Yogyakarta, Ekorantt.com – Minggu, 12 April 2020 merupakan hari ke-18 saya melakukan penjarakan fisik (physical distancing) sebagai bentuk kepatuhan warga negara dalam mencegah penularan corona virus COVID-19. Penjarakan fisik yang dimaksud ialah membatasi diri untuk tidak keluar rumah (indekos) dan menghindari perjumpaan dengan orang lain. Ini bukan berarti saya benar-benar total mengisolasi diri; ada beberapa urusan mendasar yang mesti saya lakukan, seperti mencari/membeli makan ataupun pergi ke kios/supermarket.
Penjarakan fisik ini sesungguhnya pertama-tama lebih disebabkan oleh keputusan kampus, sebuah lembaga pendidikan negeri di Yogyakarta, yang pertengahan Maret lalu keluarkan surat edaran “tanggap darurat COVID-19” dan memberlakukan perkuliahan online. Hal ini berbarengan dengan pengumuman pasien pertama positif COVID-19 di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ia adalah seorang balita berusia 3 tahun yang setelah dapatkan perawatan intensif dinyatakan sembuh atau negatif beberapa pekan kemudian.
Awalnya situasi ini memang terlihat biasa-biasa saja. Pengetahuan yang minim tentang virus dan sajian data/informasi dari negara membuat saya yakin bahwa wabah ini pasti cepat berlalu atau setidaknya dapat teratasi dengan mudah. Keyakinan saya lainnya ialah berita mengenai kesembuhan pasien di Wuhan-Tiongkok, daerah yang dikabarkan sebagai tempat pertama kali penyebaran virus ini. Namun, saya tidak ingin mendramatisasi perkara “santai” ini karena sudah banyak imbauan moral yang kita dapatkan dan lebih ingin menjelaskan pengalaman kepanikan saya. Jika Anda merasa bahwa narasi ini hanya akan membuat Anda tambah panik, saya sarankan; jangan lanjutkan membaca.
Kepanikan bermula dari berita terpaparnya salah seorang guru besar di kampus kami. Waktu itu, saya sendiri belum sampai seminggu lakukan social/physical distancing, sehingga merujuki informasi WHO tentang masa inkubasi virus, itu berarti dalam perhitungan terburuknya ada kemungkinan saya juga terpapar karena telah beraktivitas di kampus pada hari-hari sebelumnya. Ini terlepas dari figur guru besar yang tidak mengajar di fakultas kami dan gedung tempat ia biasa mengajar letaknya jauh. Yang juga membuat saya panik ialah informasi pertambahan kasus pada level nasional, begitu pula dengan informasi dari Pemda DIY.
Sebagai seorang anak rantau, saya kemudian menghubungi keluarga di kampung halaman untuk sampaikan kecemasan ini. Keluarga mengatakan bahwa saya pasti baik-baik saja, tetapi perasaan saya waktu itu, bahkan sampai sekarang, memang benar-benar tidak tenang. Apalagi tempat saya tinggal merupakan kawasan perumahan padat di bantaran kali Code, Yogyakarta dengan jumlah kaum lansia yang cukup bejibun.
Namun, di tengah sengkarut kecemasan itu, lagi-lagi sebagai warga negara yang baik, saya pun berusaha mengaktualisasikan apa yang seringkali disampaikan oleh Presiden dan pejabat-pejabatnya. Kata-kata kunci yang sering saya tangkap ialah “Jangan Panik”, ditambah dengan sejumlah nasihat ataupun protokol kesehatan untuk melindungi diri dan menjaga imunitas tubuh.
Saya lantas berusaha “jangan panik” atau dengan kata lain berupaya sekuat mungkin menekan “kepanikan” itu. Usahanya; hampir setiap hari saya mencari dan menyebarkan sebanyak mungkin informasi tentang virus ini, baik yang ada pada jurnal ilmiah maupun berita-berita lepas yang lebih banyak “virus” iklannya. Anehnya, alih-alih memberikan perasaan tenang, tindakan ini justru semakin memperburuk ketakutan; menjadi lebih emosional, berburuk sangka dan gelisah setiap saat.
Tentu saja pandemi ini memang ditafsir berbeda-beda oleh masing-masing orang, salah satunya tergantung pada konteks tempat tinggal. Di tempat tinggal kami, hal lain yang saya cemaskan, sebagaimana sempat disentil di atas, ialah terpaparnya para orangtua yang menetap di hunian padat ini, bahkan dua rumah hanya punya satu dinding. Sementara pada lain sisi, informasi menunjukkan bahwa kaum muda ternyata punya potensi besar sebagai agen penyebar virus walaupun tak menunjukkan gejala. Ini berarti problemnya bisa saja ada pada saya.
Dari situ saya lantas menerapkan skenario “seolah-olah telah terpapar virus”, bukan untuk membuat diri jatuh sakit, melainkan lebih pada usaha untuk tidak menyebarkan ke para orangtua di tempat tinggal kami. Orang-orang tua ini adalah orang-orang yang senantiasa tersenyum dan saling menyapa ketika saya hendak pergi atau pulang kampus. Mereka adalah orang-orang yang punya usaha berskala rumahan, yang beberapa kali sempat saya hutang makan atau bayar lebih murah dari biasanya. Cerita tentang mereka akan saya tuliskan kemudian.
Skenario “seolah-olah telah terpapar virus” ini memang terkesan lucu sebagai sebuah ide dan tampak rumit-rumit sederhana sebagai materi (praktis). Analoginya sama seperti strategi bertahan a la Jose Mourinho ketika menukangi Inter Milan beberapa tahun lalu, yang mana dia memenangi sejumlah gelar sekaligus. Jika sungguh-sungguh menonton gaya bermain Inter era Mourinho, Anda mungkin bisa dapatkan simpul bahwa si Jose ini membuat timnya bak orang pesakitan yang digempur terus-menerus oleh lawan, tapi kemudian keluar sebagai pemenang. Bagi Jose, kekuatannya ada pada lini pertahanan, penyerang lawan tidak boleh membobol sampai mereka merasa frustasi sendiri dan sesudah itu barulah serangan balik dilancarkan.
Artinya, virus ini sebenarnya tidak bisa dilawan, tetapi tubuh kita bisa mencegah penyerangannya. Jika antivirusnya sudah ditemukan, diproduksi dan kemudian didistribusi secara massal (ya, di sini kita akan melihat bagaimana kapitalisme kesehatan bekerja), kita barangkali akan menganggapnya sebagai bagian dari flu “biasa” sama seperti influenza, meskipun beberapa tahun belakangan jumlah kematian akibat influenza pun sangat banyak. Kita tak kaget pada influenza karena obatnya sudah ada. Kita kaget pada COVID-19 karena obatnya belum ada. Poin ini tentu bisa diperdebatkan.
Namun, pengalaman selama kurang lebih tiga minggu ini mengajarkan saya bahwa mendisiplinkan tubuh/diri sendiri kadang lebih rumit ketimbang mengimbau atau memaksa orang lain. Ini karena tubuh itu sangat otonom dan sulit diatur oleh apa/siapa pun. Tapi, kita bisa belajar; lebih baik menjaga diri untuk tidak menularkan ketimbang mendesak dan marah-marah dan mengkhawatirkan orang lain.
Lantas, dalam refleksi yang masih pendek, saya lalu menyimpulkan kenapa virus ini membuat saya panik. Pertama, ia menyebar sangat cepat dan semakin susah di-tracing setidaknya untuk konteks nasional. Kedua, obat antivirus-nya belum tersedia atau mungkin belum disediakan. Ketiga, meski statistik kematiannya kecil sebagaimana merujuk pada data global, ini sebetulnya berhubungan dengan nyawa manusia, dan manusia yang punya hati tentu akan berikan respons pada manusia lainnya.
Akhirnya, sampai sekarang, saya masih (harus) tetap keluar rumah untuk penuhi kebutuhan hidup tadi. Tentu saja di situ ada kemungkinan risiko terburuk untuk terpapar meski pertahanan diri sudah dimaksimalkan sebaik mungkin. Saya sadar, seandainya tubuh memang dihinggapi virus brengsek ini meski tanpa gejala ataupun masa inkubasinya sudah lewat kalau dilihat dari pertama kali penjarakan fisik, setidaknya saya berupaya untuk tidak menyebarkan itu ke orang-orang sekitar. Sampai kapan ini akan berakhir, saya sendiri tidak tahu. Namun, Anda bisa membaca dua tulisan sebelumnya terkait situasi ini pada link ini dan link ini. Di situ saya menjadi warga negara yang sedang tidak baik-baik saja.