Santo Yohanes Paulus II dan Misi Kemanusiaan: Kenangan 30 Tahun Lawatan John Paul II di Maumere

Oleh Jean Loustar Jewadut*

Dalam catatan sejarah, tiga puluh tahun lalu, tepatnya pada 10-11 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II, yang sekarang sudah menjadi orang kudus atau santo, menginjakkan kaki di Maumere.

Kedatangan Paus Yohanes Paulus II menjadi sebuah berkat yang mendatangkan kegembiraan bagi seluruh masyarakat lokal Maumere dan terlebih lagi bagi seluruh anggota komunitas Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret kala itu karena Paus Yohanes Paulus II berkenan menginap semalam di Ritapiret.

Peristiwa langka tersebut menjadi alasan utama Ritapiret mendapat julukan “Vatikan Semalam”.

Banyak pengunjung dari dalam maupun luar negeri mengunjungi Ritapiret untuk mengalami suasana dan berdoa di Kamar Paus Yohanes Paulus II, yang oleh pimpinan daerah di Kabupaten Sikka dijadikan sebagai salah satu aset wisata rohani.

iklan

Kedatangan dan semangat hidup Paus Yohanes Paulus II juga menjadi inspirasi pembentukan kelompok Centro John Paul II, sebuah komunitas minat para calon pastor Katolik di Ritapiret.

Kehadiran kelompok minat ini menjadikan Yohanes Paulus II sebagai sosok teladan dalam banyak aspek kehidupan untuk bekal menjadi imam Tuhan.

Paus Yohanes Paulus II tentu sudah berbahagia bersama Allah di Kerajaan Surga.

Kepergian Beliau beberapa tahun silam melahirkan duka di dalam diri umat Katolik dan umat dari berbagai agama serta aliran kepercayaan lainnya.

Sosok John Paul II tidak hanya familiar di kalangan umat Katolik, tetapi juga menjadi sosok yang disegani oleh umat beragama lain karena pendekatan humanis dan dialog antaragama yang digunakannya dalam membangun kehidupan bersama atas dasar pluralitas agama.

Beliau sudah pergi.

Namun, nama dan teladan hidupnya tetap abadi.

Ada satu kejadian menarik yang pernah dialami oleh Paus Yohanes Paulus II semasa hidupnya.

Selama menjalankan tugas sebagai pengganti Rasul Santo Petrus, Paus Yohanes Paulus II mengalami tiga kali rencana pembunuhan.

Tiga-tiganya gogal total.

Paus John Paul II menyalami Mehmet Ali Agca di penjara. Foto: satuharapan.com

Pada 12 Mei 1982, Pastor Ultra konservatif garis keras Spanyol, Juan Maria Fernandes Krohn, hendak membayonet Paus, tetapi gagal.

Pada 15 Januari 1995, Ramzi Yousef dan Khalid Sheik Mohammed hendak melakukan serangan bom bunuh diri dengan menyamar menjadi seorang pastor.

Satu rencana pembunuhan yang paling dikenang kisahnya terjadi pada 13 Mei 1981 ketika pembunuh asal Turki, Mehmet Ali Agca mencoba membunuh Paus Yohanes Paulus II.

Mehmet dibesarkan di dalam lingkungan yang keras.

Mehmet pernah pergi ke Suriah dan mendapat latihan persenjataan dan taktik teror selama dua bulan.

Ketika berusia 21 tahun, Mehmet berhasil membunuh seorang editor surat kabar sayap kiri, Abdi Ipekci, di Istanbul pada tahun 1979.

Mehmet ingin membunuh Paus Yohanes Paulus II karena ia berpikir bahwa Paus Yohanes Paulus II adalah lambang kapitalisme.

Menurut Mehmet, Paus tidak lebih dari seorang komandan bertopeng yang terlibat dalam Perang Salib (https://tirto.id/kisah-paus-yohanes-paulus-ii-mengampuni-mehmet-si-pembunuh-CCnW, diakses pada Minggu, 6 Oktober 2019).

Singkat cerita, rencana pembunuhan yang dilakukan oleh Mehmet dengan menembakkan peluru ke arah Paus Yohanes Paulus II dibalas oleh kasih dan pengampunan dari Paus Yohanes Paulus II.

Mehmet adalah representasi dari homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lain) bagi Paus Yohanes Paulus II, sedangkan Paus Yohanes Paulus II adalah gambaran jelas dari homo homini Deus (manusia adalah Tuhan bagi yang lain) bagi Mehmet.

Aksi percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Mehmet membenarkan antropologi Hobbes.

Menurut Hobbes, hakikat diri manusia adalah pribadi yang egois, ganas, kejam, dan barbar yang ingin menghabisi nyawa sesamanya dengan menempuh beraneka cara.

Menurut dia, pribadi yang egois dan barbar jika bertemu dengan sesama pribadi yang memiliki watak yang sama, maka perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) pasti terjadi.

Di sana, dikotomi kuat-lemah dan kalah-menang menjadi sangat relevan.

Prinsip “perang semua melawan semua” tidak terwujud dalam relasi personal antara Mehmet dan Paus Yohanes Paulus II.

Alasannya jelas.

Mehmet, pribadi yang egois, ganas, dan barbar berjumpa dengan Paus Yohanes Paulus II, pribadi yang baik, bersahabat, ramah, dan pengampun.

Dikotomi kuat-lemah dan kalah-menang tidak relevan dalam konteks relasi personal antara Mehmet dan Paus Yohanes Paulus II.

Yang berlaku di sana adalah persaudaraan yang mengutamakan kasih dan pengampunan.

Tidak menunggu Mehmet meminta maaf, Paus Yohanes Paulus II mengambil inisiatif yang dilandasi oleh cinta kasih yang utuh pergi menjumpai Mehmet di dalam penjara dan memberikan pengampunan kepadanya.

Tindakan Paus Yohanes Paulus II, yang memaafkan Mehmet, mengingatkan saya akan Sabda Tuhan yang berbunyi “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44).

Tiga Pelajaran Penting

Santo Yohanes Paulus II. Foto: id.wikipedia.org

Ada tiga pelajaran penting.

Pertama, Paus Yohanes Paulus II menggugat umat beriman yang suka mengklaim diri sebagai pribadi saleh karena konsistensi mengulangi ajaran agama, ketelitian menjalankan ritual keagamaan, dan ketaatan melaksanakan perintah.

Dalam kenyataan, orang saleh menjadi pihak yang merasa paling terpanggil untuk membela Tuhan.

Mereka melihat Tuhan dengan segala perintah-Nya berada dalam keadaan bahaya.

Mereka mengimajinasikan Tuhan sebagai seorang pribadi yang suara jeritan-Nya terus mengusik telinga mereka agar mereka lekas berbuat aksi-aksi nyata membela Tuhan.

Kalau Tuhan dalam keadaan bahaya dan menyuarakan jeritan minta tolong, tentu ada penyebabnya.

Pertanyaan fundamentalnya adalah siapa penyebabnya?

Orang saleh bertindak seperti polisi moral.

Mereka melacak keberadaan pihak-pihak yang membuat Tuhan menderita, menangkap, dan menghukum mereka.

Orang-orang saleh seperti ini mengusung agama yang restoratif karena agama tampil sebagai sebuah institusi yang mengabsolutkan dosa, seolah-olah keprihatinan utama Tuhan adalah kesalahan dan dosa manusia.

Dosa manusia dinilai sebagai penodaan terhadap kekudusan Tuhan.

Karena mengklaim diri sebagai para pembela Tuhan, maka orang saleh dengan agama yang berwajah restoratif selalu berada dalam bahaya menjadi polisi moral bagi sesamanya.

Ajaran dan semangat hidup Yohanes Paulus II menunjukkan, kesalehan mesti dipahami sebagai sebuah pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan realitas yang tidak terbatas (absolut).

Kesalehan mesti berdampak pada aktualisasi sikap etis terhadap sesama manusia dalam rangka menjunjung tinggi kesetaraan.

Di Indonesia, para pemeluk agama yang saleh ditantang menjadi lebih berbudaya dan respek terhadap kemanusiaan.

Dalam alur pemikiran yang sama, tepatlah Gus Dur ketika mengatakan “Tuhan tidak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.”

Sindiran Joko Pinurbo untuk para pemeluk agama yang saleh dan teguh berikut menjadi bahan pelajaran penting.

“Dalam doaku yang khusyuk, Tuhan bertanya padaku, hamba-Nya yang serius ini: ‘Halo, kamu seorang pemeluk agama?’ ‘Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan.’ ‘Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk. Sungguh kamu seorang pemeluk agama?’ ‘Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan.’ ‘Tapi Aku lihat kamu gak pernah memeluk. Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama. Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk. Sungguh kamu seorang pemeluk?’ ‘Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.’ Tuhan memelukku dan berkata ‘Pergilah dan wartakanlah pelukan-Ku. Agama sedang kedinginan dan kesepian. Dia merindukan pelukanmu.’ Ketika ia tersadar dari doa khusyuknya, dilihatnya Teguh si tukang bakso itu sedang dipeluk malam dan hujan di depan gardu. Ting ting ting … Seperti denting-denting doa yang merdu.

Kedua, Paus Yohanes Paulus II memproklamasikan kasih dan persaudaraan universal.

Seseorang tidak boleh hanya mengasihi dan menjadikan saudara sesama yang sepaham, sekeyakinan, dan seagama, tetapi juga harus mengasihi dan menjadikan saudara sesama yang tidak sepaham, tidak sekeyakinan, dan tidak seagama.

Prinsip hidup seperti ini dibangun di atas satu tesis dasar bahwa penyeragaman menjadi sebuah musuh bersama dalam kehidupan.

Usaha membuat seragam segala sesuatu mesti ditolak, ditentang, dan dilawan.

Sebab, penyeragaman total bertentangan dengan hakikat manusia sebagai persona yang unik.

Keunikan, yang hadir dalam bentuk pluralitas pikiran, pandangan, dan cara hidup, mesti selalu diakui, dihargai dan dibiarkan hadir sebagai anugerah dan kekayaan bersama.

Setiap orang memiliki hak untuk tampil dengan keunikannya serentak memiliki kewajiban untuk mengakui dan menghargai keunikan sesama di sekitarnya.

Tuntutan pengakuan dan penghargaan terhadap keunikan setiap pribadi tidak hanya terjadi dalam lingkup yang luas seperti Negara sebagaimana tampak dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, tetapi terdapat juga dalam lingkup yang lebih kecil seperti Gereja.

Tugas Gereja tersebut memiliki dasar biblis dalam Kej. 11:1-9 tentang Menara Babel.

Teks suci itu bisa ditafsir sebagai komitmen Allah melawan godaan menata komunitas secara sentralistik, otoriter, represif, dan anti pluralitas (berbicara dengan hanya menggunakan satu bahasa sehingga Allah menyerakkan orang-orang ke seluruh bumi agar mereka bisa berjumpa dengan sesama yang berbeda dan unik).

Ketiga, dengan mengasihi dan mengampuni Mehmet, Paus Yohanes Paulus II mengajak seluruh umat beriman meninggalkan situasi nyaman dan bergerak masuk ke dalam situasi yang lebih berisiko.

Mengasihi dan mengampuni sahabat menjadi gambaran situasi nyaman.

Sebaliknya, mengasihi dan mengampuni musuh merujuk pada situasi yang berisiko.

Berisiko karena musuh pada hakikatnya orang jahat dan berbuat sesuatu yang mencelakakan.

Secara positif, musuh menantang dan menggugat seseorang yang mengklaim diri sebagai pengasih, penyayang, dan pengampun dengan mengajukan pertanyaan fundamental: apakah kasih dan pengampunanmu berlaku universal ataukah hanya berlaku secara parsial bagi teman atau sahabatmu saja?

Mengampuni dan diampuni menjadi hal yang lumrah dalam hidup manusia.

Sesewaktu, seseorang bisa saja menjadi subjek yang memberikan pengampunan kepada sesama.

Pada waktu lain, orang yang sama juga bisa menjadi subjek yang menerima pengampunan dari sesama.

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, hanya orang yang memiliki pengalaman dimaafkan oleh sesamanya dan tahu betapa berartinya dimaafkan oleh sesama dapat menjadi aktor yang memberikan maaf tanpa syarat kepada sesama.

Hanya orang yang mengakui diri sebagai pribadi yang lemah, rapuh, terbatas, dan selalu memiliki potensi untuk berbuat salah dapat memberikan maaf kepada sesama yang juga lemah, rapuh, terbatas, dan memiliki potensi untuk berbuat salah.

Dalam perspektif teologis, hanya orang yang menyadari diri sebagai pribadi yang berdosa yang diampuni oleh Allah Maharahim tanpa syarat apapun dapat menjadi pembagi ampun dan maaf bagi sesamanya.

Tindakan Paus Yohanes Paulus II, yang memberikan pengampunan tanpa syarat kepada Mehmet, menunjukkan penghargaan Paus terhadap martabat manusia.

Paus tentu tahu dan sadar, esensi konsep martabat manusia selalu berimplikasi pada sebuah conditio sine qua non bahwa setiap individu bernilai pada dirinya sendiri.

Aspek kebernilaian seorang individu tidak ditakar sejauh mana ia berkontribusi terhadap pencapaian kebaikan banyak orang.

Atau dengan formulasi negatif, kebernilaian seorang individu tidak akan pernah hilang oleh tindak kejahatan yang dilakukannya.

Esensi konsep martabat manusia sama dengan esensi konsep Hak Asasi Manusia, hak yang melekat dalam diri seseorang karena ia manusia.

HAM itu bersifat absolut, tanpa syarat.

HAM dimiliki oleh seseorang hanya karena ia manusia.

Implikasinya jelas.

Segala jenis kejahatan apapun, mulai dari kelas teri hingga kelas kakap, tidak dapat membatalkan hak asasi seseorang.

Dalam kerangka pemahaman tentang martabat manusia dan HAM, dapat dipahami secara rasional bahwa Paus Yohanes Paulus II menghargai martabat dan hak asasi Mehmet.

Sekalipun sudah berbuat jahat, Mehmet tetap manusia yang bernilai pada dirinya sendiri.

Tindakannya membunuh Paus sama sekali tidak menghilangkan martabatnya sebagai manusia.

Hukuman penjara yang ditanggungnya tidak menjadi alasan untuk melecehkan martabatnya.

Sekali lagi, Paus Yohanes Paulus II tahu dan sadar akan hal itu.

Paus Yohanes Paulus II membenci dan mengutuk kejahatan, tetapi menghargai, mencintai, dan rela memaafkan musuh dan penjahat.

Sebab, martabat luhur seseorang tidak akan pernah hilang karena kejahatannya.

Sanggupkah kita meneladaninya?

* Mahasiswa STFK Ledalero, Anggota Kelompok Minat Centro John Paul II di Seminari Tinggi Ritapiret

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA