Banjir di Labuan Bajo, Saatnya Pemerintah Evaluasi Total Pembangunan yang Diklaim Berwawasan Ekologis

Banjir bukan baru pertama kali menimpa rumah Siti. Tiga tahun belakangan, setiap kali hujan mengguyur lebat, rumahnya menjadi langganan banjir.

Labuan Bajo, Ekorantt.com – Sore yang malang bagi Siti Karmini. Bagaimana tidak, rumahnya yang berlokasi di RT 10, RW 04, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat terendam banjir akibat hujan lebat pada Senin, 20 Januari 2025.

Rumah Siti beserta perabot di dalamnya terendam banjir setinggi lutut. Ia dan kedua anaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengamankan beberapa perabot, lalu mengungsi ke tempat yang aman.

Banjir bukan baru pertama kali menimpa rumah Siti. Tiga tahun belakangan, setiap kali hujan mengguyur lebat, rumahnya menjadi langganan banjir.

“Ketika hujan rumah kami selalu jadi langganan banjir. Hujan begini air selalu masuk ke dalam rumah,” ujar Siti pada Senin, 20 Januari 2025.

Ia bilang, banjir semakin parah setelah ada pembangunan saluran drainase di dekat rumahnya. Luapan air drainase mengalir hingga ke rumahnya.

“Dulu tidak ada begini. Setelah sudah buat trotoar itu banjir terus rumah kami. Kalau air sudah penuh di jalan pasti lari ke sini semua.”

“Kami berharap pemerintah memberi perhatian,” harapnya.

Tak hanya rumah Siti, sejumlah rumah warga ikut terendam banjir dengan ketinggian mencapai lutut orang dewasa.

Hingga Senin malam, di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, misalnya, sejumlah rumah warga masih terendam air. Warga tampak berusaha mengamankan perlengkapan dan barang-barang di dalam rumah. Mereka memilih bertahan di rumah menunggu air surut.

Sejumlah ruas jalan utama dalam Kota Labuan Bajo juga terendam banjir, mengakibatkan kendaraan sulit melintas, seperti yang terjadi di Gorontalo, Kampung Ujung, dan Kampung Air.

Pada Selasa, 21 Januari 2025 pagi hujan kembali mengguyur Labuan Bajo. Sejumlah wilayah, salah satunya di area Pantai Pede, terendam banjir.

Badan Penanggungan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Manggarai Barat belum merilis total rumah di Labuan Bajo yang terdampak banjir. Meski demikian Kepala BPBD Mabar, Fridus Tobong berkata, “tidak ada korban jiwa.”

Banjir di jalan Pantai Pede Labuan Bajo pada Selasa, 21 Januari 2025 pagi (Foto: HO)

Cuaca Ekstrem

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Manggarai Barat, Maria Patricia Christin Seran berkata, kondisi cuaca ekstrem ini disebabkan oleh peningkatan status bibit Siklon Tropis 90S menjadi Siklon Tropis Sean yang terpantau di Samudera Hindia serta aktifnya gelombang atmosfer Rossby dan Kelvin yang turut mempengaruhi pola cuaca di Manggarai Barat.

“Tadi malam itu berkembang menjadi siklon tropis itu yang memberikan dampak tidak langsung terhadap cuaca di Manggarai Barat,” ujar Seran kepada Ekora NTT pada Senin malam.

Dia meminta masyarakat agar tetap waspada potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, pohon tumbang, dan kerusakan fasilitas umum.

Kemerosotan Lingkungan dan Infrastruktur

Banjir di Labuan Bajo seolah menjadi rutinitas di musim hujan. Pada 5 Mei 2023 lalu, banjir merendam pemukiman warga. Padahal saat itu menjelang hajatan besar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-42.

Banjir tersebut memperlihatkan dampak serius dari kemerosotan lingkungan dan infrastruktur yang tidak memperhatikan kelestarian alam, kata aktivis lingkungan Doni Parera.

Doni menyebutkan bahwa perubahan tata ruang dan kerusakan hutan untuk kepentingan destinasi super premium menjadi faktor utama yang memperburuk situasi, ditambah cuaca ekstrem yang disebabkan oleh siklon tropis semakin memperparah kondisi tersebut.

“Banjir di Labuan Bajo jelas-jelas telah menunjukkan terjadinya kemerosotan lingkungan hidup yang luar biasa. Alam tidak punya kemampuan lagi ‘menahan’ laju aliran air,” kata Doni saat berbicara kepada Ekora NTT, Selasa, 21 Januari 2025.

“Hutan yang sudah gundul, ada infrastruktur fisik masuk ke dalam area hutan, sehingga kehilangan kemampuan menahan laju air mengalir yang mesti jadi ‘tugas’ akar-akar pohon dan lantai hutan,” imbuh dia.

Juga karena penimbunan area-area yang dulu jadi lokasi tangkapan air, seperti area bandara, rumah dinas bupati, area SMIP, Batu Susun dan Batu Cermin yang sekarang berubah jadi pemukiman dan perkantoran.

“Dulu, sisi kiri Bandara (Bandar Udara Internasional Komodo) menghadap ke arah utara ada cekungan-cekungan di bawah bukit yang sekarang ada bangunan pemantau cuaca di atasnya,” tutur Doni.

Menurut Doni, tangkapan air ini membuat ada mata air mengalir deras ke arah Pantai Binongko. Tetapi, sejak cekungan itu ditimbun untuk perluasan bandara, mata air di sisi lain bukit, mati. Yang tersisa sekarang hanya sedikit cekungan yang belum tertimbun persis di ujung landasan bagian utara.

Hingga periode 90-an dan awal tahun 2000-an, kata Doni, masyarakat masih bisa melihat area-area tampungan air, termasuk telaga yang terbentuk di dalam cekungan lantai hutan.

Sejauh pengamatannya, penyebab lainnya adalah karena penyempitan alur aliran air oleh bangunan dalam Kota Labuan Bajo.

Paling nyata adalah pembangunan saluran air di Lamtoro, yang dibuat lebih sempit dari ‘kondisi’ awal yang besar secara alamiah, tetapi harus ‘mengalah’ pada bangunan-bangunan yang cenderung merampas area aliran air.

Ia bilang, masyarakat tampaknya tidak punya daya untuk mengatur diri untuk lebih mempertimbangkan kondisi alam ketika membangun agar alam selalu ramah kepada manusia.

“Pun, seperti malas berpikir atau memang tidak mampu antisipasi perubahan iklim sehingga menyesuaikan dengan bagaimana kita membangun infrastruktur fisik sehingga tidak cemas pada saat cuaca ekstrem,” terang Doni.

Panorama Perairan Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (Foto: Dok. BPOLBF)

Pembangunan Serampangan

Hal senada disampaikan Peneliti pembangunan di Flores, Venan Haryanto. Menurut dia, banjir di Labuan Bajo dipicu oleh pembangunan kota yang serampangan. Antara lain, betonisasi dalam skala masif dengan pembangunan trotoar di beberapa jalan yang sangat lebar.

“Pembangunan tanpa sistem drainase yang ketat akhirnya makin mempersempit ruang resapan air,” kata Venan.

Selain itu, privatisasi kawasan pantai dengan pembangunan hotel-hotel yang makin masif juga makin menghambat aliran air menuju ke laut.

“Jadi dengan melihat ini semua, banjir di Labuan Bajo terjadi karena tiga kombinasi ini, air dari atas gunung yang mengalir deras karena hutan sudah ditebang, menambah volume air di dalam kota yang minim ruang resapan, lalu tertimbun tidak mengalir ke laut karena tertahan bangunan-bangunan besar yang berjejer di pantai,” tegasnya.

Alih Fungsi Hutan

Venan berkata, banjir di Labuan Bajo dalam tiga tahun terakhir ada hubungannya dengan alih fungsi lahan hutan Bowosie menjadi kawasan investasi pariwisata. Lokasi hutan ini tak jauh dari Kota Labuan Bajo.

Merujuk pada data, kata Venan, setelah pembangunan ini dimulai pada tahun 2022, dengan pembangunan jalan akses di dalam kawasan hutan Bowosie, banjir besar langsung terjadi pada tahun 2023.

Ketika itu, menurut warga yang bermukim di sekitar Bowosie, banjir jelas ada hubungannya dengan pembangunan jalan yang mengubah bentang alam hutan tersebut.

Proyek persemaian modern mulai dikerjakan pada Agustus 2021. Proyek ini berlokasi di kawasan Hutan Bowosie, hutan penyangga kota Labuan Bajo. Foto diambil pada 7 April 2022 (Foto: Dok. Ardy Abba)

“Kesaksian mereka, air mengalir dari atas hutan, tanpa penyangga dan langsung memenuhi pemukiman sekitar,” ujar Venan.

Ia kembali mengingatkan bahwa banjir yang terjadi di Labuan Bajo tentu saja memiliki hubungan yang sangat erat dengan pembabatan hutan.

Terletak di ketinggian, di atas Kota Labuan Bajo, kata dia, hutan Bowosie jelas sekali menjadi pelindung kota dari ancaman banjir.

Pembangunan kawasan pariwisata di hutan Bowosie diprediksi akan meningkatkan intensitas banjir tahunan di Labuan Bajo dalam beberapa tahun ke depan.

“Sekarang baru jalan yang dibuka, dampaknya seperti itu, bagaimana kalau empat distrik kawasan pariwisata di dalam kawasan Hutan Bowosie sudah dibuka, pasti kerusakan hutan Bowosie akan semakin parah. Ini jelas berdampak bencana bagi Labuan Bajo dan sekitarnya,” katanya merujuk pada dokumen-dokumen master plan yang menyebut kawasan Hutan Bowosie dibagi ke dalam empat distrik.

Empat distrik tersebut yakni Cultural District, Leisure District, Wildlife District dan Adventure District. Di dalamnya akan dibangun sejumlah fasilitas, seperti Hotel dan Mice (168 kamar), Family Hotel Resort (113 kamar: 17 Bungalow dan 96 Kamar), High-End Resort (155 kamar: 29 Bungalow dan 126 Kamar), dan High-End Glamping (Hotel Glamour Camping) dengan perkiraan jumlah kamar 25 kamar.

Doni Parera juga menyoroti proyek di hutan Bowosie yang merupakan kawasan hutan yang menjadi penyangga Labuan Bajo. Hutan tutupan yang sudah beralih menjadi area komersial, “yang dalam penyampaian ke publik adalah untuk konservasi.”

Doni bilang, air hutan Bowosie yang mengalir deras keluar lewat Liang Raba di Sernaru, kemudian mengalir membentuk aliran Wae Kelambu yang bermuara di pasar lama Labuan Bajo.

Perlu Evaluasi

Untuk mengatasi bencana akibat desain pembangunan yang tidak ekologis, kata Venan, pemerintah perlu mengevaluasi total pembangunan di hutan Bowosie dan berharap proyek tersebut dihentikan dan dikeluarkan dari daftar proyek strategis nasional (PSN).

Ia mengatakan, Pemerintah Presiden Prabowo Subianto berencana menghentikan banyak proyek PSN Jokowi, termasuk IKN, karena keterbatasan anggaran.

“Kita berharap bahwa proyek PSN Pariwisata Bowosie perlu dibatalkan atas nama keselamatan lingkungan Labuan Bajo dan sekitarnya,” kata Venan.

Venan juga mendorong pemerintah untuk mencabut Perpres Nomor 32 Tahun 2018 tentang alih fungsi hutan Bowosie menjadi kawasan pariwisata.

“Juga hentikan berslogan dengan mengklaim pembangunan yang ada telah dilakukan berwawasan sustainable (berkelanjutan),” tegas Venan.

Banjir yang masif tiga tahun belakangan “merupakan bukti yang tak terbantahkan dari betapa buruknya dampak lingkungan dari pembangunan-pembangunan yang diklaim ekologis ini,” kata dia.

Ia menegaskan, banjir ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah pusat untuk memikirkan kembali rancangan sepihak pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang sudah sejak awal terus mendapat perlawanan dari publik.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA