Ruteng, Ekorantt.com – Ratusan orang berbusana adat Manggarai memadati kemah di halaman Kampung Mocok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Selasa, 3 September 2024. Sebagian dari warga duduk di luar kemah.
Sejumlah warga membawa poster yang memuat beberapa pernyataan sikap. “Dear KfW Bank, Your Money Is Being Used To Kill Poco Leok Indigenous People,” demikian tertulis di salah satu poster yang terbuat dari karung bekas. Di poster lain ada tulisan “Hentikan Pendanaan Proyek Geotermal Poco Leok Oleh Bank KfW-Jerman.”
Mereka adalah warga Poco Leok yang sedang bertemu tim independen yang diutus Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), salah satu bank asal Jerman yang sedang mendanai proyek geotermal di Poco Leok. Tim independen ingin mendengar suara-suara warga yang menolak kehadiran proyek itu.
Beberapa perempuan tampak memamerkan hasil bumi berupa kakao, kopi, cengkih, ubi, jagung, pepaya, kemiri, dan tuak yang telah tersimpan rapi di atas nyiru. Di hadapan tim independen, mereka menyampaikan suara penolakan terhadap proyek geotermal Poco Leok.
“Hasil so’o wa mai tanah bone. Eme jadi bor mata taungs sot poli manga’d (beberapa hasil bumi ini sumbernya adalah dari tanah. Ketika terjadi pengeboran, maka semua tanaman akan mati),” kata Maria Teme (63), seorang perempuan Poco Leok.
Bila tanaman pertanian mati, lanjut Maria, maka warga Poco Leok yang hampir semua bermata pencaharian sebagai petani akan mati kelaparan. Tidak akan ada yang tersisa untuk generasi berikut.
Karena itu, warga menolak geotermal dan sampai kapanpun tanah Poco Leok tidak akan dijual ke perusahaan meski ditukar dengan barang apapun. Warga tetap konsisten “menolak dan tetap berjuang sampai tuntas, berani sampai mati.”
KfW Picu Terjadinya Konflik Horizontal
Sebelum wacana proyek geotermal masuk, warga Poco Leok selalu hidup damai dalam ikatan keluarga. Baik itu hubungan darah, maupun hubungan yang timbul dari proses kawin-mawin.
Munculnya rencana proyek geotermal, membuat masyarakat Poco Leok terpecah belah dalam konflik horizontal, antara yang menolak dan yang menyetujui proyek geotermal.
Bagi masyarakat Poco Leok, selain pemerintah dan PLN, bank KfW juga menjadi salah satu pihak yang memicu konflik.
“Saya pastikan bahwa Bank Jerman (KfW) itu salah satu pemicu konflik horizontal karena mendanai proyek yang sudah jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan,” kata Yudi Onggal, seorang pemuda Poco Leok.
Yudi beralasan, Bank KfW menjadi pihak yang akan mendanai PT PLN dalam upaya perluasan geotermal Ulumbu di wilayah Poco Leok.
Di kepolisian, kata dia, Poco Leok tidak pernah menjadi masuk dalam “catatan merah” karena kasus tertentu.
Namun warga yang berjuang demi menjaga ruang hidupnya terpaksa berhadapan dengan polisi karena dianggap menentang geotermal yang notabene berlabel proyek strategis nasional.
Yudi sekali lagi menuding KfW sebagai pemicu terjadinya benturan sesama warga saat “Bank Jerman mau mendanai proyek-proyek yang memang mengancam kemanusiaan. Bank Jerman akan mendanai pembunuh untuk membunuh kita semua.
Manipulasi Data
Yudi menerangkan, proses meloloskan proyek panas bumi ini sudah melalui prosedur yang cacat karena dilakukan dengan manipulasi data besar-besaran.
“Di TOR yang dibagikan ke kita, saya membaca 85,7 persen masyarakat yang terima,” kata Yudi.
Dengan demikian warga yang menolak hanya 14,3 persen. Data-data itu, katanya, merupakan bentuk pemalsuan dan pembohongan publik yang dilakukan perusahaan. Karena jumlah masyarakat yang menolak kehadiran proyek lebih banyak dari masyarakat yang menyetujui hadirnya proyek tersebut.
Menurut Yudi, 10 dari 14 gendang yang ada di Poco Leok secara tegas menolak dan selama ini terus menyuarakan penolakan. Artinya hanya terdapat empat gendang yang sepakat dengan proyek geotermal. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan pihak perusahaan telah menipu publik.
“Lalu surat keputusan penetapan lokasi kedua yang diterbitkan bupati dan dirilis pada Maret 2024, kami mendapatkan di situ tertulis ada 602 KK yang setuju dan hanya 33 KK yang menolak. Kita ini dituding hanya 33 KK,” ujarnya miris.
Tanah Itu Ibu Bagi Orang Poco Leok
Orang Poco Leok berpandangan bahwa tanah adalah ibu yang harus dijaga, bukan dirusak ataupun dilukai. Sedangkan langit dianggap sebagai sang ayah yang selalu memberikan hujan dan menghidupkan tanaman mereka.
“Di setiap kali kami melakukan ritus saat pembagian lahan ada istilah ‘poro winan koe wa mai, ronan eta mai’,” Agustinus Tuju, perwakilan Gendang Nderu.
Agustinus berkata adat dan budaya Poco Leok memiliki lima falsafah, yaitu mbaru bate kaeng (rumah sebagai tempat tinggal), uma bate duat (kebun), natas bate labar (kampung halaman), wae bate teku (air sebagai sumber kehidupan), compang takung (altar persembahan atau tempat sesaji).
Kelima unsur tersebut saling terkait dan menentukan satu sama lain. Ketika salah satunya dirusak maka akan kehilangan identitasnya.
“Untuk itu kami tidak mengizinkan Poco Leok untuk dieksploitasi.”
Agustinus berpendapat, Poco Leok adalah milik para leluhur dan generasi yang akan datang. Dengan demikian, tugasnya sekarang harus “menjaga”, bukan “menjual”.
“Kalau mau minta, minta ke sana (leluhur). Tapi catatan, mati dulu. Baru sampaikan ke kami kalau mereka sudah izin.”
Agustinus pun enggan tergiur dengan janji-janji yang disampaikan pihak perusahaan, misalkan janji lapangan kerja bagi warga di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Padahal, mayoritas warga Poco Leok adalah petani yang saban hari harus bekerja mengolah tanah. Mereka percaya bahwa dengan menyentuh tanah, sesungguhnya sedang merawat hidup banyak orang dan yang paling penting adalah merawat bumi sebagai ibu.
“Kami tidak mau dari petani jadi pekerja industri,” tuturnya.
Dengarkan Aspirasi Warga
Antropolog University of Philippines, Nestor Castro, salah satu utusan Bank KfW berkata, pihaknya bertugas mendengarkan aspirasi warga, lalu memvalidasi dengan data yang diterima sebelumnya.
KfW telah mengontraknya untuk melihat langsung situasi sebenarnya di lokasi. Karena bank sendiri mendengarkan cerita dengan versi yang berbeda.
”Kami tidak berpihak pada pemerintah maupun PLN, tapi independen. Kami mau mendengarkan dari kedua belah pihak bagaimana situasi yang terjadi,” kata Nestor di depan warga.
Tanggung jawabnya menuliskan dengan seksama apa yang menjadi keresahan warga, tanpa mengubah apapun. Pada akhirnya memberikan rekomendasi itu ke KfW bagaimana selanjutnya.
“Kami ke sini bukan untuk menghasut bapak ibu menolak atau menerima proyek geotermal,” jelas Nestor yang didampingi Dr. Adi Prasetijo, Antropolog Universitas Diponegoro.
“Saya sudah mendengarkan semuanya karena secara garis besar budaya di Filipina dengan di sini agak sama,” tambahnya.
Kendati pihaknya pulang, namun tetap terbuka menerima aspirasi warga. Semua isu dan masalah yang terjadi akan dilaporkan ke KfW. Dia percaya leluhur Poco Leok akan menuntun apa yang harus dilakukannya di sana.
“Dari sini nanti kami akan memberikan rekomendasi terbaik kami untuk KfW,” jelasnya.
Pantau Titik Pengeboran
Sebelum menemui warga, tim independen memantau langsung sejumlah titik pengeboran, di antaranya wellpad I, H, dan F. Wellpad I merupakan berada di Ndajang.
Sedangkan lokasi wellpad I berada di Desa Lungar, dengan luas lahan sekitar 2,087 hektare. Menurut warga, lokasi tersebut merupakan bekas Kampung Lungar.
Di lokasi itu terdapat sebuah compang. Warga sering melakukan ritual adat di situ saat ada acara penti atau syukuran adat.
Kehadiran proyek geotermal dipastikan akan menggerus tempat upacara adat yang jaraknya sekitar 100 meter dengan Kampung Lungar itu.
Ignasius Nasat merupakan salah satu warga yang memiliki lahan di wellpad F. Ia bersikeras tidak menyerahkan lahannya ke perusahaan.
Dari kejauhan, tim juga memantau lokasi wellpad D yang berada di lereng bukit Golo Mompong. Warga bercerita, pengambilan sampelnya oleh perusahaan tanpa melalui konsultasi dengan masyarakat adat.
Selain itu, mereka juga memantau langsung memantau wellpad F yang berlokasi di Ncamar, Desa Lungar. Jarak titik tersebut dengan pemukiman warga sekitar sekitar 100 meter. Lokasinya pun berada di atas bukit yang curam. Di titik pengeboran itu terdapat pekuburan.
Proyek geotermal di Poco Leok merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang beroperasi sejak tahun 2012 lalu.
Perluasan proyek panas bumi ke Poco Leok dalam upaya memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW menjadi 40 MW. Tetapi, rencana ini terus mendapat penolakan dari warga.
Sejauh ini rencana proyek tersebut sudah memasuki tahap kedua dengan menargetkan tiga titik pengeboran (wellpad) dan access road (satu akses jalan menuju titik pengeboran).
Ketiga lokasi pengeboran ini di antaranya; wellpad H berada di Desa Lungar, dengan luas lahan sekitar 2,195 hektare. Wellpad I berada di Desa Lungar, dengan luas lahan sekitar 2, 087 hektare. Sedangkan wellpad J berada di Desa Wewo, dengan luas lahan sekitar 1,901.
Lokasi tiga titik baru ini juga terdapat di sejumlah tanah ulayat, di antaranya wellpad H terletak di Gendang Rebak dan Gendang Lungar, wellpad I Gendang Rebak (Suku Laking), sedangkan wellpad J terdapat di lahan Gendang Lale.
Sementara data kebutuhan lahan access road Desa Wewo 1,195 hektare, Ponggeok 0,210 hektare, Desa Mocok 0,5 hektare, Desa Lungar 4,320 hektare.
Lokasi access road ini terdapat di sejumlah tanah ulayat, di antaranya; Gendang Wewo, Gendang Rebak, Gendang Lale, Gendang Tere, Gendang Mesir, Gendang Leda, dan Gendang Lelak.
Di hadapan tim yang datang, Ignatius secara tegas menolak kehadiran proyek geotermal di Poco Leok.
“Orang tua kami sudah berpesan, kami tidak boleh menjual tanah!”