Ole: Maria Yustanti Du’a Miro*
Berbicara tentang pesta demokrasi, maka kita menyentuh istilah Pemilihan Umum (Pemilu). Istilah ini sangat kental dengan politik. Pemilu juga menjadi satu ruang untuk memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu di Indonesia.
Tak sebatas itu, politik selalu bersentuhan dengan warga negara dan kekuasaan. Siapa yang berkuasa, dialah yang menentukan kebijakan politik untuk kebaikan bersama. Namun, sebelum seseorang berkuasa, rakyat adalah satu kekuatan yang menghendaki individu tertentu menjadi pemimpin atau penguasa.
Dengan kata lain, berbicara Pemilu, akan membawa kita pada satu arah dasar pemikiran Montesquie mengenai Trias Politika, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Pemilu menjadi ruang demokrasi yang paling logis untuk menerjemahkan hak warga negara.
Akan tetapi, dalam perjalanan berdemokrasi, negara selalu melupakan eksistensi orang-orang kalah dan terpinggirkan sehingga muncul diskriminasi dan ketidakadilan, keterpasungan, fenomena golput, dan lain-lain.
Aksesibilitas Difabel
Tantangan-tantangan di atas menyentuh aksesibilitas difabel. Sejak Pemilu 1955, peran kaum difabel berada pada satu kondisi pasif.
Mereka yang dikenal dengan orang-orang berkebutuhan khusus atau berkemampuan berbeda ini adalah kelompok rentan, minoritas yang seringkali terpinggirkan.
Pandangan masyarakat pun menyebut mereka tidak mampu, sehingga ruang gerak mereka dibatasi; muncul ketidakpercayaan diri hingga ruang lingkup mereka semakin sempit. Mereka seperti kehabisan ruang untuk menunjukkan minat dan kemampuannya dalam berkarya.
Akan tetapi, sebenarnya kaum difabel juga merupakan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk terlibat aktif dalam berbagai bidang kehidupan termasuk urusan politik. Tetapi, kelompok ini sering terabaikan. Mengapa demikian?
Dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah jelas menjamin hak-hak Penyandang Disabilitas, salah satunya termasuk hak politik.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini menyatakan Difabel juga menjadi bagian penting untuk menyukseskan pelakasanaan demokrasi.
De facto, saat ini banyak kendala yang dihadapi Difabel berkaitan dengan partisipasi mereka dalam Pemilu.
Pemilu Inklusif
Menyentil inklusivitas sama dengan menyebut ke-termasuk-an, mengikutsertakan, atau melibatkan. Maka dari itu, untuk mewujudkan Pemilu yang setara, maka semua elemen warga negara harus terlibat. Tujuannya, supaya Pemilu itu berintegritas.
Nugroho dan Liando (2019) menjelaskan, inklusivitas pada prinsipnya mengikutsertakan pihak lain dalam suatu proses atau bagian dengan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan.
Jika disandingkan dengan Pemilu, maka Pemilu inklusif adalah Pemilu yang memberi kesempatan bagi pemilih yang telah memenuhi syarat sesuai hukum yang berlaku, terjamin menggunakan hak-hak pilihnya tanpa hambatan atas dasar agama, rasa tau etnik, gender, usia, kondisi fisik dan wilayah (Nugroho & Liando, 2019).
Dalam pandangan Ibeanu (2015) urgensi Pemilu inklusif adalah menjamin dan memastikan pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama secara hukum dalam penyelenggaraan Pemilu.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Indonesia. Maka, kaum Difabel juga perlu diperhitungkan haknya dalam berdemokrasi.
Untuk itu, penulis memberikan beberapa solusi kepada para pemangku kebijakan supaya mengambil andil memperbaiki kualitas demokrasi, khususnya berhubungan dengan aksesibilitas difabel dalam pesta demokrasi (Pemilu) di Indonesia.
Pertama, membuang stigma tentang kaum Difabel. Langkah ini menjadi paling dasar karena stigma menyebabkan kerusakan mental dalam hubungan sosial-politik seseorang. Di sini, stigma menyebabkan perbudakan dan atau penjajahan, maka secara otomatis, hak mereka terabaikan.
Kedua, melakukan sosialisasi yang tepat sasar. Artinya, mereka diberikan pendidikan politik yang layak. Di sini, pentingnya pemerintah menjalin kerja sama dengan organisasi atau LSM Difabel agar proses sharing pendidikan itu bisa berhasil.
Maka dari itu, harus ada penyediaan alat bantu dan sarana pendukung lainnya supaya informasi yang diberikan, terserap dengan baik.
Ketiga, perlu adanya kerja sama antar-lembaga dalam menyuarakan dan mendukung hak-hak Difabel supaya ketika pesta demokrasi atau Pemilu digelar, mereka mendapatkan kesetaraan di mata hukum, dan hak mereka sebagai warga negara terpenuhi.
Keempat, Difabel sangat rentan dengan praktik politik uang yang semakin mendarah daging dalam dunia politik dewasa ini. Untuk itu, pemerintah dan organisasi atau LSM Difabel membangun pendekatan inklusif untuk merangkul mereka mulai dari kaki kaum Difabel.
Dengan demikian, aksesibilitas Difabel menjadi penuh dan setara dalam Pemilu inklusif, jika semua unsur bekerja sama dalam menerjemahkan Undang-Undang untuk kebutuhan Difabel karena mereka adalah warga negara yang memiliki kesamaan di mata hukum dan berhak untuk memilih dengan cerdas.
*Penulis dari Komunitas Forsadika-Anggota Jurnalis Warga Pena Inklusi