Borong, Ekorantt.com – Sudah tujuh tahun, Fransiskus Eko, mengalami lumpuh. Ia tidak bisa berjalan, meski kedua kakinya terlihat normal.
Ayah Eko, Urbanus Seong menceritakan, putra keduanya itu terlahir normal pada 23 Maret 2013. Tidak ada tanda-tanda cacat pada tubuhnya.
Namun, saat Eko berusia sekitar satu minggu, muncul bintik-bintik merah di sekujur tubuhnya; dan buah pelirnya membengkak.
“Waktu itu, tepatnya setelah potong tali pusat. badannya langsung merah semua. Di bagian kelamin juga bengkak dan terus membesar. Dari situ sudah, saya langsung berpikir, pasti dia ini akan cacat,” ungkap Urbanus kepada Ekora NTT di kediamannya di Dusun Leke, Kelurahan Tana Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Jumat (27/11/2020).
Urbanus melanjutkan, saat itu, ia bingung dengan sakit yang diderita putranya itu. Pasalnya, meskipun buah pelirnya bengkak, namun Eko tidak rewel.
“Dia punya buah pelir yang bengkak itu tidak sakit. Biar kami ramas juga dia tidak nangis. Dia tidak cengeng dan rewel selama bagian itunya bengkak. Di situ yang buat kami bingung,” kisah Urbanus.
Urbanus menuturkan, saat berusia tiga bulan, ia bersama isterinya menghantar Eko ke RSUD Bajawa untuk mengecek penyakit yang diderita putranya itu.
“Waktu itu, Dokter di Rumah Sakit Bajawa bilang belum bisa operasi, kecuali Eko berumur di atas delepan tahun,” katanya.
Mendapat jawaban Dokter yang demikian, Urbanus dan istrinya membawa kembali Eko ke kampung mereka dan mencari pengobatan alternatif.
Urbanus mendatangi sejumlah dukun yang dikenal bisa menyembuhkan penyakit seperti yang diderita anaknya itu.
Meski tidak membuahkan kesembuhan, upaya itu tetap Urbanus lakukan. Bahkan ia rela menjual sebidang tanahnya pada 2016 untuk biaya transportasi saat hendak menemui sejumlah dukun.
“Upaya dari tahun 2013 sampai tahun 2016 tidak juga membuahkan hasil. Tanah sudah dijual, tidak juga berhasil. Saya dan isteri akhirnya pasrah kepada Tuhan. Semoga ada mujizat dari Tuhan untuk putra kami,” tutur Urbanus dengan mata berkaca-kaca.
Urbanus mengaku, kini ia kehabisan biaya untuk pengobatan Eko.
“Kalau mau bawa dia ke Rumah Sakit, berarti saya harus jual tanah lagi,” ujarnya.
Keluarga Sederhana
Eko terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Mereka tinggal di rumah kecil berukuran sekitar 5×6 meter yang masih berlantai tanah dan berdinding pelupuh bambu.
Ayah Eko, Urbanus hanyalah seorang petani yang juga bekerja sebagai buruh tani di kebun orang.
“Kalau ada yang butuh tenaga, saya kerja. Sedangkan isteri saya, tidak bisa kerja. Dia harus jaga Eko setiap hari. Dia bisa kerja, kalau anak kami yang sulung libur. Dia yang jaga adiknya di rumah. Jadi, kami ini, tidak bisa lagi mau urus Eko untuk ke rumah sakit. Biaya pengobatan dari mana. Untuk makan saja, kami ini susah,” ujar Urbanus.
Kini, sehari-hari Eko hanya bisa bermain di dalam rumahnya. Untuk berdiri dan berjalan, ia menggunakan kereta bayi yang dibeli orangtuanya.
“Ini kereta yang dia pakai untuk duduk ini sebenarnya untuk bayi. Karena saya hanya bisa beli ini, ya terpaksa pakai. Ini yang kereta yang kedua sudah. Semuanya tidak tahan lama. Ini bertahan karena saya rakit pakai kayu dan roda dari kursi yang rusak. Tidak ada uang mau beli kursi roda,” tutup Urbanus.(AR)