Labuan Bajo, Ekorantt.com – Sabtu pagi pekan lalu, Mama Yasinta Juliadit tengah duduk di depan teras rumahnya sambil merapikan beberapa ayaman yang belum selesai. Di usia yang ke 44 tahun ia masih setia menenun. Rea (peci khas masyarakat Mangggarai) salah satu andalannya.
Bagi Mama Yasinta menganyam Rea bukan sekadar meyambung kebutuhan hidup, tetapi menjaga keutuhan dan kekhasan salah satu karya kerajinan masyarakat Manggarai.
“Kita mesti menjaganya. Karena ini juga salah satu karya tenun kebesaran masyarakat Manggarai,” ujar Mama Yasinta saat ditemui Ekora NTT, di rumahya, Kampung Culu, Desa Tondong Belang, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat.
Mama Yasinta mengaku, menenun sudah ia lakukan semasa gadis. Usianya 16 tahun. Konon, saat masih di kampung halaman, Mejer, Desa Golo Damu, Kecamatan Mbeliling, ia dilatih sang ibunda agar menjadi penenun yang handal.
“Waktu itu kami anyam tikar dan tas yang bahan dasarnya daun pandan. Ibu yang selalu bilang kamu harus bisa menenun dengan baik. Karena, saat itu mama bilang tidak baik kalau seorang gadis tidak tahu menenun,” kenangnya.
Semasa muda, Mama Yasinta tidak hanya pandai menenun tetapi ia kenal gadis desa yang baik hati dan sederhana. Hal ini membuat Kornelis Kari (46) jatuh hati. Keduanya kemudian menjalin asmara, lalu menikah.
“Kami pacaran lalu kemudian memutuskan untuk hidup berkeluarga. Puji Tuhan kami dikaruniai empat orang anak,” ujar Kornelis yang saat itu tengah bersama istrinya.
Tepat 28 Desember 1999, kisah Mama Yasinta, ia meninggalkan kampung halaman, mengikuti suami ke Kampung Culu. Setibanya di Culu, ia mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kemampuan menenunya terus diasah.
Ia belajar dari penenun sekitar yang menghasilkan banyak kerajinan berkualitas dan layak dijual. “Setiap hari saya terus mencoba, akhirnya bisa juga,” ucapnya sambil tersenyum.
Tepat tahun 2015 Mama Yasinta mulai menganyam topi Rea. Karya kerajinan yang satu ini terbuat dari daun pandan berduri. Prosesnya melalui beberapa tahapan, yakni pengawetan, pelenturan, pewarnaan, dan penganyaman.
Topi Rea bukan saja aksesoris dikenakan oleh warga biasa saat acara tradisi dan ritual seperti perkawinan, kematian, dan acara-acara adat lainnya, namun juga menjadi songkok yang banyak digunakan dalam acara-acara pemerintahan. Prosesnya pun cukup lama.
“Kalau yang sudah setengah jadi, direndam dalam lumpur atau fermentasi satu hari. Kemudian dicuci bersih lalu direbus selama selama 2-3 jam dalam air yang sudah dicampur kulit kayu cepang. Kemudian, dijemur di tempat yamg lembap selama tiga hari,” terangnya.
Setelah kering, dilanjutkan dengan proses menganyam sesuai pesanan pelanggan. Mama Yasinta mengaku, sebelum pandemi Covid-19, topi Rea laku terjual 7-10 dalam sebulan. Bahkan, pemesannya tidak hanya di Labuan Bajo, tetapi di daerah lain seperti, Ruteng, Manggarai.
Ia mengatakan satu topi Rea dibanderol dengan harga, Rp.150.000. Harga ini tergolong murah dan ramah kantong. Sebab, prosesnya cukup rumit. Lama, dan butuh ketelitian.
“Sekarang pelanggan sudah sepi. Tetapi saya tetap buat. Ini adalah kewajiban. Kita berharap virus corona cepat berlalu,” ungkapnya.
Sandy Hayon