Tolak Penutupan Pasar Pagi, Puluhan Pedagang Lakukan Demo “Berjualan”

0

Maumere, Ekorantt.com – Puluhan pedagang ikan di Pasar Pagi Terbatas di area Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Maumere menyerbu Kantor Bupati Sikka di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Alok Timur, Selasa (2/7/2019) pagi.

Para pedagang ikan yang didominasi oleh kaum ibu itu tiba di Kantor Bupati Sikka sekitar pukul 08.00 Wita pagi.

Mereka datang menumpang tiga mobil pick up guna melakukan aksi demontstrasi.

Demonstrasi itu sebagai bentuk protes atas keputusan Bupati Sikka Robby Idong yang telah menutup Pasar Pagi Terbatas mulai Senin, 1 Juli 2019.

Tampak puluhan pedagang ikan dan pedagang sayur itu datang membawa serta varian ikan basah, cumi-cumi, ember, dan tempat untuk berjualan ikan di halaman Kantor Bupati Sikka sambil menunggu kedatangan pemimpin daerahnya itu.

10 menit berselang, Bupati Robby pun datang menemui mereka dan langsung melakukan dialog. Satuan Polisi Pamong Praja (SAT POL PP) Kabupaten Sikka menjaga lokasi.

Di hadapan para pedagang ikan dan pedagang sayur termaktub, Robi Idong mengatakan, pemerintahan di daerah Sikka ini bukan hanya dijalankan oleh Bupati sendiri, tetapi ada juga DPRD.

Oleh karena itu, Robby Idong meminta para pedagang membantunya menemui DPRD Sikka untuk menyampaikan aspirasi ini.

“Tolong bantu Bupati menemui rekan-rekan DPRD untuk menyampaikan ini. Apabila disetujui, besok kita buka dengan ketentuan yang kita atur lebih fair. Artinya, tidak merugikan masing-masing pihak. Mungkin waktunya kita turunkan sampai jam 8 pagi,” ungkapnya.

“Terima kasih Pak Bupati atas sarannya. Kami akan ke DPRD sekarang,” respons beberapa pedagang.

Lantas, para pedagang langsung mengikuti saran Bupati untuk bertemu pihak DPRD Sikka

Pantauan Ekora NTT, mereka tiba di Kantor DPRD Sikka pukul 09.30 Wita. Namun, tak terlihat satu pun batang hidung anggota DPRD yang berada di Gedung Kula Babong itu.

Para pedagang tetap menunggu kedatangan pimpinan dan anggota DPRD sambil menggelar tikar plastik untuk berjualan ikan basah, cumi-cumi dan juga aneka sayur mayur di halaman Kantor DPRD Sikka.

Sementara para pedagang lainnya yang masih berada di atas mobil pick up terus berteriak dengan suara lantang. Meminta anggota DPRD Sikka segera menemui mereka.

“Tadi kami ke Kantor Bupati. Bupati Robby Idong minta kami sampaikan aspirasi ini ke DPRD saja. Kami jadi bingung. Tolong kami, agar Pasar Pagi Terbatas di area TPI itu kembali dibuka lagi. Kalau tidak, kami mau makan apa. Kami mau berjualan di Pasar Alok dan di Pasar Tingkat tapi diusir oleh kepala pasar. Terus kami nanti berjualan di mana,” salah satu pedagang ikan di TPI, Om Pitok, menyampaikan.

Apabila ada Pasar Pagi Terbatas dirinya bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp 200 hingga 300 ribu, demikian tambahnya.

Para pedagang ikan lainnya mengatakan bahwa mereka merasa heran atas sikap Bupati Sikka yang sudah meresmikan Pasar Pagi Terbatas pada tanggal 28 September 2018 lalu, namun kini malah ditutup.

Dalam peraturan itu, Pasar Pagi Terbatas diselenggarakan setiap hari, mulai dari pukul 06.00 hingga 08.30 Wita.

Polemik Bantuan Pendidikan dan Beasiswa, Bupati dan DPRD Sikka “Berkelahi”

Maumere, Ekorantt.com – Pendidikan merupakan sarana mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi, akibat keterbatasan ekonomi, tidak semua anak bangsa bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi.

Duet Robby Idong-Romanus Wogha berupaya menyelesaikan persoalan ini dengan memberikan bantuan pendidikan dan beasiswa kepada para mahasiswa di Kabupaten Sikka dengan menerbitkan Ranperda tentang Pemberian Bantuan Pendidikan dan Beasiswa pada masa Sidang II Paripurna tahun 2019 lalu.

Namun, Ranperda tersebut ditolak mentah-mentah oleh para anggota DPRD Sikka. Beberapa bulan kemudian, Bupati Robby terbitkan lagi Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Bantuan Pendidikan dan Beasiswa.

Lagi-lagi, para anggota DPRD Sikka tolak mentah-mentah. Bahkan, kali ini, suasana tambah panas. Kedua belah pihak saling rebutan “mic” untuk bicara.

Kuping tak lagi dipakai untuk saling mendengarkan.

Ini adalah kali kedua Bupati dan DPRD Sikka terlibat “perkelahian” seru. Sebelumnya, mereka juga “berkelahi” soal dugaan korupsi tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka.

Saat itu, Bupati Robby menuduh anggota DPRD Sikka melakukan “mark up” anggaran tunjangan kerja yang mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp3 Miliar lebih.

Belum damai “perkelahian” itu, kini muncul lagi tema “perkelahian” baru: bantuan pendidikan dan beasiswa mahasiswa. 

Gonjang-ganjing seputar bantuan pendidikan dan beasiswa bagi mahasiswa di Kabupaten Sikka akhir-akhir ini berawal dari satu persoalan, yakni antara kedua lembaga Negara, Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sikka, belum punya satu titik kesepahaman yang sama.

Di satu pihak, Pemda Sikka telah menuangkan rencana pemberian bantuan pendidikan dan beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) tahun 2020.

Selain itu, bersama DPRD Sikka, pemerintah juga telah menyepakati pemberian bantuan pendidikan melalui Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2019 tentang Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sikka.

Oleh karena itu, sebagai peraturan pelaksanaannya, Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo juga telah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Bantuan Pendidikan dan Beasiswa.

Namun, di lain pihak, DPRD Sikka malah meminta pemerintah untuk terlebih dahulu mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Beasiswa.

Hal ini disampaikan Ketua Fraksi Partai Demokrat Agustinus R. Doing dalam pemandangan fraksinya, Selasa (25/6).

Politisi yang akrab disapa Henny Doing ini meminta agar dalam Ranperda tersebut, pemerintah menyertakan asas, maksud, tujuan, dan sasaran pemberian beasiswa.

Tak hanya itu saja, pemerintah juga diminta menyertakan tim seleksi dan mekanisme seleksi calon penerima beasiswa hingga pertanggungjawaban, larangan, sistem monitoring, dan evaluasi.

Dalam jawaban atas pemandangan fraksi ini, Bupati Robby menegaskan, pihaknya sudah berusaha maksimal membuat peraturan yang bisa menjadi dasar pemberian bantuan dan beasiswa tersebut.

Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Perbup Nomor 8 tahun 2019 di atas. Menurutnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, perintah pelaksanaan bisa dibuat cukup hanya dengan menggunakan Peraturan Kepala Daerah (Perkada).

“Penetapan Perbup Nomor 8 Tahun 2019 dimaksud sebagai perintah pelaksanaan dari Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 29 Ayat (3) dari PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang mengamanatkan bahwa pemberian bantuan biaya pendidikan dan beasiswa oleh Pemda diatur dengan peraturan kepala daerah,” jelas Bupati Robby.

Bupati Robby menambahkan, beberapa waktu lalu, pemerintah sudah pernah mengajukan Ranperda tentang Pemberian Bantuan Pendidikan dan Beasiswa pada masa Sidang II Paripurna tahun 2019.

Namun, saat itu, DPRD Sikka menolak Ranperda tersebut. Padahal, dalam Ranperda tersebut, pemerintah sudah mengajukan tiga skema pemberian bantuan yakni, bantuan pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, pemberian beasiswa kepada mahasiswa berprestasi, dan pinjaman tanpa bunga yang akan dikembalikan setelah lulus kuliah.

DPRD Sikka lebih memilih mengalokasikan anggaran dana pendidikan melalui bantuan hibah murni seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Akibat ketidaksepahaman ini, malah muncul wacana baru yang ditelurkan para anggota DPRD Sikka.

Beberapa fraksi di antaranya Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Demokrat mengusulkan agar pemerintah mengurangi Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) Aparatur Sipil Negara (ASN) senilai Rp34 Milyar untuk dialihkan ke belanja modal dan hibah bantuan beasiswa.

Namun, pemerintah memilih jalan melakukan evaluasi terkait pemberian TPP tersebut. Pasalnya, keputusan pemberian TPP bagi para ASN di Kabupaten Sikka sudah disepakati bersama DPRD sejak tahun 2018 dan pelaksanaannya belum optimal.

Selain itu, pemberian TPP ini juga sebagai tindak lanjut dari Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2020 yang mengatur adanya pemberian tunjangan tambahan penghasilan ASN dan bukannya tunjangan kinerja (Tukin).

Bangun Komunikasi

Dinamika yang terjadi di Kabupaten Sikka akhir-akhir ini memantik respons dari kalangan masyarakat.

Salah satu warga Kota Maumere Simon Subandi Supriadi mengungkapkan, dinamika atau “perseteruan” yang terjadi antara Bupati Robby dan DPRD Sikka harusnya disudahi. Pasalnya, dengan dinamika yang ada, masyarakat hanya menjadi penonton dan menjadi kalangan yang dirugikan.

Oleh karena itu, Simon berharap, Bupati Sikka dan DPRD Sikka membangun komunikasi yang baik sehingga roda pemerintahan bisa berjalan normal.

Selain itu, lewat jalinan komunikasi yang baik antarlembaga pemerintahan ini, pembangunan di Kabupaten Sikka bisa berjalan sesuai rencana dan program yang sudah diputuskan bersama.

“Saya pikir dinamika yang terjadi hingga paruh waktu tahun 2019 ini bisa mendewasakan baik pemerintah maupun DPRD. Kini saatnya kedua lembaga ini membangun kemitraan yang baik sehingga dapat membangun Kabupaten Sikka secara baik. Toh, semua ini demi kepentingan masyarakat yang dilayani,” ujar Simon.

Untuk diketahui, hingga saat ini, para calon mahasiswa yang sudah mengajukan permohonan bantuan pendidikan dan beasiswa di Pemda Sikka berjumlah 597.

Pemda Sikka sendiri kini tengah berusaha bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi agar bisa menerima para calon mahasiswa ini.

Sementara itu, terkait alokasi dana, Bupati Robby berjanji akan mencari solusi terbaik.

Menurutnya, apabila keuangan daerah tidak cukup untuk membiayai pos anggaran ini, maka ia akan berkoordinasi dengan pihak pemerintah provinsi atau pemerintah pusat.

“Kami menerima permohonan beasiswa. Bukan pendaftaran beasiswa. Saat ini, terdaftar 597 orang. Kita cari kerja sama dengan perguruan tinggi sehingga usulan kami rinci. Kalau APBD tidak cukup, kita cari ke provinsi dan pusat,” tegas Bupati Robby.

Ingin Berwisata ke Ngada? Jangan Lupa Mampir di Air Terjun Ogi

Bajawa, Ekorantt.com – Kabupaten Ngada adalah salah satu kabupaten yang terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kabupaten ini terkenal akan panorama keindahan alam dan jejak wisata budaya seperti Gunung Inerie, Kampung Bena (kampung adat tertua di Pulau Flores), Taman Laut 17 Pulau Riung, dan Air Panas Mengeruda, Soa.

Tak hanya itu, Kabupaten Ngada juga memiliki wisata alam air terjun yang terletak di Kelurahan Fobata, Kecamatan Bajawa, yaitu Air Terjun Soaseso, atau akrab dikenal di kalangan wisatawan dengan sebutan Air Terjun Ogi.

Jarak dari Kota Bajawa ke tempat wisata ini kurang lebih 8 kilometer, dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit.

Medan yang harus ditempuh adalah jalanan menurun dan tanjakan. Semakin dekat dengan lokasi, pengunjung harus menelusuri jalan tak beraspal sepanjang kurang lebih 1 kilometer, lantaran objek wisata ini cukup jauh dari jalan raya.

Namun, lelah takkan terasa karena pengunjung dapat menikmati keasrian hamparan sawah yang indah sebelum tiba di lokasi.

Untuk dapat menikmati keindahan Air Terjun Ogi, pengunjung diwajibkan membeli karcis seharga Rp5.000,00 per/orang sebelum memasuki lokasi.

Jika telah tiba di air terjun, mata kita seakan dihipnotis dengan bentang indah air terjun yang jatuh dari ketinggian 80 meter.

Air terjun seperti tersembul keluar dari balik pepohonan hijau dan jatuh pada kolam yang cukup luas untuk tempat pengunjung berenang.

Berjarak sepelemparan batu dari kolam air terjun, tersedia pondok bagi pengunjung untuk sekadar melepas lelah atau menghabiskan makan siang bersama sambil menikmati bunyi gemericik air terjun.

Di tempat wisata ini telah disediakan 3 pondok  bagi pengunjung untuk beristirahat dan bercanda ria sembari melihat keindahan wisata ini.

Sambil berdiri di pagar pembatas antara kolam air terjun dan pondok, pengunjung bisa mengabadikan momen kunjungan dengan berswafoto atau foto bersama dengan latar air terjun yang deras mengalir jatuh dari ketinggian tebing.

Untuk diketahui, derasnya aliran air terjun juga dimanfaatkan oleh PLN setempat sebagai mesin pembangkit listrik bertenaga air yang memberi aliran listrik ke rumah warga sekitar.

Selain sebagai pembangkit listrik, aliran air tersebut juga dimanfaatkan sebagai irigasi lahan persawahan warga sekitar.

Arista Harman, salah satu pengunjung di tempat itu kepada EKORA NTT, Rabu (26/6/2019) mengatakan, Kabupaten Ngada memiliki alam yang begitu indah.

Tawaran tempat untuk berwisata sangat banyak dan beragam. Salah satunya yaitu Air Terjun Ogi.

Menurut Arista, jarak yang ditempuh ketempat itu cukup dekat dari Kota Bajawa.

Tiket masuk sangat terjangkau dan pemandangan yang ditawarkan sangat memuaskan, indah, dan penuh pesona.

“Air terjun Ogi sangat cocok sebagai tempat refreshing, tempat berkumpul keluarga maupun teman-teman, dan yang paling penting direkomendasikan bagi yang suka berfoto,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia juga menilai jalan menuju lokasi, mulai dari tempat parkir yang masih belum diperhatikan dengan baik.

“Semoga pemerintah setempat secepatnya bisa memperbaiki, serta menata jalur ke air terjun lebih baik lagi,” imbuhnya.

Sementara itu, Imelda Nou, salah satu warga yang tinggal di sekitar lokasi air terjun itu, mengatakan, objek wisata Air Terjun Ogi dikelola oleh warga Kampung Hubomaro yang berada di lokasi wisata.

Imelda Nou mengatakan, hasil penjualan karcis ke pengunjung akan dibagi tiga, di antaranya untuk pemilik tanah yang di lokasi air terjun, kelompok pariwisata di Kampung itu, dan Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada.

“Untuk menata tempat wisata ini, yakni warga Kampung Hubomaro sendiri. Di sekitar lokasi air terjun juga ada 4 rumah warga,” tutupnya. (Adeputra Moses)

Bapak, Jaga Kebun Ubi Kita!

0

Ende, Ekorantt.com – Siang itu terik matahari sedikit redup tak menyengat. Beberapa anak kecil tampak menenteng karung di tangan berisikan ubi Nuabosi.

Ubi-ubi itu baru dipanen orangtua mereka yang pada saat bersamaan hendak pulang ke kampung di Plei, Dusun Potu, Desa Ndetundora 1.

Mereka adalah orang-orang Nuabosi. Dan ubi Nuabosi, kita tahu, merupakan ikon makanan khas Kabupaten Ende juga NTT.  

Namun, yang menarik dari ubi Nuabosi adalah ” Uwi Terigu”, salah satu varietas ubi yang jika dimakan rasanya lezat dan lembut, bahkan melebihi roti.

Kepada Ekora NTT, Sabtu ( 29/6/2019), Ardian Rengga, salah seorang petani, bercerita banyak hal perkara pahit getir ataupun susah senangnya berkebun ubi.

Menurut Ardian, beberapa petani kian resah karena banyak rekan-rekannya yang beralih dari mengelolah lahan ubi ke tanaman perdagangan, seperti cengkih dan kakao. 

Sementara itu, Amandus Titus, petani lainnya, mengatakan bahwa usia tanam yang lama serta pengendalian harga di pasaran juga menjadi faktor penting pelestarian ubi Nuabosi.

“Kami baru bisa panen kalau sudah 1 tahun, Pak. Paling cepat 10 bulan,” ungkap Amandus.

Namun, yang menarik dari bincang-bincang bersama para petani tadi ialah celetukan anak Amandus yang bernama Gey. “Bapak, jaga kebun ubi kita!” seru dia. Rupanya Gey mendengar percakapan sedari tadi.

Tentu saja naluri anak petani desa ini sepertinya mengisyaratkan berbagai pihak, termasuk Pemda Ende melalui Dinas Pertanian dan Disperindag untuk berintegrasi menjaga agar kepunahan ubi Nuabosi tidak terjadi.

Sementara itu, pemerhati sosial Kabupaten Ende, Sipri Reda, yang ditemui Ekora NTT di kediamannya, menyatakan prihatin atas kelangkaan ubi Nuabosi dan mengharapkan respons serius dari pemerintah, terutama dalam mendorong petani di Ndetundora-Nuabosi untuk terus menanam ubi.

“Yang penting itu menjaga mutu di pasar. Kita harap pemerintah mencari strategi pemasaran agar perilaku oknum yang mencampur ubi nuabosi dengan ubi varietas lain untuk dijual tidak terjadi lagi,” pendapatnya.

Kita banyak dengar keluhan pembeli kalau di pasar ada campur dengan ubi lain dan ini sangat merugikan. Itu mestinya dipantau dan cara pandang pedagang juga harus diberi pencerahan, demikian tambahnya.

Sipri Reda juga berharap Dinas PMD Kabupaten Ende mendorong pemerintah desa untuk mengambil alih sistem pemasaran Ubi Nuabosi melalui Badan Usaha Milik Desa/ BUMDES agar mampu mengontrol penjualan dan produksi sehingga petani tidak dirugikan.

Pantauan Ekora NTT sendiri di Pasar Mbongawani Ende, ubi Nuabosi yang dijual  secara eceran per ikat dengan isi 8-10 buah dibanderol dengan harga 40 ribu rupiah. Sementara ubi jenis lain, harganya sekitar 20 ribu rupiah per ikat.

Romo Lukas Nong Baba Rayakan Pesta Emas Imamat

Bajawa, Ekorantt.com – Umat Paroki Maria Ratu Semesta Alam Langa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, merayakan pesta emas imamat Romo Lukas Nong Baba, Pr di Wolokoro, pada Rabu (3/7/2019).

Perayaan ekaristi syukur ini dipimpin langsung oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsensius Potokota, Pr dan dihadiri Romo Vikep Bajawa, imam konselebran lainnya dan seluruh umat Paroki Langa.

Romo Vikjen Sirilus Lena, Pr, dalam khotbahnya, mengatakan bahwa Romo Lukas, sang yubilaris emas imamat itu, merupakan imam angkatan-angkatan awal Keuskupan Agung Ende.

Dan karya imamat Romo Lukas selalu bergerak dari kebutuhan umat. Bahkan, dalam semangat gotong-royong, dia membangun gereja dan kapela-kapela di Jerebu’u, Ngada.

Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, Romo Lukas pun menjadi petani cengkih di Jerebu’u. Selanjutnya, kiprah beliau diteruskan di Paroki MBC Bajawa selama 16 tahun.

Di sana dia menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat melalui cara menghidupi kelompok kategorial, antara lina Santa Anna, Legio Maria, Serikat Remaja juga Kelompok Pemelihara Sapi dan Mama Lele.

Di Paroki Maria Ratu Semesta Alam Langa sendiri, Romo Lukas telah bertugas sejak tahun 1997 silam hingga merayakan pesta 50 tahun imamatnya saat ini.

Dalam karya pastoralnya, Romo Lukas merupakan imam yang menggarap bumi dan merangkul sesama umat Allah untuk mengandalkan Tuhan dan teknologi pertanian. Agar masyarakat Allah menjadi sejahtera juga menjadi petani sukses.

Namun, selama bertugas di Paroki Langa, Romo Lukas lebih fokus memberi perhatian ke Wolokoro lantaran saat itu, Wolokoro masih dililiti sebuah sengketa antara Pemerintah dan umat akar rumput.

Setelah misa syukur, dia mengatakan bahwa dirinya sungguh bahagia bisa merayakan imamat yang ke-50 tahun meskipun dalam kondisi yang tidak cukup sehat.

“Saya bersyukur atas penyelenggaraan Tuhan sehingga saya bisa merayakan emas imamat. Semoga hingga ajal nanti, saya tetap semangat dalam karya,” katanya. (Adeputra Moses).

Ruas Jalan Mawe-Lawir Rengkam Rusak Parah

Borong, Ekorantt.com – Keadaan ruas jalan kabupaten di daerah Mawe menuju Lawir Rengkam, ibu kota Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, rusak parah.

Pantuan Ekora NTT, ruas jalan dengan panjang sekitar 7 kilometer ini hanya sedikit terdapat aspal. Selebihnya; tonjolan batuan kerikil yang tampak memenuhi badan jalan. Tampak pula  air yang mengalir di tengah jalan.

Air yang mengalir ini adalah air yang tersisa dari persawahan milik warga, karena selokan yang tak diperhatikan. Air sawah pun ikut mengalir ke tengah jalan.

Bagi yang melintasi jalan tersebut, perlu berhati-hati sebab jalan itu bukan hanya tergenang oleh air, melainkan juga tumpukan kerikil yang begitu banyak juga membahayakan para pengendara.

Tak hanya itu, bagi pengendara roda dua yang melintasi jalan tersebut, jika berboncengan, tubuh mereka pasti akan turun naik lantaran ruas jalan memang rusak berat.

Salah satau warga Desa Compang Raci, Hardianus Havi, kepada Ekora NTT, Senin (1/7/2019) mengatakan, melihat kondisi kerusakan infrastruktur jalan Mawe menuju ibu kota Kecamatan Poco Ranaka Timur itu kian hari kian parah.

“Saya berpikir bahwa Pemkab Matim belum terbangun dari tidurnya,” ujar Hardianus sembari menambahkan bahwa masalah kerusakan jalan tadi sudah terjadi sejak lama

“Saya berharap Pemkab Matim dan pemerintah Kecamatan Poco Ranaka Timur untuk segera mengambil langkah atau tindakan dalam mengatasi persoalan ini,” katanya.

Apalagi lintasan Mawe-Lawir merupakan jalur utama dan satu-satunya yang harus dilalui oleh warga di Desa Compang Raci, Desa Rengkam, Desa Golo Lero dan Desa Tango Molas.

Hal senada juga diungkapkan Charles Marsoni. Dirinya mengaku sangat menyesal atas kinerja dari pemerintahan sekarang yang sangat minim dalam memperhatikan ruas jalan itu.

“Kami menyesali kinerja dari pemerintah sekarang dalam memerhatikan pembangunan di Matim,” pungkasnya.

Untuk diketahui, jalan aspal menuju Lawir Rengkam ini rusak parah bahkan sejak Manggarai Timur belum dimekarkan dari Kabupaten Manggarai yang kala itu berada di bawah periode pimpinan Bupati Drs. Christian Rotok. (Adeputra Moses)

Kasus Rabies di Sikka Meningkat Sementara Pasokan Vaksin Tak Mencukupi

Maumere, Ekorantt.com – Fenomena yang lazim terjadi di Kabupaten Sikka sekarang adalah virus rabies. Virus ini sangat mematikan dan sudah menelan banyak korban di beberapa wilayah.

Lalu, bagaimana cara penanggulangan virus berbahaya ini?

Persoalan rabies pada umumnya sudah dianggap biasa oleh kalangan masyarakat di Kabupaten Sikka. Tanpa disadari, virus ini sudah menyebar dan menghilangkan puluhan nyawa warga Negara di Kabupaten Sikka sejak masuk pertama kali pada tahun 1998.

Menurut Satuan Medis Fungsional Penyakit Dalam RSUD TC Hillers Maumere dr. Asep Purnama dalam diskusi bersama dengan Ekora NTT, Jumat (10/5/19), virus rabies masuk ke Flores Lembata pertama kali pada tahun 1997 di Sarotari, Flores Timur dan menyebar ke Sikka pada tahun 1998.

Virus mematikan ini berasal dari Sulawesi Selatan yang diduga disebarkan oleh para pedagang yang berlayar pada saat itu. Dalam ilmu kesehatan, virus yang berasal dari hewan dan masuk ke dalam tubuh manusia ini lazim disebut dengan istilah zoonosis.

Keberadaan virus rabies bisa dilihat melalui kepala anjing yang dipotong dan diperiksa di Laboraturium Balai Besar Veteriner Denpasar.

Adapun gejala atau tanda-tanda seseorang terkena virus antara lain adalah menggigil karena takut dengan udara dan/atau air.

Salah satu cara menghentikan penyebaran virus rabies adalah mencuci luka dengan sabun minimal 12 jam setelah digigit anjing dan segera divaksin.

Di Sikka, Pemda Sikka bertanggungjawab menyelesaikan persoalan rabies ini. Sebab, jumlah kasus gigitan anjing rabies semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Laju perkembangan penyebaran virus rabies sangat cepat. Sebab, berbeda dengan virus HIV/AIDS yang memiliki Global Van sebagai pendonor tetap, rabies tidak memilikinya.

Beberapa pertanyaan seperti apakah Dinas Pertanian Kabupaten Sikka punya anggaran dan stok vaksin yang memadai mesti dijawab oleh Pemda Sikka.

Pada Jumat (17/5/19), Ekora NTT menemui Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka Ir. Hendrikus Blasius Sali di ruang kerjanya.

Hendrikus mengungkapkan, pihaknya akan segera menanggulangi virus rabies di Sikka dan akan meningkatkan penyediaan vaksin hingga 65%.

Menurutnya, pada tahun 2018, terjadi peningkatan kasus positif rabies di Sikka khususnya dan daratan Flores Lembata umumnya.

“Di Kabupaten Sikka, pada 2018, sudah terjadi 2 kasus meninggal dunia (kasus Lyssa) di Kecamatan Hewokloang dan Waigete,” ungkapnya.

Menurut Hendrikus, pada 2018, dari 12 kecamatan dan 36 desa di Kabupaten Sikka, 60 spesimen otak anjing terindikasi positif rabies.

Pihaknya sudah melakukan vaksinasi di seluruh wilayah Kabupaten Sikka. selain itu, kampanye rabies juga digalakkan melalui kegiatan penyuluhan, imbauan, pengumuman, rapat koordinasi instansi teknis, talk show, seminar, perlombaan bagi anak-anak sekolah, hingga pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten dan kecamatan.

Pada awal tahun 2019, lanjut Hendrikus, terjadi lagi satu kasus Lyssa, yakni korban meninggal karena rabies di Desa Egon, Kecamatan Waigete.

Lima (5) spesimen otak anjing positif Rabies, yaitu masing-masing di Desa Bola-Kecamatan Bola, Desa Nenbura-Kecamatan Doreng, Desa Egon dan Desa Hoder-Kecamatan Waigete, dan Desa Iligai-Kecamatan Lela.

Berkaitan dengan vaksinasi HPR, target populasi anjing di Sikka mencapai 60.000 ekor. Sementara itu, pada tahun 2019, alokasi vaksin rabies sebanyak 22.000 dosis yang terdiri atas 12.000 dosis dari dana APBN dan 10.000 dosis dari dari dana APBD. Alokasi vaksin ini tidak mencukupi untuk memvaksinasi 70% populasi anjing target.

Hendrikus mengatakan, karena keterbatasan atau kekurangan vaksin, pada tahun 2019 ini, pihaknya hanya akan melakukan lakukan vaksinasi darurat di beberapa desa tertular saja seperti Desa Nenbura-Kecamatan Doreng, Desa Wolokoli dan Desa Bola-Kecamatan Bola, Desa Habi-Kecamatan Kangae, Desa Egon dan Desa Hoder-Kecamatan Waigete, Kelurahan Waioti-Kecamatan Alok Timur, dan Desa Iligai-Kecamatan Lela.

Vaksinasi darurat ini pun menggunakan bantuan vaksin buffer stock provinsi sebanyak 4.000 dosis.

Menurut Hendrikus, dalam rangka meningkatkan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), pihaknya sudah melakukan sosialisasi di Desa Egon dan melakukan Rapat Tim Koordinasi Pengendalian Rabies Tingkat Kecamatan di Kecamatan Talibura dan Kecamatan Waigete.

“Penyakit rabies ini sudah mendarah daging di wilayah Kabupaten Sikka. Di satu sisi, kasus rabies terus meningkat dari tahun 2018 hingga tahun 2019. Di sisi lain, penyediaan vaksin tidak mencapai target. Untuk mencapai 70% target, maka perlu adanya penambahan lagi vaksin di tahun 2019 sebanyak 33.000 dosis,” ungkapnya.

Pemerintah menyarankan agar masyarakat terus berwaspada dengan mengurung atau mengikat anjing, tidak mengganggu anjing, melaksanakan tindakan mencuci luka untuk setiap kasus gigitan, dan menutupi wilayah, yaitu tidak memasukan dan/atau membawa keluar anjing ke desa atau wilayah lainnya. (Okto Muda/Kontributor)

Teror Rabies di Flores-Lembata; Bukan Isu Seksi hingga Salah Kaprah Vaksinasi

Maumere, Ekorantt.com – Seluruh peserta diskusi di ruangan Redaksi Ekora NTT terdiam. Layar proyektor Liquid Crystal Display (LCD) menampilkan kisah para korban gigitan rabies di Manggarai, Moni, dan Bajawa.

Tampak seorang dokter mengetes gejala rabies dengan cara memberi segelas air dan meniupkan udara ke arah korban. Korban menunjukkan reaksi takut pada air dan udara.

Tidak lama berselang, para korban gigitan anjing rabies tersebut menghembuskan nafas terakhir.

“Selang dua hari kemudian, korban itu meninggal,” kata Dokter Asep Purnama, Satuan Medis Fungsional Penyakit Dalam dan Saraf RSUD Dr. Tjark Corneille Hillers Maumere.

Dr. Asep menjadi pembicara tunggal dalam diskusi bertajuk “Penanggulangan Rabies di Flores Lembata” yang digelar Surat Kabar Ekora NTT di ruang redaksi Ekora NTT di Jalan Anggrek, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Jumat (10/5) tersebut.

Hadir para jurnalis dari Kompas.com, Kumparan.com, dan Maumere TV.

Dr. Asep menjelaskan, rabies pertama kali masuk ke wilayah Flores-Lembata pada tahun 1997 di Sarotari, Flores Timur.

Pada tahun 1998, virus rabies menyebar ke Sikka, pada 1999 menyebar ke Lembata, dan pada 2000, menyebar luas di seluruh kabupaten di Flores, mulai dari Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, Manggarai, hingga Manggarai Barat.

Virus rabies di Flores-Lembata berasal dari Sulawesi Selatan karena hubungan perdagangan.

Menurutnya, sejak masuk pertama kali di Flores pada tahun 1997, rabies sudah merenggut kurang lebih 300-an nyawa.

Namun demikian, menurutnya, para bupati di Flores-Lembata terksesan kurang peduli dengan persoalan rabies. Rabies tidak pernah menjadi isu politik yang seksi.

Misalnya, dalam Pemilu 2019 yang baru saja berlalu, tak satu pun politisi berbicara tentang isu rabies di Flores Lembata. Ketidakpedulian para bupati tersebut tampak dalam anggaran penanggulangan rabies yang sedikit.

Bikin Rabies Jadi Sejarah

Pada setiap tanggal 28 September, dunia memperingati Hari Rabies. Momen ini dipakai untuk mengkampanyekan propaganda “Make Rabies History.”

Rabies bisa dibikin jadi cerita sejarah masa lalu saja. Sebab, rabies punya vaksin. Misalnya, penyakit cacar hilang pada tahun 1980 karena ada vaksinasi.

Menurut Dr. Asep, 99% hulu masalah rabies adalah anjing. Oleh karena itu, vaksinasi anjing sangat penting untuk menanggulangi bahaya rabies di Flores-Lembata.

Persoalannya adalah apakah Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, dan instansi terkait lainnya di seluruh kabupaten di Fores Lembata mengganggap penting program vaksinasi anjing ini?

Jika mereka mengganggapnya penting, berapa alokasi anggaran penanggulangan masalah rabies di Flores-Lembata? Berapa tenaga kesehatan yang dipersiapkan untuk menanggulangi masalah rabies? Berapa vaksin yang disiapkan dinas terkait untuk memvaksinasi anjing?

Menurut data yang dirangkum dr. Asep, pada tahun 2018, jumlah anjing di Kabupaten Sikka adalah 60.000-70.000 ekor. 60 ekor di antaranya terdeteksi kena virus rabies.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka Ir. Henderikus Blasius Sali saat ditemui Ekora NTT di ruang kerjanya, Jumat (17/5) mengatakan, dari 12 kecamatan dan 36 desa di Kabupaten Sikka, 60 spesimen otak anjing terindikasi positif rabies.

Pada tahun 2018, terdapat dua (2) kasus meninggal dunia (kasus Lyssa) akibat gigitan anjing rabies di Kecamatan Hewokloang dan Kecamatan Waigete.

Awal tahun 2019, terjadi lagi satu kasus Lyssa, yakni orang meninggal karena rabies di Desa Egon, Kecamatan Waigete. Hingga awal Mei 2019, lima (5) spesimen otak anjing teridentifikasi virus rabies masing-masing di Desa Bola, Kecamatan Bola, Desa Nenbura, Kecamatan Doreng, Desa Egon dan Desa Hoder, Kecamatan Waigete, dan Desa Iligai, Kecamatan Lela.

Menurut Kadis Hendrikus, pemerintah sudah melakukan vaksinasi anjing di seluruh wilayah Kabupaten Sikka.

Kampanye rabies melalui kegiatan penyuluhan, himbauan, pengumuman, rapat koordinasi instansi teknis, talk show, seminar, dan perlombaan bagi anak-anak sekolah juga sudah dilakukan sampai ke desa-desa.

Akan tetapi, menurutnya, alokasi vaksin belum mencukupi untuk memvaksinasi 70% populasi anjing di Kabupaten Sikka.

Pada tahun 2019, total vaksin rabies hanya 22.000 dosis yang terdiri atas 12.000 dosis dari dana APBN dan 10.000 dosis dari dana APBD.

Dengan jumlah vaksin yang terbatas, maka pihaknya hanya mampu melakukan vaksinasi darurat di beberapa desa tertular saja seperti Desa Nenbura, Kecamatan Doreng, Desa Wolokoli dan Desa Bola, Kecamatan Bola, Desa Habi, Kecamatan Kangae, Desa Egon dan Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kelurahan Waioti, Kecamatan Alok Timur, dan Desa Iligai, Kecamatan Lela.

Vaksinasi darurat ini pun menggunakan bantuan vaksin buffer stock dari pemerintah provinsi sebanyak 4.000 dosis.

Menurut Dr. Asep, Flores-Lembata bisa bebas rabies apabila minimal 70% atau bahkan sebaiknya 100% dari populasi anjing di Flores-Lembata dilakukan vaksinasi secara serentak. Sebab, anjing di Flores-Lembata umumnya kurang gizi.

“Apalagi, di Flores-Lembata, manusia gigit anjing lebih banyak dari pada anjing gigit manusia,” seloroh dokter senior ini.

Dr. Asep mengatakan, vaksinasi anjing liar jauh lebih penting dari pada anjing rumah. Sebab, anjing liar merupakan sasaran pertama terkena virus rabies dari anjing yang datang dari luar.

Akan tetapi, selama ini, dinas terkait lebih suka memvaksinasi anjing rumah dari pada anjing liar. Sebab, anjing rumah lebih gampang divaksinasi. Cara kerja seperti ini tidak menyelesaikan hulu masalah.

Sebab, jika anjing liar tidak divaksinasi, ia akan tularkan virus ke anjing-anjing lainnya, termasuk anjing rumah.

Dr. Asep mengingatkan, rabies merupakan penyakit zoonis. Artinya, virus penyakit menular dari hewan ke manusia.

Oleh karena itu, penanggulangan masalah rabies mesti bersifat “one health, one hearth,” mengurus hewan dan mengurus manusia.

Fokus penanggulangan rabies mesti berpusat pada anjing. Sebab, vaksinasi anjing mencegah rabies, sedangkan vaksinasi manusia mencegah kematian.

Dari sudut biaya, vaksin anjing butuh biaya Rp5.000,00, sedangkan vaksin manusia mesti keluarkan biaya Rp300.000,00

“Kerja dinas kesehatan itu seperti penjaga gawang. Dia boleh kerja keras cegah kematian, tapi selama anjing belum divaksinasi dinas peternakan misalnya rabies akan terus bertambah,” katanya.

Pada kesempatan itu, Dr. Asep juga memberikan tips-tips menanggulangi virus rabies pada saat terkena gigitan anjing rabies. Minimal 12 jam setelah digigit, korban harus membersihkan luka dengan sabun.

Selanjutnya, periksakan diri ke Puskesmas terdekat dan usahakan melakukan vaksinasi secepat mungkin. Untuk mendeteksi ada tidaknya virus rabies, kepala anjing mesti dikirim ke Laboraturium Balai Besar Veteriner Denpasar Bali untuk diperiksa.

Tempat kejadian perkara gigitan anjing perlu dipetakan untuk mengetahui persebaran anjing rabies di wilayah tersebut. Data lokasi diserahkan ke Puskesmas, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, dan Dinas Peternakan untuk ditandai sebagai kawasan bahaya rabies.

Membicarakan Pacakan Identitas Manusia Lewat Ruang Kesenian

Larantuka, Ekorantt.com – Ombak sedikit berkecamuk, menghantam jejer karang dan deret pasir di pinggiran pantai Selat Gonsalu.

Di kejauhan para nelayan sibuk menangkap ikan dan angin sepoi-sepoi berembus masuk ke pelataran belakang Hotel Asa, Kota Larantuka, Flores Timur.

Sementara itu, Micari Fukui dan Venuri Perera datang mengisi tempat duduk yang kosong. Lalu disusul Takao Kawaguchi.

Mereka bertiga merupakan seniman Asia –Micari dan Takao dari Jepang, Venuri dari Sri Lanka- yang datang untuk melakukan aktivitas kolaborasi kesenian bersama seniman-seniman lokal di Flores Timur.

Sudah seminggu lebih mereka menetap di daerah itu dan juntrungnya bakal tersaji dalam panggung pertunjukan pada Sabtu, 6 Juli 2019 di Taman Kota Larantuka.

“Apakah kalian merasa nyaman berada di sini,” tim Ekora NTT memulai perbincangan dalam omong-omong ringan, Minggu sore, 30 Juni 2019 itu.

“Ya, tentu saja,” Micari Fukui yang menjawab. Singkat.

Tentu saja juga, pertanyaan terlontarkan tadi hanyalah adab biasa atau perkara basa-basi dalam risalah bertemu orang baru atau bertanya ke orang asing. Apalagi ketiganya adalah “Para Pengelana dari Asia” yang membaurkan diri di Lewotana, Flores Timur.

Poinnya memang bukan pada hal remeh-temeh tadi, tapi jawaban pendek tersebut kemudian menghantar perbincangan pada ikhtiar yang lain.

Tentang hal-hal yang ditemukan, peristiwa yang dirasakan, gagasan yang dicerna,  juga pengalaman yang barangkali tersangkutpautkan.

Latihan persiapan pentas teater “Peer Gynts di Larantuka (Kisah Para Pengelana dari Asia).

Kira-kira tiga detik setelah menjawab, Micari bercerita  soal aktivitas berkesenian dia selama ini.

Sebagai seorang aktris utama dari kelompok teater kenamaan Jepang Na’uka Theater Company, tentu tak mengherankan dia katakan bahwa di negaranya kesenian merupakan bagian dari laku profesionalitas.

Dan tuntutannya: Kedisplinan yang serius, kata dia.

“Bagaimana pandangan subjektif Anda soal kesenian itu?” kami kembali bertanya.

Dia bilang, kesenian merupakan takrif dari keseharian hidup masyarakat. Persoalan-persoalan yang dibicarakan adalah persoalan umat manusia juga semesta yang melingkupinya. Ia ada di dekat kita, tak jauh-jauh dari kita.

Dan jika seni memang berbicara tentang manusia dan anggitan persoalannya, maka Venuri Perera yang duduk di samping Micari punya tandasan cerita yang lain.

Di negerinya, Sri Lanka, Venuri bergelut hebat dengan isu-isu seputar nasionalisme berbalut kekerasan, decak hegemoni patriarki, ketimpangan kelas dan persoalan neokolonialisme.

Lintang pukang wacana itulah yang kemudian memengaruhinya dalam dunia koreografi dan seni pertunjukan.

“Bagi saya, kesenian adalah juga bagian dari penyembuhan luka batin masyarakat itu sendiri. Di dalamnya ada kekuatan, peneguhan dan kemampuan untuk mengolah emosi meski kadang menyakitkan,” tutur dia.

Tentu, apa yang disampaikan Venuri punya konteks tragedinya tersendiri. Sri Lanka sejak tahun-tahun awal pascakemerdekaan telah dikerubungi segumpal konflik internal yang kemudian merambah dalam pelbagai ceruk kehidupan berbangsa dan bernegara mereka.

Yang paling santer, misalnya, kisruh penuh darah antara pemerintahan setempat dan kelompok separatis Macan Tamil. Berlangsung sejak 1983 dan baru berakhir pada tahun 2009 silam. Tumbalnya; masyarakat sipil.

Setelah itu, beberapa tahun belakangan, perpecahan di sana kembali bergejolak dengan labur konflik atas nama SARA. Fundamentalisme agama menjadi yang paling menonjol dan timbulkan kesemrawutan di mana-mana. Sentimen mayoritas-minoritas tampak seperti bara yang tak kunjung padam.

“Ini bukan soal siapa yang paling besar, paling benar, atau paling hebat. Ini tentang kemanusiaan. Keseniaan adalah tentang kemanusiaan,” kata sosok yang juga berprofesi sebagai akademisi ini.

Adapun Takao Kawaguchi memandang kesenian sebagai bagian dari agenda sodor gagasan dalam mempertanyakan, mungkin juga melawan, sistem-sistem berpikir yang telah mapan.

“Di Jepang, saya banyak terlibat dalam kerja-kerja sosial. Saya menggandrungi problem-problem sosial dan politik, dan menurut saya wacana-wacana itu mesti dibicarakan,” jelasnya.

“Menurut Anda, apakah seni harus untuk seni, dalam konteks estetika, model, bentuk dan lain sebagainya, atau seni mesti mengabdi untuk masyarakat?” kami memancing pertanyaan. Merespons dia.

“Saya pikir, harus ada kestabilan antara bentuk atau estetika dan gagasan yang mau diusung. Tapi, jika yang Anda maksudkan adalah seni untuk entertainment, itu memang tak boleh. Seni harus memengaruhi cara orang berpikir. Membuka wawasan masyarakat atas sesuatu yang baru. Meninjau kembali hal-hal yang telah mapan, seperti dominasi negara atau institusi sosial lainnya. Seni bukanlah sekadar hiburan yang membikin senang semua orang,” jawab Takao.

Sudah barang tentu, dalam kaitannya dengan proyek kolaborasi kesenian di Flores Timur, “Para Pengelana dari Asia” itu memang telah melewati beragam proses kreatif bersama seniman lokal guna menemukan idiom-idiom juga template-template untuk diolah dan disuguhkan dalam pementasan nantinya.

Temuan-temuan itu berupa riset menyusuri kehidupan masyarakat lokal, dulangan cerita dari orang-orang Flores Timur, dan yang terutama, penajaman isu yang jadi kegelisahan kolektif.

“Konteks lokal adalah konteks global. Ketika saya mendengar cerita teman-teman di sini, saya merasa bahwa saya adalah mereka. Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Meskipun saya sendiri tidak bisa menjadi bagian dari kamu,” demikian tutur Micari.

Barangkali konteks lokal yang dia maksudkan tertangkupkan dalam wedaran narasi historis yang mana di beberapa tempat di Flores Timur, masyarakat adat sempat mendapatkan represi dari lembaga politik, bahkan agama.

Misalnya, di Lewotala, Kecamatan Lewolema, pada tahun 1970, terjadi pemusnahan besar-besaran atas rumah adat (korke) yang sebetulnya merupakan denyut nadi tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

Lebih luas lagi, dalam situasi sekarang, kehidupan masyarakat Flores Timur memang tak bisa terlepaspisahkan dari apa yang dikenal sebagai langgam “Tiga Tungku”; Negara, Adat dan Agama. Yang saling berkelindan satu sama lain dan pengaruhnya bisa saja pada mobilitas sosial masyarakat atau menerabasi tatanan ekonomi-politik setempat.

“Kemajuan-kemajuan adalah masalah semua orang. Kita tak  bisa luput dari itu. Tapi, itu akan membuat kita bingung dan bisa salah langkah menentukan arah. Persoalan yang sama kami alami juga di Jepang,” Micari lebih reflektif.

Sementara itu, Venturi tambahkan bahwa  isu-isu seputar identitas memang ada di mana-mana dan masing orang-orang atau komunitas masyarakat senantiasa melakukan dialektika atasnya.

“Perumusan identitas itu bisa macam-macam. Orang-orang di sini mungkin bergelut dengan Kristianitas atau juga adatnya. Sama seperti saya di daerah asal saya yang juga menghadapi ragam persoalan yang kompleks tentang nasionalisme juga agama.”

Takao kemudian bilang bahwa pada titik itulah kesenian hadir untuk membawa “sesuatu yang lain.” Menunjukkan hal-hal yang mungkin selama ini sekadar dipercakapkan di kehidupan sehari-hari. Boleh jadi dalam ruang terbatas atau tertutup atau hanya dipertengkarkan di kepala-kepala.

“Kesadaran itu mesti dirangsang lewat beragam cara. Saya paham, perubahan sosial tak datang lewat kesenian. Tapi, seni bisa mengubah isi kepala orang-orang dan orang-orang itulah yang mengubah situasi sosialnya,” bebernya.

Perbincangan bersama tim Ekora NTT itu lalu berlanjut pada seputar persiapan-persiapan dalam pertunjukkan nanti.

Ketiganya menyatakan siap untuk mengeksplorasi diri dalam kolaborasi tersebut dan memberikan sajian terbaik kepada publik Flores Timur secara khusus dan Nusa Tenggara Timur umumnya.

Kedatangan mereka kali ini mungkin saja kelak dicatat sejarah. Tak hanya soal sematan “Para Pengelana dari Asia”, tapi lebih daripada itu: Memacak ulang identitas-identitas manusia di tengah laju dunia yang kian tak terbendung.

Hari makin sore, ombak senantiasa meliuk-liuk dan omong-omong ringan itu akhirnya berakhir.

Napak Tilas di Kampung Tanjung Darat

Tanjung Darat, Ekorantt.com – Selama ini Kabupaten Sikka dikenal dengan keindahan Taman Laut Teluk Maumere, Patung Maria Bunda Segala Bangsa yang berada di Bukit Nilo serta  Gereja Tua di Desa Sikka.

Namun, tidak banyak orang yang tahu bahwa ada suatu tempat yang layak untuk dijelajahi. Nama tempat itu adalah Tanjung Darat.

Meski tidak sepopuler Taman Laut Teluk Maumere, Tanjung Darat tentu saja memiliki keindahan yang tersendiri. Ada sebuah desa yang diselimuti pasir putih dengan panorama barisan bukit serta lautan biru yang membuat  mata seolah-olah tak berkedip.

Daerah ini masih sangat alami dan jarang dikunjungi.

Tanjung darat terletak di Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Dari Kota Maumere ke Tanjung Darat, perjalanan dapat ditempunh selama satu setengah jam.

Sepanjang perjalanan, tampak  barisan bukit, lautan biru, perkebunan kelapa, dan rumah penduduk pedesaan. Di Tanjung Darat terdapat sebuah desa yang bernama Napung Gelang.

Desa tersebut tepat berada di antara barisan bukit dan lautan biru dengan jajaran pulau-pulau di depannya, seperti Pulau Babi, Pulau Pangabatang,  Pulau Pamana dan Pulau Besar serta hutan bakau.

Desa ini sangat unik karena diselimuti hamparan pasir putih yang  menyilaukan mata dan topografi jalannya juga berupa pasir putih yang mengeras sehingga bisa dilewati kendaraan.

Sebagian besar masyarakat yang bermukim di sini merupakan penduduk pendatang yang berasal dari Buton dan Waigete. Pekerjaan mereka sehari-hari; melaut dan beternak sapi.

Lantas, pada barisan bukit dan hamparan sabana yang luas kita dapat menyaksikan  ratusan sapi milik penduduk. Lokasi di Tanjung Darat memang cocok untuk beternak sapi.

Tanjung Darat juga memiliki tempat bersejarah yang perlu diketahui dan dikunjungi, yakni Bandara Sukojo Tanjung Perak yang didirikan pemerintah Jepang semasa menjajah Indonesia. Peninggalan bandara yang dapat dilihat, berupa landasan pacu dan tugu peringatan berdirinya bandara.

Persis di depan Tanjung Darat, terdapat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Babi. Pulau kecil ini menjadi tempat untuk berladang. Sebagian besar orang mengira pulau ini sudah tenggelam semenjak tragedi Tsunami tahun 1992.

Pulau Babi juga memiliki pantai pasir putih dan jajaran pohon kelapa yang begitu banyak. Kita juga bisa menikmati keindahan laut. Ada  keanekaragaman terumbu karang yang unik dan biota laut lainnya.

Pada saat tertentu tampak lumba-lumba berdatangan. Dari Tanjung Darat kita bisa berjalan kaki ke Pulau Babi pada saat laut surut. Saat menyusuri lokasi ini kita akan melihat masyarakat yang  mengangkut hasil bumi dari dan ke Pulau Babi yang berjalan ditengah laut tanpa takut.

Kita akan terheran-heran melihatnya bahkan ingin mencobanya. Menarik bukan? (Yuven Fernandez)