Kesulitan Akses Air Bersih di Mbay, Warga Terpaksa Gunakan Air Payau dan Beli Galon

Meskipun meteran PDAM terpasang di rumahnya, air tidak mengalir sama sekali, namun biaya beban sebesar Rp27 ribu tetap dikenakan setiap bulan.

Mbay, Ekorantt.com – Warga Mbay, Kabupaten Nagekeo, telah bertahun-tahun menghadapi kesulitan mengakses air bersih.

Banyak dari mereka terpaksa mengandalkan air tanah yang terasa payau untuk kebutuhan sehari-hari, sementara air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tidak mengalir meskipun mereka tetap dikenakan biaya bulanan.

Seorang pelanggan PDAM di Jalan John Bey, Mbay, mengungku ia telah lama mengandalkan air tanah yang dibor di halaman rumahnya.

Air tersebut hanya digunakan untuk mandi dan mencuci, sementara untuk memasak dan minum, ia harus membeli galon air.

Meskipun meteran PDAM terpasang di rumahnya, air tidak mengalir sama sekali, namun biaya beban sebesar Rp27 ribu tetap dikenakan setiap bulan.

“Terpaksa menggunakan air payau untuk mandi dan cuci, sedangkan untuk masak dan minum harus beli galon,” kata pelanggan yang enggan disebutkan namanya kepada Ekora NTT pada Jumat, 31 Januari 2025.

Menurutnya, banyak warga Mbay yang terpaksa membor air tanah atau membeli air tangki karena kesulitan mendapatkan air bersih.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur BLUD PDAM Mbay, Egedius Paceli Djago Ghela, mengakui  perusahaan air minum belum mampu mengatasi kesulitan yang dialami pelanggan.

Banyak pelanggan yang tidak mendapatkan suplai air dari PDAM, namun tetap dikenakan biaya beban sebesar Rp27 ribu per bulan.

Dani, sapaan akrabnya, menjelaskan kapasitas jaringan pipa induk, pipa transmisi, dan bak penampung yang ada saat ini terlalu kecil.

Fasilitas tersebut dibangun sebelum Kabupaten Nagekeo menjadi daerah otonom pada tahun 2007.

Pada masa itu, jaringan distribusi air masih mampu menyuplai air untuk jumlah penduduk yang terbatas. Namun, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan air bersih pun semakin besar.

“Akibatnya, banyak rumah tangga beralih menggunakan air tanah atau membeli tangki air. Di rumah saya saja, air tidak keluar,” kata Dani, yang baru-baru ini dipercaya mengemban jabatan sementara di PDAM Mbay.

Dani juga menjelaskan, kebutuhan air minum bersih di Mbay disuplai dari beberapa sumber, yakni Mata Air Lewomeli di Kelurahan Ratongamoba, Kecamatan Boawae, Mata Air Wugha di Kelurahan Dhawe dan Aesesa, serta sistem instalasi pengolahan air (IAP) di Bendungan Sutami.

Meskipun sumber-sumber ini memiliki debit air yang besar, jaringan perpipaan yang sudah tua tidak mampu mendistribusikan air dengan optimal kepada pelanggan.

Dari total 4.484 pelanggan, sebagian besar berada di Kecamatan Aesesa, Mbay dengan 3.370 pelanggan, diikuti wilayah Nangaroro (500 pelanggan), Boawae (432 pelanggan), dan Mauponggo (182 pelanggan).

“Masalah utamanya terletak pada jaringan pipa dan debit air. Meskipun pada tahun 2024 telah dipasang 1.000 sambungan rumah tangga di wilayah Aeramo, Penginanga, dan Waekokak, distribusi air tetap tidak lancar,” kata Dani.

Sebagai upaya jangka pendek, pada tahun 2025, PDAM berencana untuk mengoptimalkan Water Treatment Plant (WTP) Bendungan Sutami dengan anggaran Rp700 juta. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun bak penampung berkapasitas 100 kubik dan pengadaan mesin pompa baru.

Dani menjelaskan, bak penampung yang ada saat ini terlalu kecil, sehingga meskipun dapat menyedot 40 liter per detik, kapasitas bak hanya mampu menampung 16 liter per detik.

Akibatnya, sisa air harus dibuang. Dengan proyek ini, bak baru akan dibangun, dan mesin pompa baru akan mendistribusikan air langsung ke pelanggan di Mbay, Marpokot, dan Tonggurambang.

Penulis: Eginius Moa

spot_img
TERKINI
BACA JUGA