Maumere, Ekorantt.com – “Gorengan depan Telkom,” demikian orang biasa menyebut tempat usaha gorengan yang berlokasi di pinggir Jalan Soekarno-Hatta, Maumere itu. Tempat usaha tersebut milik pasangan suami istri, Marwanto, 60 tahun dan Purwanti, 53 tahun.
Dengan gerobak merah beratapkan terpal biru, mereka menyajikan aneka gorengan seperti pisang goreng, pisang molen, tempe, tahu, ubi jalar, dan bakwan.
“Kami jual gorengan di sini dari 2008 sampai sekarang,” Purwanti kepada Ekora NTT pada Selasa, 10 September 2024.
Sementara Purwanti menerima kami untuk berbagi cerita sambil menggoreng bahan-bahan jualannya, suami dan salah satu anaknya sibuk melayani para pembeli yang terus berdatangan.
Purwanti dan Marwanto datang dari Solo sejak tahun 2004 bersama ketiga anaknya untuk mengadu nasib di Maumere. Sejak tahun 2008, mereka berdua menggantungkan peruntungan sepenuhnya pada jualan gorengan.
Bahkan, mereka mampu membeli rumah di dalam wilayah Kota Maumere. Itu merupakan buah dari kerja keras dan konsistensi mereka selama belasan tahun berjualan gorengan.
“Saya dan keluarga sekarang tinggal di jalan Pramuka, itu masih kontrak. Tapi kami sudah punya rumah di atas, tinggal pindahan saja,” tuturnya.
Menguntungkan
Purwanti dan Marwanto memulai usaha dengan bermodalkan Rp5 juta untuk membeli perlengkapan dan bahan-bahan untuk menopang usaha jualan gorengan. Dari modal awal itu, mereka mampu menghasilkan keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Maumere.
Setiap hari mereka berjualan mulai dari jam 1 siang hingga malam hari. “Kalau ramai kadang sampai jam 9 malam, tergantung pembelinya,” tutur cerita ibu tiga anak itu sambil mengecilkan kompor gas.
Hasilnya terbilang cukup. Setiap hari, mereka mampu meraup rata-rata keuntungan Rp700 ribu hingga Rp800 ribu, walau kadang bisa lebih kecil dari itu bila pembelinya sepi.
Besarnya penghasilan yang diperoleh bukan berarti tanpa tantangan. Setiap musim hujan, keuntungan penjualan sangat kecil, bahkan hampir tidak ada.
Terlebih lagi, tempat mereka berjualan adalah di pinggir jalan yang sering dilanda banjir pada saat musim hujan.
Beberapa waktu belakangan, salah satu bahan untuk gorengan yakni pisang terkena penyakit darah. Kata Purwanti, penyakit pada pisang berpengaruh sangat besar terhadap omzet penjualan.
“Karena pisang yang dibeli itu warnanya hitam, kalau yang hitam yah kami buang. Kalau dibuang yah otomatis omsetnya menurun,” keluhnya.
Ia menambahkan, harga pisang di pasar juga lebih mahal, dengan per ikatnya seharga Rp25 hingga Rp30 ribu, padahal sebelumnya bisa diperoleh dengan harga Rp10 hingga Rp15 ribu saja.
“Untungnya saya ada langganan, jadi setiap hari bisa langsung dikirim pisangnya,” tuturnya
Hidup dari Jualan Gorengan
Kehidupan Purwanti dan keluarganya di Maumere sangat bergantung pada usaha jualan gorengan.
“Kami pemasukannya hanya tok dari gorengan, tidak ada pemasukan sampingan atau tambahan, benar-benar segala kebutuhan yang terpenuhi apapun itu dari berjualan gorengan,” kata Purwanti.
Memiliki tiga orang anak dengan berbagai kebutuhan yang ada, lanjutnya, adalah hal yang cukup berat. “Tapi itu bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang,” katanya lagi.
Baginya, memasak adalah hal yang menyenangkan dan menjual gorengan sudah menjadi pilihan hidup satu-satunya.
“Memang di sekitar kita juga banyak yang usaha (gorengan), tapi kan rezeki masing-masing orang Tuhan yang atur,” katanya.
Sembari mengangkat gorengan ke dalam saringan di dalam gerobak, Purwanti menjelaskan bahwa dari rezeki yang diperoleh, mereka sudah mampu membuka lapangan kerja untuk orang lain.
Mereka mempekerjakan empat orang, dengan gaji per hari Rp25 hingga Rp50 ribu sesuai dengan jam ataupun pekerjaan yang dibuat.
Ia melanjutkan, berjualan begitu lama dengan segala tantangan yang penuh ketidakpastian bukan hal yang gampang, “tidak semua orang dapat bertahan.”
Akan tetapi, berkat keuletan dan percaya pada jalan yang diambil, ia dan suami serta anak-anaknya mampu hidup dan bertahan di tanah rantau, Maumere.
Jurnalis Warga: Ensy Oktaviana & Sisilia Jaru