Kisah para relawan pendamping OdGJ melawan stigma negatif penyandang gangguan jiwa. Penyakit ini dapat disembuhkan.
Maumere, Ekorantt.com – Menyaksikan dua orang dengan gangguan jiwa (OdGJ) berbagi batang rokok di Pasar Wolowona, Ende, pada pertengahan tahun 2016, membuat Irma Sinuor (36) serasa ‘tertampar’. Bagaimana tidak, dalam kondisi gangguan jiwa, dua OdGJ tersebut tetap saling berbagi.
“Mereka yang hidupnya begini saja, bisa saling berbagi, apa lagi kita yang normal,” kata Irma, mengenang pertama kali ia berjumpa dengan penderita OdGJ.
Pengalaman sederhana itu memantapkan Irma untuk mendampingi para OdGJ dalam wadah Komunitas Kasih Insanis (KKI), sebuah komunitas besutan Pastor Avent Saur yang fokus mendampingi OdGJ, hingga sekarang.
Bertemu dan mendampingi OdGJ, bagi Irma, selalu memiliki kebahagiaan tersendiri. Banyak cerita yang menggugah hati. Seperti saat dia bertemu seorang OdGJ berinisial W di salah satu sudut Kota Ende.
W sudah 14 tahun hidup dalam pasungan, diletakkan di bawah pohon di belakang rumah. Ada dahan pohon yang tidak terlalu tinggi, di situ diletakkan beberapa lembar seng untuk melindunginya dari panas dan hujan.
“Stigma itu kejam, Kakak, tidak hanya bagi penderita tapi juga keluarganya. Kalau keluarga sudah putus asa, mereka tidak akan tahan, dan jalan satu-satunya ya terpaksa memasung anggota keluarga yang OdGJ itu,” kisah Irma lagi.
Melalui kunjungan setiap minggu, W pelan-pelan mendapatkan perhatian. Dia kemudian dibawa untuk mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Jiwa Renceng Mose di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, pada tahun 2018 lalu.
Kondisi W pun pulih. W sendiri telah kembali ke kampungnya di Ende. Bahkan, dia kini turut menjadi bagian dari KKI dan mendukung kerja tim relawan. Sampai saat ini, dia tetap rajin mengonsumsi obat.
“Perkembangan W luar biasa. Ia bekerja sebagai petani, sambil ternak babi kecil-kecilan,” tutur Irma.
Kurang lebih lima tahun bergabung bersama 500-an relawan KKI lainnya, Irma yang juga bekerja sebagai pelayan warung makan di Kota Ende ini mengalami perubahan besar. Datang dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, KKI telah menjadi wadah bersama dalam kerja sosial kemanusiaan.
Selama kerja-kerja pendampingan, tutur Irma, KKI menyadari bahwa ada satu tugas besar bagi semua pihak, yakni membangun kesadaran publik bahwa gangguan jiwa adalah penyakit yang sebenarnya bisa dipulihkan. OdGJ bukan kutukan atau penyakit keturunan.
Berjuang Membuka Pasung
Sama seperti Irma, seorang jurnalis di Kabupaten Manggarai Timur, Markus Makur, bergabung dalam KKI dan ikut merawat serta mendampingi OdGJ.
Sering turun ke desa-desa untuk tugas peliputan, jurnalis Kompas.com ini menyaksikan OdGJ yang semakin menderita karena dipasung. Tugas meliput ternyata mendorong Markus untuk ikut serta mengurus para OdGJ sebagai bentuk kepeduliannya.
“Perjumpaan dengan OdGJ itu banyak sekali. Kalau lihat ada yang dipasung, kami di KKI ikut membuka pasungannya. Saya sendiri sudah terlibat membuka sekitar 20-an pasungan,” ujar Markus memulai kisahnya mendampingi OdGJ.
Selama terlibat dalam mengurus para OdGJ bersama KKI, ada dua pengalaman yang menurutnya paling berkesan. Pertama, saat dirinya mengunjungi seorang OdGJ di Wae Musur, Kabupaten Manggarai Timur, pada 2019. OdGJ ini sampai hari ini masih tetap tinggal di dalam gua.
“Kami belum berhasil mengajak dia pulang. Tapi, setiap kali kami berkunjung dan mengantar obat, dia pasti menemui kami. Kondisinya pun saya perhatikan mulai membaik ya, hanya kadang masih malu-malu,” ujar Markus.
Pengalaman lainnya adalah perjumpaannya dengan seorang ibu muda pasien OdGJ yang sedang mengandung delapan bulan pada 13 Maret 2020 lalu.
Berkat perhatian serius dari KKI dan pihak Puskesmas Peot, pendampingan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Ibu muda berinisial B itu kini telah pulih.
“Waktu saya berkunjung beberapa bulan lalu, Ibu B sudah pulih dan melahirkan anak yang juga dalam kondisi sehat,” tutur Markus.
Petugas kesehatan Puskesmas Peot Ardi Jelatu mengemukakan bahwa keterlibatan mereka bersama KKI mengurus ibu tersebut telah mendorong para tenaga kesehatan di Kabupaten Manggarai Timur untuk lebih memperhatikan semua OdGJ di daerah itu.
Koperasi Peduli OdGJ
Selain relawan KKI, kegiatan mengurus OdGJ juga dilakukan oleh KSP Kopdit Pintu Air yang berpusat di Rotat, Kabupaten Sikka. Uniknya, di tengah kesibukan melayani usaha simpan pinjam anggota, Pintu Air punya satu unit sosial yang fokus mengurus para OdGJ. Nama unit sosial itu Gerakan Pintu Air Amal Kasih (Gepak).
Gepak terbentuk pada tahun 2021 atas inisiatif Ketua KSP Kopdit Pintu Air, Yakobus Jano. Semenjak itu, Gepak memberikan perhatian lebih, mulai dari bekerja sama dengan Dinas Sosial serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk berkolaborasi mengurus OdGJ.
“Kami senang karena apa yang kami mulai dengan memperhatikan sesama kita yang terganggu jiwanya itu ikut memberikan pengaruh bagi orang-orang yang ada di sekitar para ODGJ itu,” tutur Vinsen Deo, relawan Gepak.
Perjumpaan dirinya dengan seorang OdGJ dengan inisial MM yang sebelumnya tak terurus, berhasil mengubah penampilan pasien itu yang kini sudah jauh lebih bersih dan rapi.
“Kami berterima kasih sekali kepada ibu dan bapak yang mau datang dan mengurus anggota keluarga kami ini. Sentuhan kemanusiaan yang sungguh luar biasa,” ujar Moan Nong, keluarga dari OdGJ MM.
Aksi Vinsen dan relawan Gepak lainnya mendapat apresiasi dari Markus Boseng Lewar. Awalnya, Markus terpukul dan sakit hati karena istrinya FY menderita gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.
Saat ini, meskipun belum pulih, ia bersyukur karena istrinya terus mendapatkan perhatian dari Puskesmas dan relawan Gepak.
“Saya lihat ibu (baca: istri) itu, saya menangis. Rasanya tak tahan sekali menghadapi penderitaannya. Dia yang sakit tapi kami semua dalam rumah menderita. Sakit ini tidak main-main. Sakit yang lain kita bisa atur tapi sakit yang jenis ini aduh menderita betul,” ujar Markus Lewar.
Relawan Gepak lainya, Engeline Esther, mengemukakan bahwa kerja-kerja relawan dari KKI dan Gepak dan juga beberapa komunitas lainnya di Flores telah membuka kesadaran masyarakat untuk melihat para OdGj tidak sebagai aib bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.
“Selain bekerja di Dinas Sosial sebagai ASN, saya sendiri adalah relawan yang selalu turun bersama kawan-kawan lainnya dari Gepak. Ada banyak pengalaman unik yang saya alami ketika berjumpa dengan para OdGJ.”
Pernah suatu kali, tutur Engeline, ketika dirinya bersama relawan Gepak turun ke desa untuk mengantarkan makanan, ada OdGJ yang sudah mulai pulih nekatmenciumnya. Menurutnya, apa yang mereka lakukan itu karena OdGJ merasa diperhatikan dan diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih saying.
Kemajuan Layanan Kesehatan Jiwa di Flores
Yoseph Mardiyanto, Kepala Desa Lusitada di Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, mengakui kerja-kerja dari relawan yang ikut mengurus para OdGJ yang ada di desanya telah membuka persepsinya dan warga.
“Jujur, saya pribadi dan sebagai kepala desa, merasa berterima kasih atas gerakan sosial dari para relawan. Ada warga kami yang OdGJ itu diberi perhatian dan dibantu pengobatan sampai proses mengurus dokumen kependudukannya. Hal mana yang seharusnya menjadi tanggung jawab kami tapi kami belum buat. Terima kasih dan bangga sekali saya pada kawan-kawan relawan,” kata Yosef.
Pendiri KKI, Pastor Avent Saur mengemukakan, gerakan kemanusiaan dari para relawan, baik itu dari KKI, Gepak dan lainnya telah memberikan dampak positif berupa perhatian dari Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza. Pihak kementerian memberikan pelatihan kesehatan jiwa untuk para tenaga kesehatan dan kader di lima kabupaten di Flores: Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ende, dan Kabupaten Sikka. Itu terjadi pada September-Desember 2021.
“Sangat diharapkan, para nakes di kabupaten-kabupaten lain juga akan diberikan pelatihan yang sama,” pintanya.
Saat ini para tenaga kesehatan dan kader di lima kabupaten tersebut terus aktif memberikan layanan kepada penderita dan memberikan edukasi kepada sekian banyak pihak.
Persediaan obat cukup memadai. Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur rencananya akan mengalokasikan anggaran khusus dalam APBD untuk menangani kesehatan jiwa.
“Di NTT, ada Rumah Sakit Jiwa Naimata di Kupang yang melayani sekian banyak penderita. RSUD di wilayah Provinsi NTT yang memiliki poli jiwa hanya tiga: RSUD Maumere di Kabupaten Sikka dengan tenaga psikiater tetap (PNS), RSUD Aeramo di Kabupaten Nagekeo dengan tenaga psikiater kontrak, dan RSUD Provinsi di Kupang dengan tenaga psikiater kontrak,” jelas Pater Avent.
Pihaknya berharap dalam waktu ke depan, semua RSUD di 20 kabupaten di NTT akan menyediakan layanan kesehatan jiwa.
Vinsen Deo dari Gepak juga mengemukakan kemajuan layanan kesehatan jiwa tampak nyata dari kerja kolaborasi untuk ikut mengurus dokumen kependudukan dari para OdGJ.
“Dari kerja-kerja kami bersama tim relawan dari Gepak sudah ada sekitar 30-an OdGJ yang mulai pulih dan difasilitasi dokumen administrasi kependudukannya (adminduk),” ujar Vinsen.
Menurut Vinsen, proses pengurusan dokumen adminduk ini gampang-gampang susah. Di lapangan mereka menemui ada ODGJ yang ternyata sudah punya nomor induk kependudukan (NIK) tapi justru dipakai oleh orang lain saat dicek ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Vinsen melanjutkan, ada ODGJ yang sebelumnya adalah orang-orang yang sehat dan merantau ke Kalimantan dan Papua sudah punya dokumen adminduk. Sayangnya karena mengalami ganguan jiwa mereka dikirim kembali ke Sikka tapi dokumen adminduknya tidak diurus. Ada lagi OdGJ yang memang sama sekali tidak memiliki dokumen kependudukan.
Ketiadaan dokumen kependudukan membawa dampak yang sangat besar bagi para OdGJ. Padahal, setiap warga negara wajib memiliki dokumen adminduk. Tanpa dokumen tersebut, OdGJ akan kesulitan mengakses berbagai layanan dari pemerintah.
“Urusan dokumen adminduk ini prosesnya gampang-gampang ribet. Apalagi untuk para OdGJ. Bersyukur orang dinas kependudukan sangat welcome kepada kami. Ibu kadisnya (kepala dinas – red) baik sekali dan merespon kerja dari relawan,” ujar Vinsen.
Hubertin Pega, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sikka, mengakui sangat merespon kerja dari relawan yang mengurus OdGJ.
Menurut Hubertin semua jenis bantuan yang diterima warga negara selalu berbasis pada dokumen adminduk terlebih Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Tentunya saya bangga dan berterima kasih bahwa ada relawan yang mau terlibat dan masuk pada kerja-kerja mengurus para OdGJ. Kami tentu merespon sekali. Semoga kedepannya ada juga lembaga lain yang bisa menunjukan kepedulian mereka seperti para relawan dari KKI dan Gepak ini,” ujar Hubertin.
Kikis Stigma ODGJ
Direktur Pusat Rehabilitasi dan Klinik Gangguan Jiwa Renceng Mose Dokter Ronald Susilo mengatakan ODGJ kerap dianggap sebagai aib dalam keluarga dan masyarakat. Tentu itu adalah stigma yang keliru dan mesti dikikis.
“Penyakit gangguan jiwa bukan aib. Ini penyakit medis yang sama dengan penyakit kronis lain seperti hipertensi, diabetes, dan lain-lain,” tegas Dokter Ronald.
“Jangan sembunyikan, jangan merasa malu apalagi menganggap itu aib, tetapi bawalah ke dokter, berkontak dengan fasilitas kesehatan dan pasti ada jalan keluar,” lanjutnya.
Karena itu, kata Dokter Ronald, penanganan OdGJ mutlak membutuhkan penanganan medis yang tepat.
Menurutnya, Renceng Mose menjadi salah satu pusat rehabilitasi bagi penyandang gangguan jiwa yang penanganannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu penanganan secara rawat jalan dan penanganan secara rawat inap. Pasien yang tergolong dalam penanganan rawat jalan ialah pasien-pasien dengan kondisi stabil yang membutuhkan pengobatan medis namun bisa dirawat sendiri di rumah oleh keluarganya.
Sementara pasien rawat inap merupakan pasien dengan kondisi tidak stabil yang tidak hanya membutuhkan pengobatan medis, melainkan juga pendampingan khusus dan rutin oleh pihak medis serta keluarga.
Untuk menghilangkan gejala-gejala gangguan jiwa, kata Dokter Ronald, murni melalui pengobatan medis, sedangkan terapi-terapi lainnya dilakukan setelah gejala tersebut berkurang atau stabil.
“Pure medis untuk menghilangkan gejala gangguan jiwa. Apabila gejala ini berkurang atau stabil maka diperlukan terapi lainnya,” jelas Dokter Ronald.
“Dukungan keluarga menjadi salah satu faktor pendukung percepatan penyembuhan pasien,” sambungnya.
Untuk pasien OdGJ yang dipasung, menurut Dokter Ronal, memerlukan penanganan yang relatif berbeda dengan pasien lainnya. Merawat pasien yang dipasung tidak serta-merta melepas pasungan tersebut, kemudian membawanya ke pusat rehabilitasi Renceng Mose. Yang dilakukan terlebih dahulu adalah menggali atau menganalisis gejala pasien.
“Kami menggali atau analisa dulu, kenapa dipasung, sejak kapan, gejalanya apa, kemudian diberi obat minum selama dua minggu. Jika belum ada perubahan membaik maka pasungnya dilepas dan dibawa ke Renceng Mose,” tuturnya.
Permasalahannya, menurut Dokter Ronal, ketika pihak medis hendak melepas pasung pasien untuk dirawat di Renceng Mose, mereka harus mendapatkan izin dari keluarga dan kepala desa lebih dahulu, serta memberitahu camat. Mereka juga perlu memastikan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap biaya hidup pasien selama di Renceng Mose.
“Kami siap rawat tetapi siapa yang bertanggungjawab untuk pembiayaan mereka” ucapnya.
Pembiayaan selalu menjadi polemik dan dilema bagi pihak Renceng Mose ketika memutuskan untuk menerima atau merawat pasien baru.
“Tidak mudah untuk membiayai tiga kali makan, dua kali snack, tiga kali obat, perlengkapan mandi, dan masih banyak lagi. Kami perhatikan yang sakit, lalu siapa yang perhatikan kami,” ungkapnya.
Dokter Ronald bilang, hingga saat ini, ada sekitar 21 orang pasien sedang dalam masa perawatan inap dan sekitar 400 sampai 500 pasien dalam perawatan jalan. Dirinya berharap pemerintah tidak hanya memperhatikan penyandang gangguan jiwa tetapi juga seluruh perawat yang menangani OdGJ.
“Kami kekurangan perawat di Renceng Mose, mau rekrut tapi tidak punya biaya. Kami berharap ini menjadi perhatian pemerintah,” tutupnya.
(Nama para pasien OdGJ redaksi gunakan inisial dengan catatan ada di antara para OdGj yang saat ini sudah pulih dan juga atas permintaan keluarga)