Proyek Rumah Pohon di Hutan Oeluan Mengancam Sawah Rakyat

Protes keras proyek pembangunan rumah pohon dan tempat pemandian baru di Hutan Oeluan di Desa Bijeli, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) terus berlangsung. Kali ini, pemerintah dan masyarakat Desa Bijeli memprotes kebijakan pembangunan tempat wisata baru oleh Pemda TTU karena dinilai dilakukan tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Selain tanpa sosialisasi, pembangunan rumah pohon dengan cara menebang pohon di Hutan Oeluan berpotensi timbulkan kekeringan yang berkepanjangan dan hasilkan limbah di sekitar tempat pemandian umum.

Oleh Kristoforus Dos Santos

Jurnalis EKORA NTT

Kata Kunci: Proyek Rumah Pohon, Hutan Oeluan, Desa Bijeli, Kabupaten TTU, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 

Oeluan, Ekorantt.com – Pada Sabtu, 25 Januari 2020, EKORA menemui Kepala Desa Bijeli Hilarius Juan Taimenas di Kantor Desa Bijeli.

iklan

Kades Hilarius mengungkapkan, proyek pembangunan rumah pohon di Hutan Oeluan dibangun tanpa sosialisasi kepada masyarakat Desa Bijeli. Masyarakat sama sekali tidak tahu menahu tentang dasar, tujuan, dan manfaat pembangunan tempat wisata baru tersebut. Tanpa sepengetahuan masyarakat, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) membangun secara sepihak tempat wisata baru berupa rumah pohon dan kolam pemandian pada Agustus 2019 dan September 2019 silam.

Menurut Kades Hilarius, masyarakat baru mengetahui proyek pembangunan rumah pohon dan kolam pemandian di Hutan Oeluan saat proyek tersebut sudah sedang dikerjakan. Mengetahui hal tersebut, masyarakat dua desa, yaitu Desa Bijeli dan Desa Nifuboke datang ke Hutan Oeluan untuk mempertanyakan manfaat pembangunan proyek itu bagi masyarakat. Tetiba di sana, masyarakat menemukan, para petugas UPT KPH telah melakukan penjualan karcis kepada pengunjung.

Menurut Hilarius, masyarakat sesungguhnya tidak keberatan pemerintah membangun rumah pohon di Hutan Oeluan. Sebab, bagaimana pun juga Hutan Oeluan punya daya tarik alami untuk menjadi destinasi wisata baru di TTU. Akan tetapi, masyarakat tidak setuju kalau pemerintah membangun rumah pohon dengan menebang pohon dan membangun tempat pemandian baru dengan membendung air di Hutan Oeluan.

“Silahkan alam ditata seperti apa, tetapi air jangan dibendung. Itu saja yang masyarakat inginkan,” ujarnya.

Di samping melarang pemerintah membendung air, masyarakat juga melarang pemerintah menebang pohon di kawasan Hutan Oeluan. UPT KPH Kabupaten TTU sendiri pernah menerbitkan aturan tentang larangan menebang pohon di Hutan Oeluan.

“Ceritanya, pernah ada ungkapan yang dikeluarkan oleh pihak Dinas Kehutanan bahwa bahkan setan pun tidak boleh melakukan penebangan di Hutan Oeluan. Hal itu diduga bisa dilakukan karena Dinas Kehutanan adalah pemegang aturan,” ungkap Kades Hilarius.

Menurut Kades Hilarius, pohon-pohon yang ditebang memang digunakan lagi untuk membangun rumah pohon di Hutan Oeluan. Namun, seharusnya pemerintah memiliki anggaran yang cukup untuk membeli kayu dari luar.

“Pemerintah yang ambil bisa, tetapi kalau masyarakat yang ambil satu batang saja, langsung dipenjara. Mestinya kalau pemerintah tebang pohon di sana, mereka terjerat pasal dan ayat tentang hutan lindung. Masyarakat tidak bertanya soal itu karena itu wewenang kehutanan. Tetapi, secara kasat mata, kita melihat itu sudah merusak hutan. Padahal kita mau melestarikan alam,” paparnya.

Hilarius menceritakan, pihak UPT KPH Kabupaten TTU selama dua hari berturut-turut pernah bertemu dirinya untuk membahas pembangunan proyek tersebut. Saat itu, dirinya meminta mereka untuk melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat tentang rencana pembangunan itu. Namun, dalam perjalanannya, mereka bersihkeras mengeksekusi proyek tanpa sosialisasi kepada masyarakat.

“Kami secara pemerintah, iya. Tetapi, berbicara tentang air berarti kehidupan masyarakat. Kami sebagai pemerintah desa harus berpihak kepada masyarakat. Sebab, apalah arti kami pimpinan desa jika masyarakat kami kehausan? Kami dukung pemerintah di atas, tetapi keluhan masyarakat perlu kami dengar,” kata Kades Hilarius.

Tidak Pro-Rakyat

Yohanes Lopiz, salah satu petani dan tokoh masyarakat di Desa Bijeli kepada EKORA belum lama ini mengatakan, sebelum Indonesia merdeka, hutan dan mata air pancuran Oeluan telah lama ada. Mata air pancuran yang terletak tidak jauh dari rumah pohon tersebut merupakan tempat upacara ritual adat masyarakat setempat. Karena dianggap sakral, masyarakat adat di sana sangat menghargai Hutan Oeluan.

Yohanes mengatakan, apabila pengunjung mengotori tempat tersebut saat mandi atau UPT KPH menggunakan air secara sepihak sebagai kolam pemandian, maka masyarakat akan menutup aliran air ke tempat pemandian yang baru tersebut.

“Kalau Dinas Kehutanan memaksakan diri untuk membuka pemandian, maka daripada harus merusak bangunan kolam pemandian dan masuk penjara, kami terpaksa mengalihkan air. Sebab, ratusan hektar sawah menanti air itu untuk pertanian. Apalagi hujan tidak turun normal seperti ini. Harusnya itu benar-benar ekowisata dan tidak perlu lagi ada kolam pemandian di tempat tersebut,” pungkasnya.

Yohanes sangat berharap agar Dinas Kehutanan Provinsi NTT dan UPT KPH Kabupaten TTU memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, proyek pembangunan di atas mengancam kelangsungan ratusan hektar sawah milik rakyat.

Tambah Penghasilan

Dikatakan sebelumnya oleh Kepala UPT KPH TTU, Deddy Rodja, S.Hut kepada Ekora NTT belum lama ini, jika adanya rumah pohon tersebut dapat menambah penghasilan lewat penjualan berupa hasil bumi kepada masayarakat.

Pohon-pohon yang ditebang tersebut berupa pohon yang sudah lapuk, bengkok ataupun yang sudah patah yang dapat membahayakan keselamatan pengunjung saat berkunjung di Hutan Oeluan.

Sebelumnya diberitakan bahwa Kepala Unit Pengelolah Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolah Hutan (KPH) TTU Deddy Rodja, S.Hut membantah jika pihaknya telah menebang pohon dan merusak kawasan hutan adat di Oeluan. Dia berdalih, pohon yang ditebang merupakan pohon di tengah hutan yang sudah lapuk atau kering. Kayu yang dipotong tidak dibawa keluar tetapi dimanfaatkan kembali di kawasan. Dia juga mengklaim bahwa pembangunan tempat wisata tersebut sudah sesuai dengan aturan.

“Ada yang dukung dan ada yang tidak dukung itu wajar. Kita membuat sesuatu yang positif, [yaitu] bagaimana membuat parawisata di Kabupaten TTU dengan memanfaatkan jasa yang ada di dalam kawasan. Kita tidak ada penebangan di situ. Kita menggunakan pohon yang patah dan tumbang karena daripada dia lapuk kita menggunakannya untuk jasa. Jadi, kita tebang pohon yang kering karena saat orang berwisata, orang jatuh dan tumbang kena orang, siapa yang bertanggung jawab. Resikonya tinggi. Itu pun sudah ada berita acaranya semua,” jelasnya.

Sementara itu, Kasubag Tata Usaha Dinas Kehutanan Bernadeta Salem menjelaskan, selain sebagai ekowisata di kawasan Pancuran Oeluan, tempat tersebut bisa digunakan masyarakat setempat untuk menjual hasil bumi seperti kelapa dan umbi-umbian.

“Tidak perlu mereka mengeluarkan uang lagi untuk berjualan di pasar. Selain itu, sebagai tempat bagi masyrakat yang seminggu bekerja bisa melepas penatnya di Oeluan,” tuturnya.

Bernadeta juga membantah jika pihaknya telah menebang pohon di kawasan hutan tersebut. Menurut dia, tugas Dinas Kehutanan adalah melindungi hutan dari pembalakan liar.

 

TERKINI
BACA JUGA