Masyarakat Adat di Nangahale Tolak Kehadiran Umat yang Dikerahkan PT. Krisrama, Dialog yang Setara Tak Kunjung Dilakukan

Masyarakat adat menyebut umat yang menuruti perintah PT. Krisrama sebagai pesuruh. Mereka tak mau pesuruh PT. Krisrama masuk lahan HGU.

Maumere, Ekorantt.com – Rosalia Sadipun, 70 tahun, bangun pagi sekitar pukul 04.30 pada Selasa, 18 Maret 2025. Ia hanya tertidur pulas selama dua jam lebih, karena semalam ia tidur di jam 02.00 dini hari.

“Kami sepakat. Dari jam 5, kami di sini untuk pertahankan tanah ini,” kata perempuan yang mendiami wilayah Wairhek bersama suaminya sejak tahun 1977 itu.

Ia bersama ratusan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut melakukan aksi penolakan terhadap umat dari paroki-paroki yang dikerahkan PT. Kristus Raja Maumere (Krisrama), sebuah perusahaan milik Keuskupan Maumere.

Rosalia bersama perempuan lain dari kedua suku beserta anak-anak berdiri di garda terdepan, membentuk barisan. Mereka mengecek setiap kendaraan yang lewat, “jangan sampai itu umat yang datang kerja masuk wilayah HGU.”

Sedangkan para pria berada di barisan belakang. Tangan mereka memegang erat parang dan busur serta anak panah.

“Kami mau berjaga-jaga. Kami tidak akan menyerang,” kata Serilus Samsu, salah satu masyarakat adat dari Suku Soge.

Masyarakat adat, kata dia, telah mendapatkan perlakuan tidak adil dari PT. Krisrama. Saat polisi dari Polres Sikka datang dan mengamankan aksi itu, mereka menyerukan “Kami berjuang sampai mati untuk tanah kami.”

Mereka berjaga-jaga setelah mendengar informasi akan adanya massa dari setiap paroki yang akan menanam pagar dan anakan kelapa di wilayah bersertikat HGU Nangahale milik PT. Krisrama pada hari itu.

Pada Minggu, 16 Maret 2025, ada pengumuman saat perayaan misa di sejumlah paroki yang meminta umat terlibat dalam kegiatan pemagaran di lahan HGU Nangahale.

Masyarakat adat menyebut umat yang menuruti perintah PT. Krisrama sebagai pesuruh. Mereka tak mau pesuruh PT. Krisrama masuk lahan HGU.

“Kami mau jaga tanah kami. Delapan orang, termasuk anak perempuan saya sudah dipenjara karena perjuangan ini. Kami akan tetap bertahan,” kata Rosalia dengan nada tegas, yang disoraki oleh para perempuan lainnya.

Mereka berkumpul di tiga titik jaga, yakni Pedan, Utan Wair, dan Likong Gete. Bagi masyarakat adat, kehadiran umat itu merupakan “tindakan provokasi, adu domba, dan main hakim sendiri yang dapat memicu terjadi konflik horizontal antara umat Katolik yang juga adalah warga negara.”

Paulus Papo Belang (Foto: Risto Jomang) Ekora NTT)

Klaim Aksi Laudato Si di Masa Puasa

Pengumuman yang meminta masing-masing paroki mengutus 30 orang untuk bekerja di lahan HGU milik PT. Krisrama, kata Paulus Papo Belang, merupakan “kegiatan peduli lingkungan Laudato Si pada masa puasa.”

Paulus Papo Belang adalah Humas PT. Krisrama, kata Pastor Robertus Yan Varoka selaku direktur pelaksana perusahaan tersebut.

Ekora NTT sebelumnya meminta tanggapan Yan Varoka, tetapi ia enggan berkomentar.

“Minta di direktur (Pastor Ephy Rimo), saya hanya pelaksana. Atau di Pak Papo (Paulus Papo Belang), dia humas,” kata dia sambil memanggil Papo yang berada tidak jauh dari kerumunan massa di lokasi jaga.

Papo tidak menjelaskan hubungan antara PT. Krisrama dan umat yang diminta untuk bekerja. Tapi, kata dia, “itu inisiatif dan kesepakatan bersama para imam keuskupan bersama DPP saat rekoleksi bulanan pada Rabu minggu lalu (5 Maret) di Rumah Ret-ret Wisma Nazareth Nelle.”

Tindakan PT. Krisrama yang mengorganisir umat ditolak oleh masyarakat adat, sebagaimana yang disampaikan dalam surat permintaan perlindungan kepada Polres Sikka, Minggu malam.

Mereka berkeberatan karena di atas tanah HGU Nangahale masih terdapat sejumlah persoalan antara perusahaan dan masyarakat adat yang belum diselesaikan.

Terlebih lagi, sejarah panjang konflik antara kedua pihak itu akan memicu konflik horizontal antara umat yang dikerahkan PT. Krisrama dan masyarakat adat yang juga adalah umat Katolik Keuskupan Maumere.

Kegiatan pemagaran yang diklaim Papo akan melibatkan ribuan umat itu tidak terlaksana. Ekora NTT mendapatkan informasi bahwa sejumlah umat sempat menuju lokasi HGU, tetapi berhenti di tengah perjalanan.

Klaim Papo, hal itu terjadi karena pihak Krisrama mendapatkan informasi bahwa masyarakat adat sudah siap melawan. “Kami datang dengan tujuan damai, apalagi ini aksi puasa.”

Aksi pemagaran tidak dilakukan juga karena masyarakat adat telah lebih dahulu memagari lokasi tersebut, kata Papo. PT. Krisrama “akan proses pidana mereka. Alat bukti berupa pagar dibiarkan. Karena mereka melakukan tindak pidana penyerobotan.”

Masyarakat adat membantah pernyataan Papo. Mereka melakukan pemagaran karena lokasi itu merupakan tanah ulayat warisan nenek moyang.

Masyarakat adat juga mengatakan bahwa panah dibawa untuk berjaga-jaga. Belajar dari penggusuran pada akhir Januari lalu, aparat penegak hukum dan Pol PP membiarkan saja orang suruhan PT. Krisrama mengancam mereka dengan barang-barang tajam.

“Kami tidak akan menyerang. Kami bertahan saja, karena kami sesama umat,” kata mereka.

Panah dan busur yang dibawa masyarakat adat kemudian ditahan aparat yang dipimpin Kapolres Sikka, AKBP Moh. Mukshon. Tetapi, Mukshon mengatakan “hanya mengamankan” dan mempersilahkan masyarakat untuk mengambilnya kembali, asalkan tidak boleh digunakan lagi.

Mukhson bersama personelnya datang atas permintaan masyarakat dan atas permintaan PT. Krisrama.

Mukshon pun meminta masyarakat adat untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing dan mengimbau untuk tidak lagi menggunakan senjata tajam seperti panah dan tombak.

Masyarakat Adat Nangahale saat aksi jaga, dikawal polisi dari Polres Sikka dan Pol PP (Foto: Risto Jomang/ Ekora NTT)

Dialog

Masyarakat kemudian diajak untuk berdialog. Mukshon, sebagaimana juga dikatakan Camat Waigete Antonius Jabo Liwu dan camat Talibura Lazarus Gunter yang hadir di lokasi, menekankan bahwa pemerintah daerah sedang mengupayakan redistribusi tanah HGU Nangahale.

“Kami berharap masyarakat bersabar dan menunggu pemerintah memfasilitasi upaya ini,” kata mereka.

Kepala Suku Soge Natarmage, Ignasius Nasi mengatakan pihaknya tidak menerima upaya redistribusi tanah yang dicanangkan Pemkab Sikka. Ia mendorong dialog yang setara untuk menyelesaikan persoalan ini.

“Kami inginkan ketiga pihak, pemerintah, PT. Krisrama, dan masyarakat adat duduk bersama terlebih dahulu. Duduk bicara di sini, di tanah ini. Karena selama ini pemerintah dan perusahaan bertindak sepihak saja,” kata Nasi.

Tuntutan yang sama juga disampaikan Ignasius Soge dan Ricky Fernandes, anggota masyarakat adat Suku Soge. Mereka menuntut aparat penegak hukum untuk segera mengusut laporan yang telah diberikan masyarakat adat.

Masyarakat selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil, seolah diperlakukan secara berbeda, kata Ricky.

Yan Varoka sebagai perwakilan PT. Krisrama menanggapi tuntutan itu dengan menyuruh masyarakat adat menuntut ke negara, karena pihaknya mendapatkan sertifikat dari negara.

“Kalau ada sesuatu yang dan lain hal tentang sertifikat, mari kita bertemu negara untuk memperjelas apa yang menjadi bagian kita. Saya pun mendorong pihak pemerintah supaya mempercepat redistribusi supaya posisi kami ini menjadi jelas,” kata Yan Varoka.

Wilfridus Oki, aktivis mahasiswa asal Tana Ai yang selama ini turut dalam advokasi bersama masyarakat adat, menimpali pernyataan Yan Varoka bahwa justru letak persoalan ada pada PT. Krisrama.

Dialog Kapolres Sikka, perwakilan Pemda Sikka, perwakilan PT Krisrama dan Masyarakat Adat di Pedan, Nangahale (Foto: Risto Jomang/Ekora NTT)

Kata dia, PT. Krisrama tidak memenuhi poin pada salah satu syarat pengajuan HGU yakni tidak adanya konflik dan pihak lain yang menguasai tanah, serta tanah tersebut clean and clear. Karena, sebelum perusahaan tersebut mengajukan izin HGU, konflik antara masyarakat adat dan perusahaan penerus PT. DIAG telah terjadi, berlanjut hingga penerbitan sertifikat bahkan hingga sekarang.

“Justru Bapak mestinya ikuti aturannya. Kalau tanah masih berkonflik, perusahaan yang serahkan ke negara untuk selesaikan konflik dengan masyarakat, baru setelah clear diajukan izin,” kata Oki.

Ia menduga adanya kolusi antara perusahaan dan pemerintah karena meloloskan izin HGU di sana tanah tersebut masih dan tetap berkonflik.

Belum Ada Titik Terang

Konflik masyarakat adat dan PT Krisrama belum menemui titik terang. Sejumlah letupan konflik masih terus terjadi.

PT. Krisrama sebelumnya menebang pohon hingga menggusur 120 rumah masyarakat adat pada 22 Januari 2025 lalu. Bahkan masyarakat adat diproses hukum karena merusak plang PT. Krisrama, hingga delapan warga adat divonis hukuman 10 bulan penjara oleh PN Maumere, Senin, 17 Maret 2025.

Masyarakat adat yakin tanah itu direbut Belanda pada masa kolonial yang kemudian dijual ke Gereja. Terdapat sejumlah bukti berupa tempat-tempat ritual yang mereka rutin laksanakan turun temurun.

Masyarakat adat kemudian kembali menetap di wilayah HGU Nangahale, hingga terbentuk gerakan yang terorganisir sejak 1996. Dari tahun itu, mereka perlahan-lahan menempati sepanjang tepi jalan di lokasi HGU.

Gelombang besar-besaran terjadi pada 2014, setahun setelah PT. DIAG milik Keuskupan Agung Ende mengakhiri masa sewanya. Kemudian terjadi kekosongan penyewa HGU hingga pada 2021 PT. Krisrama mengajukan HGU dan diterima pada Juli 2024.

Sebelum mendapat izin HGU, perusahaan tersebut telah melakukan sejumlah tindakan yang dinilai merugikan masyarakat adat.

Lantas masyarakat melaporkan dugaan pemalsuan dokumen milik PT. Krisrama saat pengajuan HGU. Menurut John Bala, salah satu syarat penting diterbitkannya HGU adalah surat pernyataan pemohon bahwa sungguh-sungguh menguasai tanah secara fisik.

“Nah faktanya kan yang menguasai lahan itu secara fisik, baik sebelum maupun setelah pengajuan HGU kan masyarakat adat. Buktinya lahan yang telah dikuasai masyarakat adat lebih dari sepuluh tahun itu hingga sekarang masih tetap dikuasai masyarakat,” jelas John.

Tetapi, kata dia, laporan yang dilayangkan ke Polda NTT tidak pernah ditanggapi.

John Bala (tengah) bersama Masyarakat Adat di Nangahale (Foto: Risto Jomang/Ekora NTT)

John Bala mengatakan bahwa pihaknya telah tiga kali memberikan laporan ke Polres Sikka, akan tetapi tidak satu pun yang diproses.

Polres Sikka, jelas John Bala, selalu berdalih bahwa masyarakat adat tidak memiliki alas hak secara hukum atas tanah yang mereka tempati sehingga laporan tidak dapat diproses.

Mukshon, saat ditanya Ekora NTT pasca-dialog mengenai tiga laporan masyarakat adat, memberikan alasan yang serupa. Pihaknya tidak dapat memproses laporan yang dalam kelengkapan buktinya tidak memiliki alas hak.

Mukshon bilang, Polres Sikka akan mengecek kembali kelengkapan berkas laporan yang telah diserahkan masyarakat adat.

Sementara John Bala menegaskan bahwa melaporkan tindakan perusakan yang dilakukan PT. Krisrama sangat tepat karena pemberlakuan asas pemisahan horizontal dalam tata hukum agraria di Indonesia.

Asas pemisahan horizontal menyatakan bahwa kepemilikan atas tanah dan kepemilikan atas bangunan atau tanaman yang ada di atasnya dipisahkan. Artinya, seorang pemilik tanah tidak bisa merusak properti milik orang lain yang berada di atas tanahnya sendiri.

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Maumere mempertegas dalil ini dalam pembacaan putusan persidangan terhadap delapan masyarakat adat perusak plang PT. Krisrama.

Majelis hakim sependapat dengan keterangan saksi ahli Widodo Dwi Putro tentang asas tersebut, dan menyebutkan contoh asus di Dompu dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 249.K/Pid/2009. Pemilik tanah dihukum karena merusak rumah orang lain di atas tanahnya.

Gambaran kasus di Dompu juga seperti yang terjadi pada 22 Januari lalu, yakni PT. Krisrama merusak rumah yang bukan kepunyaannya meskipun berada di atas tanah yang secara hak sewa milik dia.

Widodo, kepada Ekora NTT, mengatakan, tindakan-tindakan perusakan yang dilakukan PT. Krisrama merupakan tindakan pidana berdasarkan hukum agraria di Indonesia yang menganut pemisahan horizontal.

“Tidak ada satu pun hukum agraria di Indonesia yang membolehkan pemegang sertifikat untuk merusak rumah orang lain di atas tanahnya sendiri. Itu tindakan pidana,” kata Widodo pada 26 Februari lalu.

Atas dasar itu, masyarakat adat mendesak Polres Sikka untuk mengusut kembali kasus-kasus perusakan yang dilakukan PT. Krisrama.

TERKINI
BACA JUGA