Larantuka, Ekorantt.com – Abdul Bin Alusius (33) terlihat pincang. Ia tidak bisa berjalan normal setelah kakinya terkena kaca saat disiksa di Rumah Merah – sebuah tempat penampungan para tahanan – di Sabah, Malaysia pada 2008.
Abdul merupakan anak dari pekerja migran asal NTT di Malaysia. Ia lahir di Sabah pada 24 Januari 1989. Ayahnya berasal dari Adonara, Flores Timur. Sedangkan ibunya dari Filipina.
Ibunda Abdul meninggal dunia saat ia dan adiknya masih kecil. Ayahnya kemudian memilih pulang ke NTT, ketika Abdul berusia 11 tahun. Saat itu, ayahnya tidak membawa serta Abdul. Abdul dititipkan di kerabat ibunya di Sabah.
Di Malaysia, Abdul hidup tanpa dokumen kependudukan. Pada 2008, ia ditangkap oleh otoritas Malaysia. Bersama sejumlah penduduk lain yang tak mengantongi dokumen resmi, ia ditampung di Rumah Merah. Di tempat ini, Abdul dan para tahanan lainnya kerap disiksa.
“(Kami) diperlakukan seperti binatang. Diinjak, dipukul, ditendang, hingga jari telunjuk putus,” ceritanya kepada Ekora NTT, baru-baru ini.
Selain di tempat penampungan, Abdul juga sering mendapat siksaan selama di penjara. Ia dicambuk dan diperlakukan tidak manusiawi.
“Makan minum juga susah. Kami ditahan tiga bulan,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Kembali ke NTT
Selama di Malaysia, Abdul sudah tiga kali dipenjara karena tidak memiliki dokumen resmi. Terakhir ia dibui pada 2021.
Setelah keluar dari penjara tahun lalu, Abdul pun bertekad datang ke Flores Timur untuk mencari ayah dan adiknya yang bernama Muhamad.
Dalam perjalanan dari Malaysia, Abdul bertemu Hendrikus, warga Adonara yang saat itu juga dalam perjalanan pulang ke kampung halamanya.
Namun, Hendrikus dan teman-temannya memilih turun di Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Abdul sempat bingung karena tidak ada orang yang bisa membantunya menunjuk jalan pulang ke Adonara. Beruntung, ada seorang bapak asal Pulau Solor, Flores Timur yang menemaninya.
Saat tiba di Pelabuhan Flores Timur, Abdul kembali bingung karena tidak tahu harus pergi ke mana.
Beruntung, kabar mengenai Abdul terdengar oleh Ketua Buruh Migran Indonesia (BMI) Cabang Flores Timur, Noben Dasilva. Noben bersedia menampung Abdul di rumahnya, sambil mencari keluarga Abdul.
Hingga kini, Abdul belum bertemu ayah dan adiknya. Sambil mencari keluarganya, Abdul bekerja di salah satu bengkel di wilayah Hokeng, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur.
Banyak Anak Pekerja Migran Terlantar
Abdul merupakan satu dari ratusan anak pekerja migran asal Flores Timur yang kini terlantar, baik di tempat perantauan, maupun di kampung halaman mereka. Banyak dari mereka tidak mengetahui kabar orangtuanya.
Noben yang juga menjadi Ketua Yayasan Permata Bunda Berbelas Kasih – lembaga yang selama ini fokus mendampingi anak-anak buruh migran di Flores Timur – mengatakan, saat ini ada 119 anak di kabupaten tersebut yang berpisah dengan orangtuanya karena menjadi buruh migran, baik di Malaysia maupun di tempat lain
“Anak-anak itu ada yang sudah tamat SMA dan sudah bekerja di Jakarta dan ada yang bekerja di Flores Timur. Sekarang sisa 86 anak yang kita dampingi,” katanya.
Anak-anak para buruh migran tersebut, lanjutnya, mengalami banyak kendala, baik biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
“Selama ini, kita bantu anak-anak ini untuk pendidikan dan kebutuhan lainnya,” ujarnya.
Noben menyebut, data terbanyak anak-anak pekerja migran berasal dari Desa Lamawohong, Desa Keleru, Desa Kenere, dan beberapa di Wilayah Adonara dan daratan Flores Timur.
Rumah Singgah
Noben mengatakan, saat ini pihaknya tengah menyiapkan rumah singgah untuk para buruh migran yang memiliki kendala saat kembali ke Flores Timur.
Di rumah singgah ini, lanjutnya, pihaknya akan melakukan pendampingan apabila ada buruh migran yang mengalami trauma akibat tekanan kerja di perantauan.
“Kami juga akan memberdayakan mereka dengan memberikan pelatihan kerja yang bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomi,” katanya.
Sementara itu, ketua Komisi Buruh Migran Keuskupan Larantuka, RD. Lukas Laba Erap, Pr mengatakan pihaknya tengah menjalin kerja sama dengan Keuskupan Kuala Lumpur terkait pendampingan terhadap anak-anak buruh migran asal Keuskupan Larantuka di Malaysia agar mendapat perhatian serius dari sisi pendidikan.
“Saya sedang bicara dengan Keuskupan Kuala Lumpur tentang kurikulum kursus Bahasa Inggris untuk orang-orang migran kita di Malaysia. Kelas satu sedang kami buat,” kata Romo Lukas.