Proyek Mangkrak Jembatan Awalolong

Lewoleba, Ekorantt.com – Pada peringatan Hari Anti Korupsi sedunia beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mendorong semua pihak, termasuk Kepolisian, membongkar perilaku korup di semua lembaga pemerintahan. Dorongan yang sama juga dialamatkan bagi semua pemangku kepentingan di Kabupaten Lembata.

Salah satu proyek bermasalah di Kabupaten Lembata adalah Proyek Pembangunan Jembatan dan Sarana Kolam Renang Destinasi Pariwisata Awololong Tahun Anggaran 2018 di Lewoleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai proyek Rp6.891.900.000,00. Proyek tersebut dikerjakan PT Bahana Krida Nusantara. Sampai PT Bahana Krida Nusantara di-PHK pada tanggal 15 November 2019, realisasi fisik pekerjaan proyek tersebut masih 0%.

Sesuai kontrak yang ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Silvester Samun, SH dan Kuasa Direktur PT Bahana Krida Nusantara Abraham Yehezkibel Tsazaro, Proyek Pembangunan Jembatan dan Sarana Kolam Renang Destinasi Pariwisata Awololong Tahun Anggaran 2018 mulai dikerjakan tanggal 12 Oktober 2018 dan berakhir tanggal 31 Desember 2018. Sampai batas waktu 31 Desember 2018, realisasi keuangan sebesar 80% atau senilai Rp5.513.520.000,00 tetapi realisasi fisik masih 0%. Dengan kata lain, realisasi keuangan lebih besar dari pada realisasi fisik.

Oleh karena itu, dilakukan addendum kontrak I. Kontraktor diberi perpanjangan waktu sampai tanggal 31 Maret 2019. Akan tetapi, sampai dengan batas waktu addendum kontrak I, realisasi fisik pekerjaan masih 0%.

Lalu, dilakukan addendum kontrak II sampai tanggal 15 November 2019. Akan tetapi, sampai batas waktu addendum kontrak II, realisasi fisik pekerjaan masih 0%. Pada Tahun Anggaran 2019 di masa addendum kontrak II ini, keuangan proyek Awololong cair lagi sebesar 5% atau senilai Rp344.595.000,00. Jadi, total nilai proyek mencapai Rp5.858.115.000,00 (Rp5.513.520.000,00 + Rp344.595.000,00) atau sekitar 85%.

iklan

Pada saat berakhirnya addendum kontrak II tanggal 15 November 2019, Kontraktor Pelaksana PT Bahana Krida Nusantara di-PHK oleh Pejabat Pembuat Komitmen.

Jika dilakukan PHK, maka pembayaran mestinya dilakukan sesuai progress atau kemajuan pekerjaan berupa persentase realisasi fisik pekerjaan dikurangi uang muka 30% yang sudah diterima PT Bahana Krida Nusantara. Akan tetapi, dalam proyek ini, kontraktor telah menerima pembayaran sebesar 85% sekalipun tidak didukung dengan progress fisik. Seharusnya, realisasi keuangan 85% sama dengan realisasi kemajuan fisik sebesar 85%.

Pencairan uang sebesar 85% dilakukan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan fisik pekerjaan sebesar 85%, laporan kemajuan pekerjaan 85%, dan lain-lain. Namun, jika keuangan sudah cair 85%, tetapi realisasi fisik pekerjaan 0%, berarti Berita Acara Pemeriksaan itu diduga fiktif atau bohong.

“Apa dasar Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) membayar PT Bahana Krida Nusantara senilai 85%? Apa dasar PT Bahana Krida Nusantara membuat Berita Acara Pemeriksaan fisik pekerjaan 85% dan Laporan Kemajuan Pekerjaan 85%? Padahal, kenyataan di lapangan, realisasi fisik pekerjaan 0%. Tanpa Berita Acara Pemeriksaan fisik pekerjaan 85% dan Laporan Kemajuan Pekerjaan 85% dari PT Bahana Krida Nusantara, tidak ada realisasi keuangan 85% dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),” ungkap Sparta Indonesia.

Tindakan terssebut di atas mengandung unsur Perbuatan Melawan Hukum yang berakibat pada Kerugian Negara sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.” Pasal 3 menyebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.”

“Kita berharap, penegak hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus Awololong ini. Jika sudah mengantongi 2 (dua) alat bukti atau bukti permulaan yang cukup, kami mohon agar menangkap dan menahan Silvester Samun, S.H. selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata dan Abraham Yehezkibel Tsazaro selaku Kuasa Direktur PT Bahana Krida Nusantara,” ungkapnya.

Kasus proyek mangkrak Awololong di Kabupaten Lembata ini mendapat perhatian serius dari masyarakat Kabupaten Lembata dan Nusa Tenggara Timur umumnya. Masyarakat cukup resah dengan masalah ini karena merugikan keuangan negara yang besar untuk ukuran Kabupaten Lembata. Publik Lembata resah karena proyek mangkrak Awololong di Kabupaten Lembata ini bukan proyek yang pertama kali bermasalah. Sebelumnya, ada proyek Jembatan Wai Ma yang ambruk.

Pada Senin, 9 Desember 2019, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Sparta Indonesia telah melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri dengan nomor Surat Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan: Dumas/11/XII/Tipidkor Tanggal 9 Desember 2019.

“Tentu kami punya sejumlah alasan. Selama hampir 1 dekade kepemimpinan Bupati Lembata sekarang, nyaris semua kasus hukum tidak terselesaikan secara tuntas. Kami berharap, upaya laporan ini merupakan pintu masuk untuk membuka “kotak Pandora” kasus-kasus lain yang selama ini tidak jelas juntrung penyelesaiannya,” ungkapnya.

Demikian keterangan pers yang diperoleh redaksi Ekora NTT dari Sparta Indonesia dengan Ketua Heribertus C. Tanatawa, Sekretaris Paulus Pereta Keraf, Penasihat/Kuasa Hukum Ir. Mathias J. Ladopurap, S.Kom, SH dan Abu Bakar J. Lamatapo, SH.

Pieter P Pureklolong, Koordinator Gerakan Masyarakat #AYO LAWAN# kepada Ekora NTT beberapa waktu lalu mengungkapkan, Kasus Awalolong maupun kasus-kasus lainnya yang diduga terjadi bukanlah karena penyalahgunaan kekuasaan oleh Bupati Lembata, melainkan timbul karena hasrat ingin menguasai semua untuk kelompok dan dirinya. Bupati sebetulnya tidak tahu apa itu kekuasaan yang sebenarnya. Dia tidak mengerti bagaimana kekuasaan itu dijalankan sehingga tertawan oleh hasrat tadi yang tidak memandang bahwa kekuasaan itu diberikan oleh rakyat, bukan diraih.

“Makanya, dia tidak bisa mengerti bahwa kekuasaan yang diberikan itu harus dikembalikan kepada yang memberi melalui pelayanan yang prima dengan meng-create kebijakan regulasi dan kebijakan anggaran yang mesti berpihak pada rakyat menuju kesejahteraan. Dia tidak mengerti bahkan buta bahwa kekuasaan itu untuk melayani kemanusiaan. Seseorang yang ditawan oleh hasrat menguasai tidak mungkin dapat berpihak pada kemanusiaan, apalagi terhadap yang miskin dan kecil,” ungkapnya.

Akhmad Bumi, SH, MH, advokat senior asal Lembata, saat dihubungi melalui telepon seluler pada Kamis (12/12) menjelaskan, proyek mangkrak Awololong itu merugikan keuangan Negara. PPK dan Kuasa Direktur PT Bahana Krida Nusantara perlu bertanggungjawab secara hukum. Uang sudah keluar 85%, tetapi fisik pekerjaan 0%, itu perbuatan melawan hukum. Ketika uang sudah cair 85% tetapi fisik 0% itu delik sudah selesai, kerugian Negara sudah ada.

“Kita berharap, kepolisian sungguh-sungguh mengusut kasus ini sampai tuntas dan berkepastian hukum. Dana 85% yang cair itu uang Negara, milik publik. Artinya, publik sebagai korban. Lembata salah satu kabupaten miskin di NTT, dana sebesar itu sangat berarti buat mereka. Jika digunakan untuk buat infrastruktur jalan atau air bersih akan bermanfaat bagi mereka, ketimbang uang tersebut jatuh ke tangan orang perorang atau kelompok atau korporasi. Logikanya, jika dana 85% yang cair itu tidak digunakan untuk bangun proyek Awololong, lalu ke mana pergi dana itu? Ya, PPK dan kontraktor harus bertanggungjawab secara hukum,” jelasnya.

Paul Pereta Keraf, Sekretaris Sparta Indonesia mengatakan, kasus proyek

Awololong menjadi pintu masuk menguak semua kasus hukum yang selama ini terjadi di Kabupaten Lembata. Banyak sekali uang mayarakat yang terbuang tanpa manfaat apa-apa. Skala prioritas kebutuhan masyarakat tidak pernah disentuh, yakni jalan, air, dan listrik.

“Lalu, apa urgensinya membangun kolam apung yang tidak ada dampak buat masyarakat, sedangkan masyarakat sampai saat ini sangat kesulitan air bersih, jalan yang sejak Indonesia merdeka sampai sekarang masih rusak parah, banyak proyek yang mangkrak dan tidak bermanfaat? Untuk itu, kami masyarakat minta penehak hukum memanggil semua yang terlibat dalam memutuskan untuk memaksakan pelaksanaan proyek Awololong untuk diperiksa termasuk DPRD Lembata, karena mereka gagal melakukan pengawasan dan kontrol terhadap pelbagai kebijakan pemerintah yang selama ini tidak berdampak bagi masyarakat Lembata,” ungkapnya.

Ketua Sparta Inonesia Heribertus C. Tanatawa mengatakan, Proyek Jeti dan kolam apung Awalolong adalah proyek gagal dan mangkrak kesekian kalinya yang dibangun oleh Pemda Lembata. Proyek-proyek mangkrak tersebut di antaranya Pengadaan Air Wai Lein di  Kedang, Puskesmas Penyangga, Kantor Camat Buyasuri, Jembatan WaiMa, dan lain-lain yang menghabiskan dana puluhan miliar. Namun, tidak ada manfaat yang didapat oleh masyarakat Lembata hingga  saat ini.

“Belum lagi kita berbicara terkait 2 rumah jabatan bupati, rumah jabatan ketua DPRD yang sampai saat ini dibiarkan kosong, sementara bupati malah menyewa resort pribadinya sebagai rumah jabatan,” ungkapnya.

Menurut Heri, pembangunan yang dilakukan Pemda Lembata terkesan hanya untuk mengejar fee dari proyek-proyek tersebut. Contoh, pembangunan Jembatan Waiama yang menghabiskan dana sekitar Rp1,7 M. Jembatan tersebut hanya berumur 4 bulan karena hanyut terbawa banjir.

Heri mempertanyakan urgensi proyek Jeti (Jembatan Titian) dan kolam apung Awalolong. Menurut dia, yang dibutuhkan masyarakat adalah air, jalan, dan listrik.

“Saya pernah ngobrol bersama Frans Wuan, salah seorang mantan anggota DPRD Lembata. Waktu itu, saya menanyakan, apa tujuan dibangunnya proyek Awalolong? Frans Wuan menjawab bahwa proyek itu semata-mata merupakan investasi pribadi Bupati Lembata (ada rekamannya). Sayangnya anggota DPRD Lembata tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal mereka tahu tujuan dari proyek itu,” ungkapnya.

Menurut Heri, apa yang disampaikan Frans Wuan ada betulnya. Sebab, proyek tersebut dibangun tanpa Amdal dan studi lingkungan yang komprehensif sehingga pada saat mau dibangun terjadi penolakan secara masif dari masyarakat, khususnya masyarakat pesisir.

Heri mengungkapkan, indikator lain yang menyatakan bahwa proyek ini bermasalah adalah pernyataan Wabup Lembata Thomas Ola. Menurut Thomas Ola, proyek Awolong layak dilanjutkan. Namun, pada kesempatan lain, dia meralat apa yang dia katakan sebelumnya. Kata dia, “dari awal, saya tahu bahwa proyek Awololong itu bermasalah!”

Dalam obrolannya via telpon dengan pelaksana proyek Pak Endruw, Pak Endruw mengatakan bahwa mereka tidak bisa melanjutkan proyek Awololong karena lokasinya tidak bisa dipancang tiang karena yang harus digunakan adalah bor pailing (sistem bor). Di samping itu, biayanya bukan lagi Rp1 M atau Rp2 M, tetapi puluhan Miliar.

“Saya bertanya kepada Beliau, memangnya sebelum dibangun tidak cek lokasi untuk uji? Kira-kira metode yang mau dipakai seperti apa? Beliau menjawab,” Pak Heri, kami cuma pelaksana proyek. Kami disuruh datang, ditunjuk di mana titik yang harus kami kerjakan dan kami lakukan. Namun, gagal karena pasir padat yang membuat tiang tersebut tidak bisa masuk. Kalau dipaksakan, maka hanya ada 2 pilihan: tiangnya yang patah atau mesinnya yang akan jebol. Lebih lanjut, Endrew menjelaskan, “kami hanya mau mengatakan bahwa Pemda Lembata sangat payah dalam perencanaan,” ungkap Heri menirukan ucapan Endruw.

Akhirnya, demikian Heri, proyek tersebut hanya menyisakan tumpukan tiang-tiang keropos termakan tiram dan tertimbun pasir.

“Lalu, apakah kasus dari proyek mangkrak ini kembali tenggelam juga seperti proyek-proyek mangkrak yang lain?” tanya Heri retoris.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA