Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Investasi Pendidikan di NTT

Oleh Erens Holivil*

Pada tanggal 22-23 Juli 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas bersama pemerintah Australia menggelarkan program Indonesia Development Forum (IDF) 2019 di Jakarta Convention Center (JCC).

Tema IDF yang diangkat adalah “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerja Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif.”

Fokus pembicaraannya berkutat pada masalah ketenagakerjaan, terutama bagaimana Indonesia mampu mendorong perekonomian yang inklusif melalui kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan ketersediaan peluang kerja di masa depan.

Dalam pelaksanaan program IDF ini, kementrian PPN/Bappenas merancang sesi khusus bagi provinsi terpilih untuk memaparkan gagasan inovatif serta pengalaman-pengalaman terbaik di daerahnya.

iklan

Nusa Tenggara Timur (NTT) terpilih sebagai salah satu provinsi percontohan pertama berkat keberhasilannya menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) secara konsisten sepanjang 2017-2018.

Angka TPT NTT, berdasarkan laporan Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT pada Agustus 2018, mencapai 3,10 persen, jauh dibawah TPT nasional 5,34 persen.

Angka ini sekaligus menempati NTT pada posisi TPT terendah di Indonesia, di bawah provinsi Papua, 3,20% dan Sulawesi Barat, 3.16% (Kompas, 22/7/2019).

Trend penurunaan angka TPT ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan bagi kalangan masyarakat luas.

Pada satu sisi angka TPT-nya berkurang, tetapi pada sisi yang lain angka kemiskinan justru meningkat.

Artinya, dengan fenomena semacam ini, penurunan angka TPT sebetulnya tidak sejalan dengan kenyataan kemiskinan di NTT.

Predikat NTT dalam dua tahun terakhir masih menempati posisi ketiga sebagai provinsi termiskin, setelah Papua dan Papua Barat.

Barangkali inilah paradoks kemiskinan di NTT.

Kemiskinan dan Problem Ketenagakerjaan

Foto: Fokusnusatenggara.com

Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, banyak yang mengapresiasi kinerja ekonomi terkait tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, hingga kemiskinan.

Paling tidak dalam kurun waktu 2017-2019, persentasi kemiskinan menunjukan trand penurunan yang konsisten.

Pada tahun 2017, persentasi penduduk miskin mencapai 26,58 juta jiwa (10,12%).

Tahun 2018, presentasi penduduk miskin berkurang, yakni mencapai 25,95 juta jiwa (9,82%).

Dan pada pada Maret 2019, persentase penduduk miskin mencapai 25,14 juta jiwa (9,41%) (www.bps.go.id).

Namun, trand penurunan persentase kemiskinan secara nasional tidak kompatibel dengan persentasi kemiskinan pada wilayah provinsi/kabupaten/kota.

Di NTT misalnya, pada Maret 2019, presentase penduduk miskin mencapi angka 21,09% atau sebanyak 1.146.320 jiwa, sedikit mengalami peningkatan 0,06 persen atau sebanyak 12.210 jiwa terhadap September 2018 yang persentase kemiskinannya mencapai angka 21,03%.

Angka ini berbeda jauh dengan Provinsi DKI Jakarta, yang persentasi kemiskinannya hanya berada pada angka 3,47% (https://ntt.bps.go.id/).

Demikian pun halnya dengan persentasi penduduk miskin perkoataan dan pedesaan, terjadi ketimpangan dan gap yang cukup jauh.

Hasil analisis Badan Pusat Statistik (BPS) NTT menunjukkan, penduduk miskin di daerah perkotaan di NTT pada September 2019 sebesar 8,84%.

Sementara di daerah perdesaan, persentase penduduk miskin mencapai angka 24,91% (https://ntt.bps.go.id).

Ketimpangan-ketimpangan ini memperlihatkan betapa akutnya realitas kemiskinan di NTT.

Pertanyaannya, mengapa defisitnya TPT justru tidak sinergis dengan persoalan kemiskinan masyarakat NTT?

Padahal, tingkat partisipasi angkatan kerja melonjak hingga 70,17%.

Para penganggur berkurang dari 3.800 orang menjadi 74.700 orang (Kompas, 22/7/2019).

Artinya, sebagain besar masyarakat NTT memiliki pekerjaan dan bekerja, tetapi mereka tetap hidup miskin.

Fenomena inilah yang oleh International Labour Organization (ILO), disebut sebagai working poor, angkatan kerja yang telah bekerja, tetapi hidup dibawah garis kemiskinan. 

Fenomena paradoksal ini hanya bisa dijelaskan dengan melihat persoalan ketimpangan (disparity) sektoral tenaga kerja, baik disektor formal maupun informal.

Di NTT, para pekerja sektor informal seperti tukang ojek, pelaku UMKM, sopir, juru parkir, pekerja jasa konstruksi, petani, peternak , dan nelayan, jauh lebih tinggi ketimbang para pekerja sektor formal, semisal industri atau perusahan.

Masyarakat yang bekerja di sektor informal berjumlah 76,05%.

Sementara yang berkerja di sektor formal hanya 23,95%.

Pekerja informal terbanyak terdapat di pedesaan hingga mencapai 83,61%.

Artinya, eskalasi pekerja informal di NTT jauh lebih tinggi ketimbang di sektor formal.

Menurut saya, penyebab utama terjadinya ketimpangan ini adalah adanya perbedaan kualitas pendidikan.

Ada semacam mismatch atau ketidakcocokan kualifikasi pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Data BPS memperlihatkan bahwa tenaga kerja di NTT masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah, yakni Sekolah Dasar (SD) ke bawah dengan jumlah 1,37 juta orang (26,78%).

Sedangkan pekerja berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 0,30 juta orang (12,50%).

Tenaga kerja berpendidikan SMA Kejuruan memberi kontribusi sebesar 5,83%.

Demikian pula tenaga kerja berpendidikan diploma lebih rendah (2,36%) dibanding berpendidikan universitas (7,92%) (bdk.Tirto.id,  21/03/ 2019).

Artinya, dari sisi kualifikasi pendidikan, tenaga kerja di NTT lebih banyak didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD, SMP, dan SMA.

Sampai pada titik ini, antara kemiskinan dan informalitas dalam pasar tenaga kerja terdapat relasi yang kuat dalam menciptakan lingkaran setan kemiskinan.

Terhambatnya akses dan rendahnya mutu pendidikan bisa menjadi pemicu rendahnya kualitas tenaga kerja.

Apalagi diperparah dengan upah/pendapatan yang rendah, justru membuat masyarakat NTT tetap hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Pemerintah dalam seluruh kebijakannya sebaiknya tidak hanya secara parsial mementingkan penyerapan tenaga kerja, tetapi juga mesti fokus memperhatikan dan memperkuat skill para tenaga kerja.

Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan memperkuat akses dan mutu pendidikan.

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus punya komitmen dan kehendak politik yang baik (political will) untuk mentelorkan kebijakan-kebijakan alternatifdi bidang pendidikan..

Investasi Pendidikan dan Produktivitas Tenaga Kerja

Foto: Indonesiasatu.co

Kemiskinan di NTT bukan lagi disebabkan oleh banyaknya barisan para penganggur, tetapi lebih pada persoalan ketimpangan sektoral tenaga kerja.

Untuk itulah, seluruh Kebijakan pemerintah sebaiknya diarahkan pada upaya mencegah ketimpangan ini.

Satu tawaran kebijakan yang barangkali bisa digodok adalah dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja, yang tidak hanya ditentukan melalui pelatihan dan pengalaman, tetapi juga oleh pendidikan formal yang dimiliki tenaga kerja.

Melalui pendidikan, produktivitas tenaga kerja bisa terjamin, sehingga berefek positif pula pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja. Semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat” (Baca teori human Capital).

Dalam logika seperti ini, sistem pendidikan yang berorientasi pada produktivitas tenaga kerja mesti menjadi perhatian para perumus kebijakan.

Setidaknya ada dua dimensi penting fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan (Sayuti Hasibua, 2000), yakni, pertama, fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, dan kedua,  fungsi sistem pendidikan sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau driving force.

Barangkali langkah-langkah strategis pemerintah yang perlu dikerjakan adalah meningkatkan partisipasi sekolah melalui pemberian subsidi pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, memberikan beasiswa bagi peserta didik yang  berprestasi ke jenjang perguruan tinggi, serta mendorong didirikannya lembaga-lembaga  pendidikan formal setingkat perguruan tinggi yang bermutu yang memiliki keterkaitan dengan dunia kerja.

Kualitas tenaga guru, sarana-prasana sekolah yang rusak, dan banyaknya anak putus sekolah mesti menjadi perhatian pemerintah agar kualitas pendidikan di NTT semakin berbobot sehingga bisa mempengaruhi produktivitas tenaga kerja.

* Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA