, di dalam Injil, seperti yang ditegaskan Toni.

Jika demikian, maka STFK Ledalero sudah saatnya menjadikan dirinya tempat logos menjelmakan diri dalam dunia, menjadi garam dan terang bagi dunia, menurut gerak logika dialektika materialis Marxis, seperti yang saya jelaskan di muka.

Karena itu, Ledalogos sudah seharusnya juga menjadi Ledalodima.

Ledalodima adalah STFK (Leda)lero yang di dalamnya (lo)gika (di)alektika (ma)terialis (ma)rxis menjadi terang cahaya bagi para penghuninya untuk mendekati, menggapai, dan serentak mewartakan logos pada detik ini, besok, lusa, dan selamanya.

Logos itu, dalam terang logika dialektika materialis Marxis, harus diwartakan sejak di STFK Ledalero, tidak menunggu saat pengutusan itu tiba, seperti yang ditegaskan oleh Hayon dan Toni di muka.

Sebab, seperti hukum dialektika materialis Marxis, setiap penundaan atau pemberhentian gerak dialektika itu akan membuat logos berhenti merevelasikan dirinya dalam partikularitas universum dan, karena itu, dapat membubarkan dan menghapus partikularitas universum yang bernama STFK Ledalero.

Sebab, keberadaan STFK Ledalero sangat bergantung pada logos, baik itu logos dalam bentuk huruf besar maupun kecil seperti yang sudah saya jelaskan secara panjang lebar dalam tulisan ini.

*Artikel ini merupakan tanggapan Penulis terhadap artikel  Toni Mbukut dalam florespos.co.id/berita/detail/sabda-sebagai-sumber-spiritual-dan-pusat-intelektual dan artikel Elton Wada dalam http://florespos.co.id/berita/detail/yang-absen-dalam-filsafat-kemapanan-dan-teologi-kemapanan. Tiga artikel dari tiga Penulis ini merupakan reaksi atas artikel Emilianus Yakob Sese Tolo dalam http://florespos.co.id/berita/detail/upaya-menggapai-kebijaksanaan-bagian-1. Redaksi EKORA NTT memuat lagi polemik itu di sini sebagai wadah edukasi publik.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA