Mendiagnosis Masalah NTT Jelang Pilgub 2024

Kita butuh ‘pengenalan identitas’ dengan melihat fakta-fakta sosial, kultural, ekonomi tentang masalah di NTT.

Oleh: Patrisius E. K. Jenila*

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan menyelenggarakan Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024. Beberapa nama baru muncul ke permukaan.

Beberapa nama seperti Frans Lara Aba, Orias Petrus Moedak, Melki Laka Lena, Emi Nomleni, Ansy Lema, dan beberapa nama lain menjadi perbincangan luas di masyarakat.

Tapi, politik sifatnya cair. Nama-nama ini pada gilirannya akan ditentukan berdasarkan penilaian Partai Politik (Parpol).

Berbicara soal penilaian dan pertimbangan memang menjadi urusan privat Parpol. Penilaiannya bergantung pada ukuran loyalitas pada Parpol, popularitas di masyarakat, dan bahkan sampai pada pertimbangan kultural hingga modal finansial.

iklan

Ini beberapa pertimbangan dari banyak pertimbangan bakal calon oleh Parpol. Tanggung jawab ini berada di tangan Parpol yang mengusungnya.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang akan memilihnya? Bukankah masyarakat sebagai pemegang hak suara punya kepentingan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kepentingan Parpol semata?

Lebih jauh lagi, bagaimana seharusnya diskusi di ruang publik dihadirkan dalam rangka sebagai ‘kontra argumen’ atas cara pandang universal terhadap demokrasi sebagai ‘pesta elektoral lima tahunan’? Paling penting di sini apakah Pligub NTT hanya sekadar sebagai ‘pertarungan memperebutkan kekuasaan semata-mata?

NTT dan Segudang Masalah

Berbicara tentang kondisi NTT, kita berbicara masalah. Mengapa masalah? Karena di situ kita mengenal tentang NTT dan membangun optimisme tentangnya di masa depan. Ini barangkali terlalu abstrak dan penuh dengan harapan semu.

Kita butuh ‘pengenalan identitas’ dengan melihat fakta-fakta sosial, kultural, ekonomi tentang masalah di NTT. Ketimbang membangun harapan dan komitmen tanpa dasar, kita dituntut untuk berani menggugat dengan mempertanyakan kondisi NTT yang kita hadapi sekaligus alami hari-hari ini.

Bahwa NTT memiliki beragam sumber daya di berbagai sektor seperti pariwisata, peternakan, pertanian, kebudayaan, merupakan modal bagi pembangunan NTT. Lalu mengapa potensi dan modal yang ada itu tidak dapat memaksimalisasi dan menggenjot pertumbuhan ekonomi di masyarakat NTT dan menjungkirbalik posisi NTT dari provinsi termiskin (19,96 persen; data BPS 2023)?

Menurut saya, masalahnya terletak pada ketidakmampuan kita ‘mengenali masalah’ yang ada di dalam rumah kita (NTT). Kita hanya mengenal potensi yang ada, tanpa kita mampu menjelaskan masalah yang ada.

Karena ketidakmampuan mendiagnosis penyakitnya, kita latah di dalam mengenali resep obat yang pas untuk memaksimalisasi potensi-potensi yang ada sebagai ‘obat penawar’ (panacea) atas masalah yang kita hadapi. Lalu seperti apa masalah-masalahnya?

Dari pengamatan saya, sekurang-kurangnya ada tiga masalah di NTT. Pertama, masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT, baik sebagai pekerja legal maupun sebagai pekerja ilegal (korban Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO) ke luar negeri seperti Malaysia.

Di lapangan, pekerja asal NTT (legal dan ilegal) umumnya mengalami berbagai masalah, yang umum kita dengar ialah penyiksaan (yang berujung maut) oleh para majikan di tempat mereka bekerja.

Data menunjukkan kepada kita sepanjang Januari sampai Agustus 2023, Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT mencatat jumlah TKI asal NTT yang meninggal dunia mencapai 100 orang, yang ditengarai sebagai korban kasus TPPO (Detik.com; 30/08/2023).

Bahkan, sebagaimana diberitakan Kompas (20/07/2023), selama tahun 2018-2022, sedikitnya 516 pekerja migran Indonesia asal NTT meninggal di luar negeri, dengan 499 orang di antaranya pekerja migran ilegal.

Dihadapkan pada kondisi ilegalitas kerja, pekerja asal NTT tidak mampu bekerja di sektor formal di luar negeri, melainkan di sektor informal, yang pada umumnya berciri gaji rendah, kondisi kerja yang buruk, kehidupan yang tidak nyaman karena harus tidur di hutan, dan kerap mengalami penipuan (Emilianus. Y. S. Tolo; 2023).

Pekerja asal NTT jatuh pada pekerja rentan, yang mudah dieksploitasi dan dikebiri hak-hak dasarnya.

Kedua, masalah stunting. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 oleh Kementerian Kesehatan RI, menemukan angka stunting tertinggi berada di Provinsi NTT sebanyak 35,4 persen. Masalah stunting ini menjadi perhatian pemerintah dan stakeholder, terutama karena terkait dengan masa depan generasi muda. Ini merupakan tantangan bagi masa depan NTT apabila masalah stunting tidak terselesaikan.

Ketiga, konflik agraria. Belakangan kita membaca di berbagai laporan media terkait konflik agraria di NTT. Di beberapa daerah seperti di Sumba, Besipae, Mataloko, Poco Leok, dan beberapa tempat lain konflik masyarakat dengan pemerintah terkait lahan merupakan cerita yang bisa kita temui. Bahkan, konflik agraria di NTT kerap memakai jalur kekerasan, yang mengundang eskalasi konflik agraria makin tak terkendali.

Seperti di Poco Leok, warga mengalami berbagai mode kekerasan oleh aparat negara (TNI dan Polri) yang memaksa masuk ke tanah dan lahan warga. Ada upaya perampasan tanah (land grabing) melalui berbagai upaya seperti kekerasan fisik pada warga sampai pada pencaplokan langsung lahan dan ruang hidup warga.

Akibatnya, tidak ada titik temu, karena pemerintah terus memaksa masuk dan mengambil tanah warga. Inilah potret kehidupan warga yang makin terpinggirkan dan digusur dari lahan mereka.

Ketiga masalah ini terus menghantui NTT sampai sekarang. Meskipun ada upaya dari pemerintah untuk terus memaksimalkan kebijakan pengentasan kemiskinan, sayangnya belum menjawab masalah.

Di samping itu, perilaku negara seperti melalui konflik agraria dengan warga menunjukkan sikap arogansi yang dapat memicu ketidakpercayaan publik yang makin meluas pada pemerintah. Ini semacam pukulan telak bagi pemerintah.

Masalah Bersama

Tanpa mengecilkan masalah lain di NTT, menurut saya, tiga masalah di atas harus segera dituntaskan. Ini berarti setiap calon gubernur NTT harus punya visi dan misi serta program yang kompatibel dengan masalah pekerja asal NTT, masalah stunting, dan masalah agraria.

Tanpa punya perhatian yang besar pada masalah ini, Pilgub hanya akan mempertontonkan praktik ‘memburu kekuasaan’.

Menurut saya, di tengah ramainya kemunculan figur-figur yang siap bertarung di Pilgub NTT, kita sebagai masyarakat sipil (civil society) harus berani menggugat sekaligus menawarkan kepada mereka apa yang bisa mereka upayakan untuk mengatasi masalah ini.

Karena itu, di ruang publik dan media sosial, kita bisa menggaungkan masalah ini agar setiap figur mampu memikirkan konsep alternatif mengatasi masalah tersebut.

Kita harus berani keluar dari pemahaman sempit terkait Pilgub, yang semata menempatkan Pilgub di NTT sebagai arena memburu kekuasaan demi memperkaya diri. Kita harus berani meletakan masalah di NTT ini sebagai ‘masalah bersama’ yang butuh pertanggung jawaban bersama pula untuk mengatasinya.

Karena itu, Pilgub mesti menjadi ruang ‘dialektika dan diskursus’ yang di dalamnya wacana-wacana pengentasan kemiskinan dan penyelesaian masalah di NTT dinomor satukan.

Mengakui bahwa di dalam rumah kita (NTT) punya segudang masalah, dan anggota keluarga hidup dengan berbagai masalah, menurut saya, adalah tanda kebesaran hati kita untuk bersama-sama menyelesaikan masalah bersama itu.

Berangkat dari pemikiran, perasaan, dan nasib bersama ini, kita bisa meng-counter narasi-narasi oligarkis yang cenderung hanya ingin meraup dukungan elektoral.

Dalam situasi itu, ribut politik berarti menempatkan masalah warga di NTT ke ruang politik.

Pertama, sebagai upaya membangun diskursus publik untuk menghasilkan pilihan yang berbasis pada rasionalitas politik warga.

Kedua, sebagai gerakan perlawanan atas narasi, pemikiran, dan karakter politik yang terkesan oligarkis, yang berorientasi pada kepentingan sendiri dan kelompok.


*Alumnus Universitas Merdeka Malang dan saat ini tinggal di Jakarta.

TERKINI
BACA JUGA