Oleh: Eto Kwuta*
Tanpa terasa, kita sudah memasuki Oktober Bulan Bahasa. Momentum ini menjadi sangat historis karena 28 Oktober setiap tahunnya adalah Hari Sumpah Pemuda. Dalam catatan sejarah, 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia juga ditetapkan menjadi bahasa resmi, sebagaimana bunyi atau isi Sumpah Pemuda kala itu.
Tak menghilangkan nuansa historis, perlu diketahui, Oktober adalah Bulan Bahasa dan dipandang perlu untuk kita refleksikan bersama-sama. Penulis melihat bahwa latar belakang historis itu yang membentuk sebuah kultur hingga sekarang. Kultur itu bukan hanya milik sebagian orang saja, tetapi milik warga negara tanpa kecuali.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu yang mau tidak mau harus dikuasai oleh orang Indonesia. Oleh karena tuntutan itu, sekolah-sekolah sejak PAUD hingga Perguruan Tinggi mewajibkan anak-anak bicara dan belajar Bahasa Indonesia. Sekolah menjadi rumah tumbuh-kembangnya Bahasa Indonesia kedua setelah pertama kali diajarkan dalam lingkungan keluarga atau rumah.
Untuk itu, Penulis merasa perlu merefleksikan Oktober sebagai Bulan Bahasa dalam konteks sekolah dan proses pendidikan dewasa ini. Apa yang harus sekolah buat? Atau bagaimana menerjemahkan Bulan Bahasa untuk kebutuhan pengembangan proses pendidikan di sebuah sekolah?
Sekolah Bikin Komunitas
Ada banyak pilihan yang bisa sekolah buat untuk mendukung pengembangan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Salah satunya adalah membuat komunitas bahasa atau komunitas yang mendukung lahirnya generasi-generasi muda yang menghargai serentak mengapresiasi Bahasa Indonesia.
Lewat komunitas, itu adalah pilihan tepat. Sebagai contoh, banyak aktivis dan sastrawan lahir dari komunitas-komunitas kecil yang dibentuk di sekolah. Mereka mulai dengan menulis pada mading sekolah, majalah sekolah, buletin sekolah, dan lainnya.
Ada beberapa nama yang bisa Penulis sebut sebagai sastrawan atau penulis yang membikin komunitas dan hidup dari, oleh, dan untuk komunitas. Sebut saja, Umbu Landu Paranggi; beliau dikenal sebagai guru, seniman, sastrawan, atau Presiden Malioboro karena dia menyatukan para seniman, penyair pada masanya untuk duduk bicara, diskusi, dan berdialektika tentang seni dan kebudayaan hingga berani menerobos batas menulis sebagai jalan hidup.
Sebagai pengasuh Persada Studi Klub (PSK) sejak 5 Maret 1969, lahir banyak sastrawan hebat seperti Linus Suryadi, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Suwarna Pragilapati, Joko S. Passandaran, Arwan Tuti Artha, dan lainnya.
Kembali kepada komunitas di sekitar kita. Di Nusa Tenggara Timur, banyak penulis atau sastrawan juga lahir dari komunitas hingga mendirikan komunitas. Sebut saja sastrawan-sastrawan muda Mario F. Lawi (Dusun Flobamora), Dicky Senda (Lakoat Kujawas), Felix Nesi (ikut mendirikan Komunitas Leko, Tua Kolo) , dan lain-lain. Mereka berawal dari kebiasaan kumpul-kumpul di komunitas dan atau jalan-jalan keramaian untuk sekedar diskusi dan berkarya.
Dari komunitas itu, mereka dibentuk dan didorong untuk menemukan diri dalam menulis, menjadi penggemar berat dalam menulis puisi, cerpen, hingga novel-novel karena ada kebiasaan baca dan tulis. Contohnya, Felix S. Nesi telah menjadi pemenang sayembara menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 dengan judul Orang-orang Oetimu.
Di sini, dapat dikatakan, komunitas adalah ruang awal “meremajakan dan mendewasakan diri” dalam menulis dan berkarier sebagai pengarang atau penulis. Jadi, sekolah harus bikin komunitas.
Sekolah Berliterasi dan Hasilkan Karya
Dewasa ini, literasi dipahami dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya baca dan tulis saja. Orang semakin memperkaya, misalnya, literasi komputer (melek komputer), literasi ekonomi (melek ekonomi), literasi informasi (melek informasi), dan lainnya (Bdk. Ni Nnyoman Padmadewi & Luh Putu Artini, 2018:1).
Dengan meluasnya pengertian literasi, maka komunitas adalah wadah yang tepat untuk menggerakkan literasi. Jadi, sekolah harus buka dan beri ruang kepada warga sekolah melalui komunitas. Sekolah mendorong warga sekolah berliterasi secara produktif. Tujuannya adalah mendapatkan talenta-talenta muda atau calon-calon penulis dan pengarang hebat kelak.
Pada era digitalisasi ini, literasi informasi seharusnya lebih hidup, tetapi bagaimana menampung informasi, mesti dituangkan ke dalam karya. Di sini, karya atau produk dimaksud berupa buku dan atau karya-karya edukatif lainnya yang mendukung proses literasi itu sendiri.
Sebagai contoh, di SMAK Syuradikara Ende, anak-anak Komunitas Sastra Kune Bara telah menerbitkan buku-buku karya mereka di antaranya Kumpulan Puisi Bukan Buku Biasa (2019), Kumpulan Cerpen Di Tepi Jalan Kenangan (2020), dan beberapa karya yang sedang dalam proses cetak.
Ada juga komunitas menulis di seminari-seminari menengah yang produktif mendedikasikan waktu dan ruang berliterasi dan berkarya secara berkelanjutan. Di Seminari Hokeng ada majalah Kuncup yang menjadi branding sekolah. Di Seminari Mataloko ada majalah Florete; dan masih banyak lagi. Sejatinya, literasi harus hidup dan berkembang di sekolah-sekolah mana saja supaya anak-anak merasa bahwa sekolah adalah rumah kedua mereka yang nyaman dan bersahabat.
Dengan demikian, sekolah harus menciptakan kultur yang hidup terus dan memberdayakan anak-anak atau warga sekolah untuk berliterasi dan berkarya. Sekolah harus memulai dengan komunitas, memetakan minat dan bakat, hingga mendorong anak-anak mulai berkarya dari sekarang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi! Selamat merayakan Oktober Bulan Bahasa!*
*Penulis adalah Pendamping Komunitas Sastra Kune Bara Syuradikara Ende