Maumere, Ekorantt.com – Emosi publik sangat terkuras dalam beberapa pekan terakhir. Publik berang. Marah. Hal itu terlihat dengan turunnya massa mahasiswa ke jalanan. Mereka melakukan aksi demonstrasi. Hal itu terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Bagaimana tidak, wakil rakyat di senayan sana sangat ngotot untuk menerbitkan beberapa RUU di akhir jabatannya. UU KPK terlanjur disahkan. Beberapa produk UU lainnya masih sebatas rancangan.
Jauh-jauh hari sebelumnya, salah satu RUU yang rencananya akan disahkan adalah RUU Perkoperasian. Lantas RUU ini menimbulkan penolakan dari aktivis dan pegiat koperasi di Indonesia.
Gelombang penolakan disampaikan lewat surat pernyataan sikap, pernyataan di media dan sempat mencuat dalam aksi demo mahasiswa. Bersama RUU yang lain, pengesahan RUU Perkoperasian ditunda.
Kira-kira mengapa RUU Perkoperasian ditolak? Bagaimana nasib RUU Perkoperasian ke depan?
***
30 September 2019 lalu. Rapat paripurna terakhir wakil rakyat periode 2014-2019 di senayan memutuskan untuk menunda pengesahan beberapa RUU kontroversial. Termasuk di dalamnya adalah Revisi Undang-Undang Perkoperasian.
Jika ditelusuri ke belakang, rencana usulan RUU Perkoperasian sudah dimulai sejak tahun 2000. Semula, usulan datang dari masyarakat yang kemudian dijadikan inisiatif pemerintah. Pembahasan pun berlangsung pada tahun-tahun berikutnya.
Setelah menghabiskan duit Negara miliaran rupiah dan melewati waktu 12 tahun, DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Tak lama berselang, Undang-Undang ini ditolak oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk aktivis dan pegiat koperasi. Mereka kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan mereka tidak sia-sia. Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sepenuhnya pada 28 Mei 2014. Konsekuensinya, Undang-Undang ini tidak berlaku dan menguap begitu saja bersama waktu dan uang yang mendanai penyusunannya.
Para hakim konstitusi berargumen bahwa UU ini bertentangan dengan UUD 1945. UU ini melenceng dari asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi dalam koperasi.
Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto, keputusan para hakim konstitusi sejalan dengan pikiran aktivis koperasi yang memahami koperasi sebagai kumpulan orang-orang (people-based association). Hal ini bertolak belakang dengan UU Nomor 17 Tahun 2012 yang melihat koperasi sebagai kumpulan berbasis modal (capital-based association). Hal ini tidak bedanya dengan perusahaan swasta berwatak kapitalis.
“UU No. 17 Tahun 2012 waktu itu sebetulnya hanya kontinum dari UU No. 25 Tahun 1992 yang tempatkan koperasi sebagai badan hukum semata dan juga banyak diintervensi dan langgar prinsip demokrasi koperasi. Seperti pencantuman Dekopin sebagai wadah tunggal hingga banyak berpotensi merugikan masyarakat koperasi. Itu kenapa akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ungkap Suroto.
Selanjutnya, RUU Perkoperasian masuk dalam Amanat Presiden (Ampres) empat tahun lalu, tepatnya 26 November 2016. Sejak saat itu pemerintah bekerjasama dengan DPR, khususnya Komisi VI DPR untuk menyusun RUU Perkoperasian yang baru.
Di bawah nahkoda Inas Nasrullah (Fraksi Hanura) selaku Ketua Panja RUU Perkoperasian, pemerintah dan DPR mulai bekerja. Setelah melalui proses yang panjang, kedua pihak ini sepakat untuk melanjutkan pembahasaan RUU Perkoperasi ke paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Rencananya, RUU Perkoperasian disetujui menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna sebelum periode DPR RI 2014-2019 berakhir.
Setelah ditunda pengesahannya oleh DPR RI pada rapat paripurna 30 September lalu, agenda pembahasan RUU Perkoperasian dimasukan atau dilimpahkan (Carry Over) dalam agenda pembahasan oleh anggota DPR RI periode 2019-2024.
‘Tendang Dekopin’

Penundaan pembahasan RUU Perkoperasian di sidang paripurna merupakan buntut dari penolakan berbagai kelompok masyarakat. Masyarakat, aktivis koperasi dan mahasiswa tak sepakat kalau RUU Perkoperasian disahkan menjadi Undang-Undang.
Mereka tidak hanya asbun alias asal bunyi. Sejumlah argumen mendasari penolakan ini.
Mikael, Perwakilan dari Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa (PUSKHAT) menolak RUU Perkoperasian. Kalau DPR tetap berkukuh untuk mengesahkan RUU ini, pihaknya akan meminta pemerintah untuk membatalkannya.
Menurutnya, RUU ini tidak mencerminkan kebutuhan dan kepentingan anggota koperasi. Yang terjadi malah pihak tertentu dengan kepentingan politik tertentu pula diuntungkan dengan disahkannya RUU ini.
Penolakan Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa (PUSKHAT) tersaripatikan dalam tiga poin berikut:
Pertama, koperasi adalah kumpulan orang-orang (anggota) yang saling percaya untuk mengembangkan usaha. Jadi, bukan kumpulan para pemangku kepentingan apalagi kepentingan politik.
Kedua, syarat pembentukan koperasi dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 ditegaskan bahwa sahnya koperasi dibentuk apabila sedikitnya oleh 20 orang. Sementara di RUU yang sekarang boleh didirikan oleh 9 orang.
Ketiga, pihaknya mempertanyakan mengapa peran Dekopin sangat dominan di Rancangan Undang-Undang ini.
“Padahal selama ini peran Dekopin di daerah tidak ada dalam mengembangkan koperasi. Yang lain adalah masalah perpajakan yang dari dulu kami menuntut bahwa pajak untuk koperasi dipertimbangkan tetapi kenyataannya tidaklah demikian,” tambah Mikael.
Penolakan juga datang dari Induk Koperasi Indonesia (Inkopdit). RUU Perkoperasian, menurut Inkopdit, dinilai tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan jati diri koperasi itu sendiri.
“Bahwa, terdapat pasal-pasal dalam RUU Perkoperasian yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 28 dan 33 (1) UUD 1945 dan juga kurang mencerminkan dukungan terhadap kemandirian, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip koperasi, demokrasi ekonomi yang menjadi esensi koperasi sejati di Indonesia,” demikian tertulis dalam pernyataan sikap Inkopdit tertanggal 24 Agustus lalu.
Amrul Hakim selaku Sekertaris Umum Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi menegaskan, koperasi selalu ditempatkan sebagai lembaga yang inferior dengan diposisikan sebagai badan hukum kelas dua.
“Padahal, koperasi adalah salah satu pilihan badan hukum yang diakui oleh Negara selain Perseroan, Yayasan dan Perkumpulan,” kata Amrul dalam rilis yang diterima Ekora NTT.
Menurut Amrul, adalah langkah mundur manakala Dekopin dijadikan sebagai wadah tunggal gerakan koperasi. Dan celakanya aturan ini dimuat dalam RUU Perkoperasian Indonesia.
“Artinya RUU Perkoperasian ini sudah melanggar konstitusi kita, mengangkangi Undang-Undang Dasar yang melindungi setiap warga negara untuk berkumpul dan berserikat,” tegas Amrul.
Tidak hanya menjadi wadah tunggal, Dekopin juga diberi uang saku yang sangat mewah. Dekopin mendapat iuran dari setiap koperasi yang ada di Indonesia plus mendapat sokongan dari APBN.
“Pasal dalam RUU Perkoperasian ini menyebut bahwa koperasi wajib membayar iuran untuk Dekopin (pasal 82 huruf h dan pasal 132) ditambah Negara melalui pemerintah mesti mengalokasikan APBN dan APBD (pasal 133) untuk Dekopin,” beber Amrul.
Praktik-praktik organisasi semacam ini, lanjut Amrul, akan mengancam kemandirian dan keberlanjutan gerakan koperasi di Indonesia.
“Mestinya gerakan koperasi dibangun mandiri oleh koperasi, bukan dijadikan lembaga peminta minta APBN dan pemalak koperasi dengan Iuran wajib ke Dekopin,” pungkas Amrul.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) menyimpulkan bahwa banyak anggota masyarakat yang tidak menyetujui berbagai poin pasal substansial seperti misalnya keberadaan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal, pemaksaan iuran untuk Dekopin bagi semua koperasi, penggunaan dana APBN/APBD untuk koperasi, pengkerdilan koperasi karena dianggap sebagai badan hukum kelas dua, hanya jadikan tempat penyaluran kredit perbankkan, dan birokratisasi bagi kelembagaan koperasi dan lain sebagainya.
Suroto mendesak agar Dekopin dibuang saja dari RUU Perkoperasian. Baginya, ada intervensi kepentingan elit yang menyusup-masuk dalam wadah yang dipimpin oleh Politisi Golkar, Nurdin Halid itu.
“Lagipula, tidak ada dalam sejarah kita untuk memasukkan Dekopin dalam Undang-Undang Perkoperasian,” tegas Suroto.
Setelah Tunda Pengesahan?

Untuk diketahui, RUU Perkoperasian ditunda dan pembahasannya akan dilimpahkan ke anggota DPR yang baru. Oleh karena itu, bagi Suroto, perlu perhatikan serius masalah krusial dalam RUU Perkoperasian seperti jaminan otonomi dan kemandirian koperasi, hak berdemokrasi, ancaman berbagai upaya pengkerdilan terhadap koperasi.
“Kelompok masyarakat sipil dan gerakan koperasi harus tetap waspada karena ada beberapa kelompok tertentu yang coba terus paksakan kehendaknya agar mereka mendapat fasilitas dan keuntungan bagi kelompoknya melalui undang-undang,” kata Suroto.
“Mereka itu sangat sistematis dan terstruktur dalam mengintervensi RUU perkoperasian. Bahkan sejak masih jadi draft di pemerintah mereka sudah terus berusaha untuk melalukan upaya perusakan,” tambahnya.
Suroto mengusulkan, dalam mekanisme carry-over mendatang baiknya dilakukan upaya pembongkaran dari sejak naskah akademiknya. Sebab, cacatnya ada di sana.
Sebagaimana yang dilansir Tirto.id, sejumlah pasal bermasalah dalam RUU yang notabene telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 tetap dimasukkan dalam RUU Perkoperasian ini.
Seakan tidak belajar dari sejarah kelam legislasi ini, Ketua Pengurus Keling Kumang Group, Mikael sangat meragukan komitmen pemerintah dan DPR untuk memperbaiki RUU Perkoperasian yang ada.
Kalaupun pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU Perkoperasian ini, pihaknya akan melakukan judicial review ke MK.
“Saya dan teman-teman akan melakukan upaya hukum Ke MK, akan terus melawan karena UU Perkoperasian tidak mengakomodasi kepentingan koperasi,” kata Mikael seperti dilansir Tirto.id.