KPA Kecam Vonis Penjara Terhadap 8 Warga Adat Suku Soge Natarmage-Goban Runut

Menurut Dewi, masyarakat adat sesungguhnya adalah korban perampasan tanah oleh PT Krisrama, yang pada 24 Juli 2024 melakukan penggusuran paksa di Pedan, Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Sikka.

Maumere, Ekorantt.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutuk keras vonis penjara yang dijatuhkan terhadap delapan warga adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut oleh Pengadilan Negeri Maumere, Kabupaten Sikka.

Dalam perkara dengan nomor 1/pid.b/2025/PN ini, kedelapan warga tersebut dijatuhi hukuman penjara 10 bulan setelah dinyatakan bersalah atas tuduhan mencabut dan merusak plang milik PT Krisrama, sebuah perusahaan yang terkait dengan Gereja Katolik Keuskupan Maumere. Mereka dianggap sebagai korban kriminalisasi oleh PT Krisrama.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, dalam rilisnya yang diterima Ekora NTT pada Kamis, 20 Maret 2025, menyebutkan vonis ini merupakan bentuk kriminalisasi dan teror negara terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan tanah dan wilayah adat mereka.

Menurut Dewi, masyarakat adat sesungguhnya adalah korban perampasan tanah oleh PT Krisrama, yang pada 24 Juli 2024 melakukan penggusuran paksa di Pedan, Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Sikka.

Akibat penggusuran itu, sebanyak 142 pohon dan tanaman yang menjadi sumber penghidupan warga rusak dan tak bisa dimanfaatkan lagi.

Dewi menilai masyarakat hanya berusaha mempertahankan hak mereka atas tanah leluhur dari eksploitasi korporasi.

Sebagai bagian dari perlawanan, mereka merusak plang milik perusahaan yang kemudian menjadi alasan kriminalisasi terhadap delapan warga tersebut. Mereka telah ditahan sejak Oktober 2024 hingga menerima vonis yang sekarang.

Dewi juga mengecam keputusan ini karena dinilai mencederai rasa keadilan bagi masyarakat adat, serta mengabaikan hak-hak mereka yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Pokok Agraria 1950, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Ia mengkritik hakim yang dianggap abai terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat dan menganggap putusan ini sebagai penyimpangan dari asas hukum yang berlaku.

Menurut Dewi, kriminalisasi terhadap warga adat juga mencerminkan kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik agraria.

KPA mencatat bahwa sebanyak 2.964 petani, masyarakat adat, dan aktivis agraria telah dikriminalisasi hanya karena mempertahankan hak konstitusional mereka atas tanah.

Tingginya angka konflik agraria dan kekerasan yang mengikutinya,  kata Dewi, menunjukkan ketidakmampuan kementerian dan lembaga terkait dalam menyelesaikan masalah agraria secara menyeluruh.

Negara, katanya, seharusnya hadir sebagai fasilitator yang adil dan memastikan hak masyarakat adat tidak dikorbankan demi kepentingan korporasi.

Sebagai bentuk protes, KPA mengeluarkan lima pernyataan tegas: pertama, menolak hasil putusan Pengadilan Negeri Maumere yang memvonis 10 bulan penjara terhadap delapan warga adat Suku Soge Natarmage-Goban Runut.

Kedua, mendesak Mahkamah Agung atau lembaga peradilan terkait untuk membatalkan vonis tersebut dan membebaskan delapan warga adat demi keadilan.

Ketiga, menuntut evaluasi menyeluruh terhadap proses-proses peradilan yang tidak independen dan tidak imparsial, serta memastikan perlindungan bagi petani, masyarakat adat, dan nelayan sesuai dengan mandat UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1950.

Keempat, menuntut pertanggungjawaban PT Krisrama atas tindakannya yang menyebabkan konflik agraria berkepanjangan dengan masyarakat adat, termasuk perusakan lingkungan dan kriminalisasi terhadap warga adat.

Kelima, menyerukan solidaritas dari seluruh elemen masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat di Nangahale.

TERKINI
BACA JUGA