Maumere, Ekorantt.com – Katarina Ulin, 51 tahun, sedang menjerang air di dapur pagi itu. Uap panas keluar dari cela-cela tutupan periuk aluminium tanda air akan mendidih.
Sejurus kemudian, Katarina menangkap pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: excavator berada di halaman rumahnya. Sementara bunyi bising alat berat itu meraung tak karuan.
Di luar rumah, operator excavator mengarahkan giginya ke atap rumah Katarina. Ia berkukuh untuk tetap tinggal saat diminta untuk keluar dari rumah.
“Saya tidak mau keluar, ini saya punya rumah. Bangun ini rumah kami cari uang setengah mati,” teriak Katarina.
Operator excavator tidak peduli. Alat berat lalu merobek atap rumah batu permanen itu hingga menganga. Reruntuhan bangunan rumah mengenai kaki kanan Katarina.
Walau sakit, dia memilih diam di dalam rumah. Katarina takut keluar karena gerombolan orang berdiri di sekitar rumah, dengan kain merah putih diikat di kepala sembari memegang parang panjang.

Tidak berhenti di situ, operator kemudian mengarahkan excavator ke lokasi lain untuk melanjutkan proses penggusuran rumah warga.
Adalah PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), perusahaan milik Keuskupan Maumere yang menggusur rumah-rumah di tanah HGU Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka pada Rabu, 22 Januari 2025. Proses penggusuran dipimpin oleh Pastor Robertus Yan Faroka, Direktur Pelaksana PT Krisrama. Dikawal oleh aparat keamanan dari TNI, Polri, dan Pol PP.
Tobias Tobing dan Lorens, warga terdampak lainnya menceritakan, terdapat puluhan orang yang diduga preman mengelilingi rumah-rumah saat digusur.
“Mereka bawa parang semua. Pakai ikat kepala dan ikat lengan merah putih,” tutur mereka pada Kamis, 23 Januari 2025. Tobias, Lorens dan masyarakat lain saat itu berkumpul untuk siap melawan, kata mereka.
“Aparat mereka hanya menonton saat preman-preman itu ancam bunuh kami kalau berani melawan,” kata Tobias.
Ketika warga setempat datang membawa parang dan barang tajam lainnya, polisi melarang mereka.
“Massa preman yang disewa Krisrama bisa bawa parang dan ancam kami. Terus pas kami bawa parang mereka larang. Terus kami tanya mereka datang untuk apa, katanya mau pastikan tidak ada pertumpahan darah,” ujar mereka.
“Aparat ini mereka sudah kongkalikong dengan Krisrama. Tidak adil kan mereka bawa parang lalu ancam kami, tapi kaminya dilarang,” kata Lorens.
‘Beri Waktu Toleransi’
PT Krisrama menggusur sekitar 120 unit rumah beserta tanaman milik Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai.
Kepada awak media di Maumere, Direktur PT Krisrama, Pastor Epi Rimo mengatakan bahwa yang dilakukan di Nangahale bukanlah penggusuran, melainkan pembersihan lahan. Hal itu sudah direncanakan sejak lama.
Proses pembersihan, kata Pastor Epi, tertunda karena kesibukan internal aparat keamanan Polres Sikka yang sudah dimaklumi oleh PT Krisrama.

“Kami sudah memberi waktu toleransi sudah satu setengah tahun. Selama waktu satu setengah tahun kami membuat pendekatan, sosialisasi, imbauan dari rumah ke rumah meminta mereka membongkar sendiri,” kata Epi.
Epi berkata ada sebagian warga sudah membongkar sendiri rumah mereka. Bahkan mereka diklaim ikut membantu untuk menyadarkan warga yang lain agar bisa membongkar sendiri rumahnya.
“Sejak mendapatkan sertifikat ada suatu kegiatan yang perlu kami lakukan adalah pembersihan lokasi. Ini bagian dari tuntutan mendapatkan hak,” ujar Epi.
Ia mengatakan, Pemkab Sikka telah menjanjikan relokasi para okupasional yang masih berada di lokasi. Pemkab Sikka yang bertanggung jawab atas pemindahan mereka ke tempat yang sudah dikembalikan kepada negara.
PT Krisrama, kata dia, perlu membersihkan lokasi untuk peremajaan kelapa. Karena kelapa yang ada sudah uzur dan perlu perencanaan sesuai rencana untuk memperoleh hak.
“Kami diberi hak untuk melakukan itu, mengembangkan kembali, core business di sini kan perkebunan kelapa,” kata Epi.
Epi menambahkan, luas lahan secara keseluruhan di wilayah itu sebesar 868,703 hektare. Dari jumlah tersebut yang dikembalikan kepada negara seluas 543 hektare.
“Jadi hanya 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama,” jelas dia.
Tanah tersebut semula dikuasai oleh perusahaan Belanda, Amsterdam Soenda Compagni dengan surat Keputusan Residence Timor en Onder Hoorigheden pada 11 September 1912 dengan luas lebih kurang 1.438 hektare, jelas Pastor Epi.
Pada tahun 1926, kata dia, tanah itu dijual oleh perusahaan Belanda dan dibeli oleh Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden dengan harga 22.500 gulden.
Pada 16 Desember 1956 Vikariat Apostolik Ende (VAE) melepaskan sebagian tanah seluas 783 hektare kepada pemerintah Swapradja Sikka untuk kepentingan masyarakat sebagaimana termuat dalam surat VAE No. 981/V/56.
Kemudian dengan diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 5 1960, terbitlah Kepres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak-hak baru atas tanah asal Konversi hak-hak Barat, maka VAE yang kala itu telah menjadi Keuskupan Agung Ende selaku pemegang konsesi mengajukan Permohonan Hak Guna Usaha atas tanah perkebunan kelapa Nangahale.
Oleh karena tanah dengan luasan demikian tidak bisa dimiliki orang perorangan, maka dibentuklah PT. Diag milik Dioses Agung Ende pada 5 Januari 1989. PT. Diag mendapatkan Hak Guna Usaha dari Kepala Badan Pertanahan Nasional selama 25 tahun dan berakhir pada 31 Desember 2013.

“Pada diktum ketiga huruf F dinyatakan bahwa HGU dimaksud dapat diperpanjang dengan jangka waktu 25 tahun,” tuturnya.
Sejak November 2010, PT. Diag yang telah berubah nama menjadi PT Krisrama, setelah pemekaran Keuskupan Agung Ende, mengajukan permohonan pembaharuan HGU kepada Kementerian ATR RI.
Proses pembaharuan memakan waktu yang cukup lama, karena HGU Nangahale yang dikuasai PT Krisrama dinilai masuk dalam kategori terindikasi terlantar. Dinilai terlantar karena lokasi perkebunan dijadikan pemukiman dan sekolah bagi masyarakat.
Saat gempa dan tsunami 1992, oleh pemerintah, 29 hektare lokasi perkebunan kelapa dijadikan pemukiman korban tsunami dari Pulau Babi dan sekitarnya. Jadi alasan dasarnya adalah demi kemanusiaan semata.
Akhirnya, tanah yang terindikasi terlantar dicabut dan PT. Krisrama diminta untuk segera mengurus dokumen pembaharuan HGU sebagaimana tertuang dalam Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi NTT pada 28 Juli 2021.
Sementara itu, dalam rentang waktu pengajuan permohonan dan kelengkapan dokumen selama hampir delapan tahun, ada masyarakat yang menyerobot dan mengokupasi tanah HGU.
Mereka ini bahkan sangat masif sengaja mendirikan pondok-pondok dengan ukuran 2 × 2 meter dengan atap seng. Sehingga jika dipantau dari satelit terlihat seperti rumah tinggal.
Baru satu dua tahun terakhir, ada yang coba mendirikan rumah tembok ketika mendengar permohonan pembaharuan HGU PT Krisrama dikabulkan oleh BPN/ATR.
‘Nihil Kemanusiaan’
Kuasa hukum masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut, Antonius Johanis Bala mengatakan, aksi PT Krisrama dan Keuskupan Maumere tidak melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, meskipun perusahaan telah mengantongi sertifikat hak guna usaha (HGU).
Anton menjelaskan, ada dua produk hukum yang menjadi landasan utama PT Krisrama mendapatkan HGU seluas 325.682 hektare di Desa Nangahale Kecamatan Talibura dan Desa Runut Kecamatan Waigete.
Keduanya yakni: SK Kakanwil BPN-NTT Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 dan 10 persil sertifikat HGU Nomor 4-13 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Sikka.

“SK HGU dari Kakanwil BPN NTT tersebut merupakan landasan hukum utama terbitnya 10 persil sertifikat nomor 4-13 HGU. Jadi tanpa SK HGU itu, sertifikat HGU tidak dapat diterbitkan,” jelas Anton dalam keterangan yang diterima Ekora NTT, Kamis, 23 Januari 2025.
“SK HGU adalah produk hukum yang memberi izin, sementara sertifikat adalah bukti izin tersebut telah didaftarkan,” imbuh dia.
Penggusuran lahan di Wairhek, Utanwair, dan Pedan dinilai Anton sebagai tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum, karena SK HGU tidak memuat mekanisme penyelesaian sengketa melalui pembersihan lahan.
Hal ini terjadi karena sikap congkak dan ketidaktelitian kuasa hukum PT Krisrama dalam memahami peraturan HGU.
Diktum keenam SK HGU tersebut, kata dia menerangkan, “apabila di atas bidang tanah yang diberikan HGU terdapat keberatan, permasalahan, penguasaan atau kepemilikan pihak lain yang timbul di kemudian hari, maka penerima hak wajib menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Meskipun PT Krisrama mengklaim telah mengumumkan di mimbar gereja, di lokasi HGU oleh Penjabat Bupati Sikka, dan melakukan somasi dua kali, solusi yang tepat bukanlah land clearing atau pembersihan lahan, jika masyarakat tetap enggan meninggalkan tanah tersebut.
“Dan lebih celaka lagi dua klerus (imam Katolik) sebagai pelaku lapangan pun nihil kemanusiaan,” ujar Anton.
Mirisnya, lanjut dia, umat menjadi korban dari amukan alat berat para gembalanya sendiri, merujuk pada imam Katolik di balik PT Krisrama.
Dalam situasi seperti ini, jika masyarakat tetap enggan keluar, PT Krisrama harus menganggapnya sebagai keberatan, permasalahan, atau penguasaan pihak lain, dalam hal ini masyarakat.
“Selanjutnya menurut diktum keenam ini, PT Krisrama sebagai penerima hak wajib menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, PT Krisrama harus gugat warga tersebut ke pengadilan,” jelasnya.
Anton mengklaim tidak ada perintah bagi PT Krisrama untuk melakukan pembersihan lahan meski sudah memiliki sertifikat HGU dan mengumumkan, karena masyarakat tetap tidak mau keluar. “Ini sesat pikir publik mayoritas,” tegasnya.
SK HGU tidak mensyaratkan keberatan harus didasarkan pada alas hak yang sah, namun menyediakan ruang pembuktian melalui mekanisme penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan.
“Hemat saya land clearing baru boleh dilakukan oleh PT Krisrama apabila telah menempuh jalur penyelesaian permasalahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah mengantongi keputusan hakim yang berkekuatan tetap,” tegas Anton.
Anton memahami keberanian PT Krisrama melakukan tindakan bertentangan dengan hukum karena menggunakan nama PT Kristus Raja Maumere yang mendapat dukungan dari umat Katolik yang permisif.
PT Kristus Raja Maumere, milik Keuskupan Maumere, memiliki posisi sosial kuat di kalangan elite lokal, sehingga mampu memengaruhi pemerintah daerah, polisi, dan militer untuk membiarkan kekerasan terjadi tanpa tindakan tegas.

Berharap Keadilan
Suami Katarina, Antonius Toni, 59 tahun, mengatakan bahwa sebagai perusahaan milik Keuskupan Maumere, PT Krisrama, seharusnya berlandaskan “iman, harap, dan kasih.”
“Dengan apa yang terjadi kemarin, pertanyaan kami, Yesus yang mana yang anarkis model ini?”
“Mereka itu ada uskup dan pastor di dalamnya. Tapi yang mereka buat ini sangat sadis, tidak manusiawi,” kata Antonius.
Kata dia, perjuangan untuk mempertahankan tanah leluhur tidak akan berhenti hanya dengan adanya tindakan anarkis dan brutal dari PT Krisrama. Masyarakat adat akan terus berjuang sambil “berharap keadilan dapat diberikan negara.”
“Kalau kami tidak berhasil, perjuangan kami akan menjadi perjuangan anak cucu kami nanti,” pungkasnya.
Laporan: Petrus Yopi dan Risto Jomang