Maumere, Ekorantt.com – Penyakit Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) kembali menyerang peternakan babi di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT. Hingga pekan ketiga Januari 2025, sudah teridentifikasi empat ekor babi yang mati terjangkit ASF.
Pada Minggu, 19 Januari 2025, seekor babi milik warga Dusun Tomu, Desa Paubekor, Kecamatan Nelle mati. Padahal, babi tersebut dibeli beberapa hari sebelumnya dari Pasar Nita, Kecamatan Nita.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Yohanes Emil Satriawan, menjelaskan kasus kematian pertama terjadi pada 6 Januari 2025 menimpa dua ekor babi di Desa Henga, Kecamatan Talibura.
Berselang tujuh hari, 14 Januari 2025 muncul kasus kedua yang menimpa seekor babi di Desa Bloro, Kecamatan Nita. Sedangkan kejadian ketiga terjadi pada Minggu, 19 Januari 2025 di Desa Paubekor.
“Kewaspadaan dan pengawasan mesti ditingkatkan kembali. Kasus kematian karena ASF makin sering berlangsung pada awal tahun ini,” kata Yohanes kepada Ekora NTT pada Senin, 20 Januari 2025.
Di Desa Paubekor, kata Jemi Sadipun, sapaan Yohanes, babi dibeli Rp3 juta dari Pasar Nita. Tak sampai sepekan, babi memperlihatkan gejala demam kemudian tewas.
“Harga pasaran babi tersebut Rp6 juta, tapi dijual murah Rp3 juta. Kita minta warga yang mengetahui kalau babi tidak sehat supaya tidak menjualnya ke pasar,” imbau Jemi.
Dikatakannya, pencegahan penularan ASF sudah disampaikan dalam edaran Penjabat Bupati Sikka, Adrianus Firminus Parera, kepada semua kepala desa, lurah, dan camat. Jemi berharap semua pemangku kepentingan meningkatkan peran sertanya menekan meluasnya serangan ASF.
Jemy menyebut beberapa poin upaya pencegahan ASF mencakup pengawasan lalu lintas ternak dan produknya pada pintu masuk antarkabupaten di wilayah perbatasan daratan dan pelabuhan laut. Pengusaha penjual ternak dan daging babi dilarang memasukkan babi dari daerah atau kabupaten lain, karena daerah atau kabupaten lain di Pulau Flores juga sedang terjadi peningkatan ASF.
Ditegaskannya, setiap ternak babi dan produknya yang masuk di Kabupaten Sikka dan perpindahan atau mutasi hewan penular ASF antarwilayah wajib disertai dokumen kesehatan hewan (SKKH) dan hasil pengujian laboratorium bebas penyakit ASF.
Demikian juga ternak babi yang diperdagangkan di pasar bukan babi yang sakit. Sebelum menjual ke pasar, terlebih dahulu melapor ke pusat kesehatan hewan terdekat atau dinas pertanian untuk dilaksanakan pemeriksaan kesehatan hewan.
“Peternak atau pemilik babi dilarang memotong dan mengedarkan daging babi yang terinfeksi ASF kepada masyarakat sekitar, keluarga, dan kerabat, karena dapat menjadi agen penyebaran virus ASF terhadap babi yang lain,“ tegas Jemi.
Perintah lainnya, peternak atau masyarakat yang akan memotong babi dan dagingnya diedarkan atau leis, maka minimal empat hari sebelum pemotongan harus melapor ke pusat kesehatan hewan atau dinas pertanian untuk pemeriksaan kesehatan.
Jemi mengimbau masyarakat supaya membeli daging babi yang berasal dari pemotongan di rumah potong hewan (RPH) milik Pemda atau berada di bawah pengawasan petugas kesehatan.
Bagi peternak, jika menemukan dugaan ASF atau ditemukan babi mati atau sakit segera melapor kepada petugas kesehatan hewan di wilayah kecamatan dalam waktu 1×24 jam.
“Pemerintah melarang masyarakat tidak membuang bangkai babi di sembarang tempat melainkan menguburnya untuk mencegah meluasnya ASF,” pungkasnya.
Penulis: Eginius Moa