Pesona Tenun Ikat Sikka Jenis ā€œTama Lu’aā€ dari Palue

0

Maumere, Ekorantt.com – Panas terik menyirami bumi Hewuli, Minggu (10/2) sekitar pukul 12.00 WITA. Akan tetapi, situasi ini tidak surutkan semangat Mama Kristina Tia (56) menenun tama lu’a, kain tenun ikat Sikka dari Palue.

Gerakan tangannya lincah. Jemarinya yang mulai keriput menari-nari di atas alat tenun. Perlahan tapi pasti, benang demi benang tertenun.

Hingga kumpulan huruf ini diketik, 1/2 lembar tama lu’a sudah usai ditenun. Indah nian 1/2 lembar tama lu’a itu!

Mama Tina, demikian ia biasa disapa, berasal dari Kampung Cua, Desa Nitung Lea, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka.

Bersama dengan ratusan penduduk Palue lainnya, Beliau mengungsi ke Maumere pada tahun 2013 akibat letusan Gunung Rokatenda pada Sabtu, 10 Agustus 2013.

Setelah beberapa waktu tinggal di Transito Maumere, Beliau pun tinggal dan menetap di Hewuli. Hewuli merupakan lokasi yang disiapkan Pemerintah Kabupaten Sikka sebagai tempat tinggal para pengungsi dari Palue.

Di Hewuli, pemerintah membangun rumah semi permanen bagi kurang lebih ratusan kepala keluarga (KK) pengungsi dari Palue.

Hingga tahun 2019, sebagian KK masih menetap di Hewuli, sedangkan sebagian lainnya sudah pulang kampung ke Palue.

Mama Tina memilih pulang pergi antara rumah 01 di Palue dan rumah 02 di Hewuli.

“Di sini, saya tinggal bersama dengan anak saya. Ia sekolah di SMA Negeri 2 Maumere. Sekarang kelas 2,” katanya.

Saya terkesima menyaksikan kelincahan jemari Mama Tina bermain-main di atas alat tenun. Timbul rasa penasaran tentang kejadian awal mula tama lu’a.

Bagaimana Mama Tina bisa menghasilkan tama lu’a yang memesona?

Beliau pun dengan penuh gairah menceritakannya. Karena kemampuan Bahasa Indonesia yang terbatas, Beliau lebih sering omong dalam bahasa daerah Palue.

Saya tak paham. Untung ada Noni (24), gadis Palue yang sedang menghabiskan masa liburan di Hewuli. Noni menerjemahkan beberapa kalimat dalam bahasa Palue yang tak saya pahami.

Dengan segala lebih kurangnya, proses pembuatan tama lu’a a la Mama Tina bisa dijelaskan sebagai berikut.

Pertama-tama, tentu saja kita perlu menyiapkan bahan dan peralatan tenun ikat. Bahan-bahan itu antara lain adalah benang, kayu, dan papan.

Benang terdiri atas berbagai macam jenis seperti benang kuning, benang biru laut, benang biru langit, benang merah hati, benang lodon, dan benang podang.

Harga benang berkisar Rp100 Ribu per/po’en. 1 po’en terdiri atas 5 ikat benang. Untuk bisa menenun 1 lembar kain tama lu’a, dibutuhkan 6 po’en. Artinya, kita mesti siapkan 30 ikat benang untuk menghasilkan 1 lembar tama lu’a. Kayu juga terdiri atas berbagai macam jenis seperti laju (kayu dari pohon asam) dan alo (kayu dari bambu).

Setelah bahan dan peralatan tenun ikat disiapkan, langkah selanjutnya adalah mulai menenun.

Proses menenun bisa dibedakan atas tiga (3) tahap, yaitu ko’a ragi (membagi benang), taku kugu (mengangkat benang dengan menggunakan kayu), dan noru ragi (menenun).

Proses menenun tama lu’a biasanya memakan waktu 3 hari. Sementara itu, proses menenun ragi mite (sarung Palue) biasanya memakan waktu 4 hari.

Menurut Mama Tina, tahapan menenun yang paling sulit adalah membuat motif tama lu’a.

Selain itu, penenun mesti punya gerakan tubuh yang lentur agar bisa menenun tama lu’a dengan mudah. Jika tidak, tubuh akan menderita pegal-pegal. Tama lu’a pun akan butuh waktu yang agak lama untuk selesai ditenun.

Para pengungsi dari Palue di Hewuli menenun tama lu’a untuk berbagai kepentingan yang berbeda.

Biasanya, tama lu’a ditenun untuk pertama keperluan adat istiadat di kampung dan kedua tambah penghasilan keluarga dengan cara menjualnya.

Untuk kepentingan yang pertama, tama lu’a ditenun misalnya untuk acara adat laki mosa yang akan digelar pada tanggal 5 November 2019 mendatang. Ritual laki mosa di Palue digelar sekali dalam lima tahun.

Selama 5 hari, masyarakat adat di Palue akan menari togo (tandak). Selama 5 hari pula, mereka akan memberi orang banyak makan gratis. Dalam ritual adat semacam inilah, tama lu’a jadi pakaian adat yang wajib dikenakan.

Untuk kepentingan yang kedua, tama lu’a ditenun untuk kemudian dijual di Pasar Alok. Selembar tama lu’a dijual dengan harga Rp500 Ribu.

Tama lu’a selalu laris manis dibeli oleh orang Maumere. Para turis mancanegara biasanya membeli selembar tama lu’a dengan harga Rp1 Juta.

Uang hasil penjualan tama lu’a dipakai untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan membayar ongkos anak sekolah.

Menenun tama lu’a bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, Mama Tina melakukannya dengan amat sangat lincah.

Ternyata, perempuan murah senyum ini mulai berlatih menenun sebelum tamat sekolah dasar (SD) di Palue. Ia diajar oleh mama kandungnya sendiri.

“Kalau tidak ke kebun, kami tenun sarung di rumah,” katanya.

Mama Tina mengaku prihatin dengan generasi milenial yang gagap menenun tama lu’a. Para gadis Palue sekarang umumnya tidak bisa menenun.

Keterampilan menenun menjadi monopoli perempuan tua. Padahal, tenun ikat memiliki nilai jual yang tinggi.

Walaupun memiliki pendapatan yang menjanjikan, menenun tama lu’a bukanlah satu-satunya pekerjaan Mama Tina. Pekerjaan utama ibu dua orang anak ini adalah petani. Ia punya empat (4) lahan kebun.

Di kebun, ia tanam jagung, kacang hijau, kacang panjang, kacang kayu, ubi kayu, dan jambu mete.

Sejak zaman nenek moyang, orang Palue tidak tanam padi. Oleh karena itu, makanan pokok orang Palue bukanlah beras, melainkan jagung dan ubi.

“Beras jarang dimakan. Pagi kami makan ubi,” katanya.

Pada saat Rokatenda mengamuk dan memuntahkan lahar panas pada 2013 lalu, Mama Tina merasa amat berat hati untuk tinggalkan kampung halaman. Di Palue, keluarga Mama Tina adalah tuan tanah.

Belajar dari DUTA

0

Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, rezim Orde Baru menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Penetapan HPN ini bermasalah karena pertama, ahistoris karena abai terhadap aktivitas pers nasional yang sudah menggeliat sejak zaman pergerakan kemerdekaan seperti koran pertama pribumi berbahasa Melayu ā€œMedan Prijajiā€ besutan Tokoh Pers Nasional, Tirto Adi Soerjo.

Kedua, karena didefinisikan oleh Orde Baru yang anti-pers, HPN dianggap simbol ketertundukan pers terhadap kekuasaan.

Ketiga, HPN dianggap hanya mewakili organisasi wartawan tertentu, dalam hal ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dideklarasikan pada 9 Februari 1946.

Memerhatikan kontroversi HPN, Ekora NTT tidak ikut latah mengikuti acara seremonial peringatan HPN.

Sebagai gantinya, Ekora NTT mencobalacak jejak sejarah pers di Nian Tana Sikka. Usaha itu membawa kami bertemu dengan salah seorang mantan jurnalis DUTA, E.P. da Gomez.

Dari mulut kakek berusia 79 tahun inilah, kami dapatkan secuil gambaran tentang DUTA, surat kabar publik pertama di Kabupaten Sikka.

DUTA adalah koran lokal pertama di Kabupaten Sikka yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Karya Sosial (YKS).

Terbit pertama kali pada tanggal 15 April 1968 pada masa pemerintahan Bupati Lorens Say dengan tebal 36 halaman, DUTA memuat rubrik Tajuk, Politik, Ekonomi, Kebudayaan, dan Varia.

DUTA dibaca oleh 500 langganan tetap dan punya loper koran sendiri. Terbit selama 7 tahun dari 1968 sampai 1975, DUTA sudah menulis 100 edisi koran.

Edisi 1-36 DUTA diarsip secara apik oleh Pater Volsvik, SVD. Bundelan arsip koran itu diperkirakan masih tersimpan di Perpustakaan Ledalero. Pada 1975, DUTA berhenti terbit.

Yang mengesankan dari DUTA adalah militansi, independensi, dan integritas para awak DUTA.

Di bawah kemudi Pemimpin Redaksi DUTA, Viator Parera, para jurnalis DUTA seperti Alm. Ignatius da Cunha, Alm. Herman Yoseph, Alm. Ludgerus da Cunha, Alm. Hendrik Rotan, Alm. Stef Mane Parera, E.P. da Gomez, dan Oscar Mandalangi Pareira menulis DUTA dengan gaya tulisan yang keras.

Mereka tidak segan-segan kritik kekuasaan. Mereka selalu mencari titik lemah Bupati Lorens Say untuk dikritik. Saking kerasnya kritik, para wartawan DUTA pernah dipanggil Bupati Lorens ke kantor dan diancam tempeleng.

Bupati Lorens juga laporkan DUTA ke polisi saking gerahnya. Namun, DUTA bergeming. Kritik tetap dilancarkan.

Para wartawan DUTA bekerja dalam kemiskinan. Upah mereka hanya Rp200,00 hingga Rp300,00 setiap bulan.

Mereka jalan kaki untuk lakukan peliputan. Akan tetapi,mereka ogah terima ā€œsuapā€ dari penguasa. Suatu ketika, Bupati Lorens tawarkan tanah di seputaran Waioti kepada para awak DUTA.

Mereka tolak mentah-mentah tawaran itu. Kemiskinan tidak pernah mengubah mereka menjadi jurnalis penjilat yang menghisap madu kekuasaan.

ā€œSaya dapat nafkah dari surga,ā€ gurau E.P. da Gomez saat ditanya Ekora NTT tentang sumber nafkah keluarga.

DUTA ajarkan para pekerja media bahwa pers bukanlah Humas kekuasaan. Pers, press, sesuai dengan namanya bertugas menekan kekuasaan agar tidak korup.

Hal ini mungkin dilakukan kalau pertama, perspektif pemberitaan pers adalah rakyat, bukan penguasa dan kedua, pers tidak jilat kekuasaan antara lain dengan cara tidak terima suap.

DUTA, Surat Kabar Perintis di Kabupaten Sikka

0

Hujan deras mengguyur Maumere, Sabtu (9/2). Namun, keadaan alam yang tidak bersahabat tidak surutkan semangat tim Ekora NTT lacak jejak sejarah tentang cikal bakal pers di Kabupaten Sikka.

Pertanyaan yang menggantung di benak kami adalah apa surat kabar publik pertama di Kabupaten Sikka?

Pertama-pertama, kami melakukan ziarah ke makam Tokoh Pers Kabupaten Sikka, Ignatius da Cunha di Pekuburan Iligetang.

Di pusara tokoh pers itu, kami lafalkan doa mohon restu dari leluhur dan Tuhan terhadap geliat aktivitas jurnalistik di Kabupaten Sikka.

Doa kami, yang disatukan dalam ibadat sabda di Kantor Redaksi Surat Kabar Harian Ekora NTT beberapa jam sebelumnya, adalah agar pers di Kabupaten Sikka mengabdi kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan dengan mengembangkan pemberitaan yang bertolak dari perspektif rakyat kecil.

Di depan pusara tokoh pers, Pemimpin Redaksi Ekora NTT, Agustinus Nong lafalkan doa dalam bahasa daerah Sikka:

ā€œMiu puku nulu bano wa’a. Tuke ler ami nibong nai tawa. Kamang surat dewan naruk EKORA NTT gera mudeng da’ang dadi tena riwu ngasung bisa ngai siang.ā€

Makam mantan DUTA, Ignatius Da Cuhna di pekuburan umum Iligetang, Maumere

Pelatihan jurnalistik, ibadat sabda, ziarah ke makam tokoh pers, diskusi publik bersama dengan anak muda dan pelaku pariwisata di Sikka-Lela, dan wawancara dengan tokoh pers Sikka adalah upaya kecil Ekora NTT memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang oleh rezim Orde Baru ditetapkan pada setiap tanggal 9 Februari.

Untuk memperingati momen yang sama, rekan-rekan jurnalis di Kabupaten Sikka yang tergabung dalam organisasi Aliansi Wartawan Sikka (AWAS) sudah melakukan banyak kegiatan yang berarti seperti bakti sosial dan diskusi publik bertajuk “Publik Bicara tentang Pers” di Kopi Mane Coffe & Resto.

Tentu saja kami mafhum soal kontroversi HPN yang oleh beberapa kalangan dituding sebagai produk Orde Baru.

Perdebatan boleh terus berlanjut, tetapi HPN tetap harus diberi isi: otokritik terhadap pers untuk tidak pernah boleh menjilat kekuasaan.

Selanjutnya, kami melakukan silaturahmi jurnalistik dengan tokoh pers di Kabupaten Sikka. Pilihan kami jatuh pada tokoh sepuh pers di Kabupaten Sikka, E.P. Da Gomez.

Tentu mendaulat Beliau sebagai tokoh pers rentan dinilai klaim sepihak Ekora NTT. Akan tetapi, tampaknya gelar itu tidak terlalu berlebihan mana kala mengingat rekam jejak Beliau dalam merintis pers di Kabupaten Sikka.

Dengan berpegang pada keyakinan, sejarah adalah begawan dan karena itu kita tak pernah boleh sekali-kali melupakannya, Ekora NTT putar memori publik pada suatu masa tempat nadi pers mulai berdenyut di Kabupaten Sikka.

Awak media Surat Kabar Ekora NTT

Kami tiba di kediaman E.P. da Gomez di Kelurahan Nangalimang, Kecamatan Alok sekitar pukul 16.30 WITA. Sore itu, Nangalimang sendu dan mendung.

“Namanya DUTA,” demikian E.P. da Gomez memulai cerita.

DUTA adalah surat kabar lokal pertama di Kabupaten Sikka yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Karya Sosial (YKS).

DUTA menerjemahkan programYKS dalam bentuk koran berukuran kertas HVS dibagi dua. DUTA terbit pertama kali pada tanggal 15 April 1968 pada masa pemerintahan Bupati Lorens Say.

Dengan tebal 36 halaman, DUTA memuat rubrikTajuk, Politik, Ekonomi, Kebudayaan, dan Varia. DUTA dibaca oleh 500 langganan tetap. DUTA punya loper koran sendiri.

Terbit selama 7 tahun dari 1968 sampai 1975, DUTA sudah menulis 100 edisi koran. Edisi 1-36 DUTA diarsip secara apik oleh Pater Volsvik, SVD.

Bundelan arsip koran itu diperkirakan tersimpan di Perpustakaan Ledalero. Pada 1975, DUTA berhenti terbit.

Menyebut DUTA surat kabar pertama di Kabupaten Sikka problematis. Sebab, sebelum DUTA, Gereja Katolik sudah menerbitkan “Bintang Timur” dan “Kristus Ratu Itang” dalam bahasa daerah Sikka pada tahun 1925 dan berhenti terbit pada 1930.

Di Ende, diterbitkan “Bentara” yang berhenti terbit pada 1950.

DUTA memang beberapa tahun lebih cepat terbit dari pada DIAN, majalah mingguan besutan para misionaris Serikat Sabda Allah atau SVD yang terbit pada 1973. Akan tetapi, sebagai koran publik yang dikelola oleh putra Sikka, tidak berlebihan jika DUTA didaulat sebagai perintis pers di Kabupaten Sikka.

Menurut E.P. da Gomez, pada saat peluncuran DUTA, Bupati Lorens Say dan Kepala Dinas Kantor Penerangan, Sadipun memberi kata sambutan.

Bupati Lorens dan Kadis Sadipun mendorong para awak DUTA bekerja dengan baik membantu masyarakat memperoleh pengetahuan tentang banyak hal yang belum terungkap.

Pada masa awal penerbitan, DUTA dicetak dengan mesin stensel. Setelah Pemilu II pada tahun 1971, DUTA mendapatkan bantuan mesin cetak dari Menteri Perhubungan, Fransiskus Xaverius Seda.

Staf DUTA, Arnoldus da Cunha ditugaskan untuk mengambil mesin cetak itu di Jakarta. Hasil cetakan DUTA menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.

Selama mengampuh DUTA, E.P. da Gomez dan kawan-kawan mendapat banyak tantangan.

Suatu ketika, Bupati Lorens ajak para wartawan DUTA pesiar di area seputaran Waioti (kini arah ke Bandara Frans Seda Maumere).

Bupati bilang, tanah di sini sangat mahal dan strategis. Para awak DUTA tahu, itu adalah tanah bupati.

Para wartawan yang tergabung dalam Aliansi Wartawan Sikka (AWAS) melakukan pose bersama usai diskusi publik bertajuk ā€œPublik Bicara tentang Persā€ di Kopi Mane Coffe & Resto, Sabtu (9/2).

Bupati sempat tawarkan untuk membagikan tanah itu kepada para wartawan DUTA. Akan tetapi, semua wartawan DUTA menolak tawaran itu.

Para wartawan DUTA bekerja dalam kemiskinan. Liputan dilakukan dengan jalan kaki. Kalau ada rezeki, para wartawan dapat Rp200,00 hingga Rp300,00. Untuk nafkahi keluarga,mereka mencari pekerjaan lain.

ā€œSaya sendiri tidak punya pekerjaan lain. Saya dapat nafkah dari surga,ā€ gurau E.P. da Gomez.

Dalam struktur kepengurusan DUTA, E.P. da Gomez duduk di dewan redaksi sebagai sekretaris redaksi.

Pemimpin redaksi DUTA adalah Alm. Viator Parera. Ada pun anggota dewan redaksi DUTA adalah Alm. Ignatius da Cunha, Alm. Herman Yoseph, Alm. Ludgerus da Cunha, Alm. Hendrik Rotan, Alm. Stef Mane Parera, dan Oscar Mandalangi Pareira.

Anggota dewan redaksi DUTA sekaligus rangkap tugas sebagai wartawan yang melakukan peliputan di lapangan.

Kerja redaksi dibantu oleh Arnoldus da Cunha dan Tinus da Silva. Dengan demikian, awak DUTA yang masih hidup tinggal E.P. da Gomez, Oscar Mandalangi Pareira,Arnoldus da Cunha, dan Tinus da Silva

ā€œKami dalam umur yang energik. Tulisan kami keras. Pak Viator banyak kali dipanggil polisi karena tulis banyak kasus,ā€ kenang E.P. da Gomez.

Para wartawan DUTA memiliki gaya menulis yang keras dan unik.

Pemred Viator sering dipanggil menghadap pihak berwajib karena menulis banyak kasus dengan gaya tulisan yang keras.

Dari tulisan-tulisan itu, ia menyulapnya menjadi cerita pendek (Cerpen). Pada saat El Tari Memorial Cup pada tahun 1974, ia menulis sebuah Cerpen yang sangat bagus.

Sementara itu, Oscar Mandalangi Pareira suka menulis hal-hal yang unik.

Misalnya, siapa pengendara sepeda pertama di Maumere? Menurut liputan Oscar, pengendara sepeda pertama di Maumere adalah putra sulung Raja Sikka Ke-4, Raja Don Meak bernama Don T.P. Da Silva.

Para wartawan DUTA menulis berita dengan tulisan tangan. Tulisan itu kemudian dikoreksi oleh Pemred Viator sebelum naik cetak.

Selain tulisan para wartawan DUTA, DUTA juga mendapat sumbangan tulisan dari para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) di Ledalero. Frater Mariatma, SVD dan Pastor Bosco Beding, SVD menulis secara tetap di DUTA.

ā€œFrater Mariatma kemudian menjadi Provinsial SVD di Bali, sedangkan Pastor Bosco ditabrak mati di Salemba, Jakarta,ā€ katanya.

Pada akhir tahun 1970-an, tulisan-tulisan DUTA menjadi sangat keras.

Bupati Lorens Say memang punya banyak program kerja yang bagus. Akan tetapi, terdapat hal-hal kecil yang buruk. Hal-hal kecil itulah yang dikritik DUTA.

Misalnya, proyek pembangunan jembatan di dekat Pelabuhan. Bupati Lorens membangun jembatan itu dengan mengumpulkan uang dari toko-toko di Maumere.

DUTA mengkritik proyek tersebut bukan karena pembangunan jembatan itu buruk, melainkan karena bupati membangunnya dengan melakukan pungutan liar kepada masyarakat.

ā€œIdenya membangun benar. Tapi, membangun dengan cara kumpulkan uang dari toko-toko itu tidak benar. Toko-toko ini bayar pajak kepada negara,ā€ katanya.

Akibat pemberitaan DUTA yang keras, Bupati Lorens memanggil wartawan DUTA ke kantor bupati dan mengancam akan menempelengnya.

Bupati juga sempat melaporkan DUTA ke polisi. Akan tetapi, DUTA tidak pernah perduli dengan sikap bupati.

DUTA beranggapan, jika ada yang salah dengan pemberitaan, bupati bisa ajukan hak jawab.

TimEkora NTT berziarah dan berdoa di makam mantan wartawan DUTA, Ignatius Da Cuhna

Pada sekitar tahun 1973/1974, bupati suruh Pemred Viator dan Oscar Mandalangi keluar dari DUTA. Ignatius da Cunha ambil alih kepemimpinan. Setelah Ignatius pergi kursus teknik pemberdayaan masyarakat di Malang, E.P. da Gomez kelola DUTA sendiri.

ā€œSaya kerja sendiri. Segala hal saya isi,ā€ katanya.

Sampai pada akhirnya YKS tidak sanggup lagi membiayai penerbitan DUTA. Pada tahun 1975, DUTA berhenti terbit.

Menurut E.P. da Gomez, ada tiga alasan DUTA berhenti terbit, yakni pertama, personil terganggu, kedua, YKS tidak bisa membiayai, danketiga, tunggakan pelanggan yang besar.

ā€œSetelah DUTA mati, YKS kemudian buka lagi perpustakaan. Kurang lebih ada 2000 buku. Kami buat proposal ke Jerman melalui Pater Provinsial. Pada saat gempa 1992, semua buku hancur,ā€ katanya.

Itulah DUTA, koran cetak pertama di Kabupaten Sikka yang dikelola oleh putra-putra terbaik Nian Tana.

DUTA ajarkan jurnalisme advokasi yang sangat kritis terhadap kekuasaan. DUTA tidak menjadi Humas kekuasaan, melainkan mengkritiknya.

DUTA tidak menjilat kekuasaan, sekalipun peluang untuk melakukannya terbuka lebar. Dengan segala risiko terberat yang mesti ditanggung, termasuk mati muda pada usia belia: 7 tahun.

DPRD Versus Bupati Sikka

2

oleh: Otto Gusti Madung, SVD*

Konflik penuh ketegangan mewarnai relasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sikka dengan Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo atau Robby Idong beberapa waktu terakhir.

Hubungan tak harmonis ini berawal dari rencana Bupati Sikka memangkas anggaran tunjangan perumahan dan transportasi 35 anggota DPRD Sikka pada tahun anggaran 2019 ini.

Pemotongan anggaran tersebut diperkirakan akan menghemat anggaran sebesar Rp3,4 miliar per/tahun.

Tentu penghematan itu sangat berarti bagi sebagian masyarakat Sikka yang tengah didera beban biaya hidup seperti biaya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan dasar lainnya. Karena DPRD adalah lembaga wakil rakyat, secara etis para anggota legislator sudah seharusnya mendukung terobosan kreatif Bupati Robby tersebut.

Pemangkasan anggaran ā€œkemewahanā€ para anggota dewan tersebut bertolak dari perhitungan bahwa sewa rumah terbaik di Maumere biasanya sehargaRp70 juta per/tahun, sedangkan sewa kendaraan sebesar Rp108 juta per/tahun.

Perhitungan ini berseberangan dengan keinginan para wakil rakyat yang menghendaki anggaran sewa rumah Rp120 juta per/tahun dan anggaran sewa kendaraan Rp150 juta per/tahun atau Rp42 juta lebih mahal dari harga pasar.

Langkah bupati memangkas belanja birokrasi termasuk tunjangan para anggota dewan harus diapresiasi.

Namun,terobosan ini tentu saja mengurangi pendapatan anggota DPRD, sehingga mereka mengeluarkan jurus ancaman penggunaan hak interpelasi.

Hak Interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pertanyaannya ialah apakah dampak negatif bagi kehidupan masyarakat luas dan negara jika tunjangan rumah dan transportasi anggota DPRD Sikka dipotong sesuai harga pasar dan terjadi penghematan sebesar Rp3,4 miliar setiap tahun?

Seharusnya, kebijakan penghematan anggaran belanja birokrasi harus didukung. Sebab,itu berarti, penambahan alokasi anggaran untuk membiayai pembangunan fasilitas publik dan program-program pro rakyat.

Kemarahan para anggota DPRD yang terungkap dalam penggunaan hak interpelasi terhadap kebijakan pro rakyat Bupati Sikka hanya menguatkan asumsi masyarakat selama ini bahwa lembaga legislatif bukan lagi wakil rakyat, tapi lembaga pemburu rente untuk urus kesenangan dirinya.

Suara rakyat hanya digunakan sebagai stempel untuk melegitimasi proses perampokan atas hak-hak dasar rakyat untuk meraih kesejahteraan.

Konflik antara DPRD dan Bupati sesungguhnya tak perlu dirisaukan berlebihan, tapi harus dipandang sebagai bagian dari proses demokrasi.

Karena itu, Bupati Idong berada pada pemahaman demokrasi yang otentik ketika mengatakan, sebagai bupati,ia tak mau ā€œberhubungan intim dengan DPRD karena tidak efektif dalam penyelenggaraan pemerintahanā€ (Pos Kupang, 14/02/2019).

Sebaliknya, ratapan Ketua Fraksi PDIP, Darius Evensius, (Bdk. Pos Kupang, 14/02/2019) tentang konflik antara DPRD dan Bupati Sikka lahir dari minimnya pemahaman para wakil rakyat tentang demokrasi. Bermitra bukan berarti bebas konflik dan selalu menjalin relasi harmonis untuk menginjak rakyat.

Mengutip Chantal Mouffe, demokrasi adalah pluralisasi pertarungan-pertarungan politis.

Pertarungan tersebut merupakan konsekwensi dari pengakuan akan kebebasan warga dalam sebuah tatanan demokratis yang menciptakan pluralitas wacana. Karena itu, tatanan demokrasi adalah sebuah tatanan diskursif.

Pertarungan wacana tersebut terinstitusionalisasi dalam prinsip trias politika atau pemisahan kekuasaan. Prinsip ini mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dan adanya kontrol atas kekuasaan.

Sebab, seperti sudah lama diawasi Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely atau kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup. Karena itu, kontrol mutlak dalam penyelenggaraan kekuasaan.

Jika sekarang arena politik di Kabupaten Sikka diwarnai dengan gesekan dan pertarungan wacana antara lembaga legislatif dan eksekutif, itu berarti demokrasi sedang bersemi di Sikka dan mekanisme kontrol sedang berjalan.

Sebaliknya, jika anggota DPRD dan Bupati rukun-rukun saja seperti terjadi selama ini, patutlah rakyat curiga jika keduanya sedang intim dan mesra untuk menginjak rakyat.

Relasi yang harmonis itu biasanya diwarnai oleh sejumlah kebijakan yang tidak pro rakyat dan korup.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa relasi koruptif antara lembaga legislatif dan eksekutif terungkap dalam beberapa modus korupsi berikut.

Pertama, menerima suap untuk memperlancar laporan pertanggungjawaban kepala daerah atau penetapan APBD. Itu yang dikenal dengan uang ketok palu.

Kedua, menambah pendapatan anggota dewan dan pimpinan Dewan secara tidak sah melalui pos anggaran DPRD seperti tunjangan rumah dan transportasi yang tidak wajar.

Ketiga, menitipkan proyek atau alokasi khusus melalui anggaran yang diusulkan oleh pemerintah.

Keempat, penggunaan dana APBD tidak sesuai peruntukan dan tanpa bukti pendukung.

Kelima, suap dalam proses penyusunan dan pengesahan sebuah peraturan daerah.

Kita berharap deliberasi demokratis yang sudah dimulai oleh Bupati Idong di Sikka akan terus berlanjut untuk mengontrol jalannya penyelenggaraan kekuasaan dan akhirnya mendewasakan warga Sikka dalam kehidupan berdemokrasi dan bernegara.

*Otto Gusti Madung, SVD adalah Pengajar Filsafat Politik di STFK Ledalero

Ā 

Sebuah Cerita dari Sea World Club Beach Resort

Maumere, Ekorantt – Jumat, 12 Oktober 2018, saya mampir sejenak di Sea World Club Beach Resort, Waiara, Maumere, Flores.

Tujuan saya sekadar berjalan-jalan sembari mengambil beberapa gambar untuk kepentingan fotografi.

Dulu ketika masih kecil, saya memang sering berkunjung ke tempat ini bersama keluarga dan teman-teman sebaya.

Namun, seiring berjalannya waktu juga dilanda berbagai kesibukan, tempat ini nyaris tak lagi tersambangi. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika saya sedang menjalankan studi di luar kota Maumere, nama Sea World Club nyaris tak punya gema.

Sementara di sepanjang pesisir pantai Maumere sendiri semakin banyak hotel dan resort dibangun. Beberapa investor dari luar NTT bahkan datang berjubel.

Namun, belakangan ini beredar kabar bahwa pesona Sea World Club kembali menunjukkan titik denyarnya.

Hal ini saya dengar dari salah seorang kawan musisi lokal yang selalu diundang ke tempat tersebut untuk membawakan acara.

ā€œSea World sekarang sudah makin keren. Apalagi yang kelola kita punya orang sendiri,ā€ kata dia.

Awalnya saya tak terlalu percaya. Tapi, saya tetap menyimpan niat untuk kembali datang berkunjung ke lokasi tetirah semasa kecil dulu itu.

Tentu saja, sebagaimana yang saya ketahui juga orang-orang Maumere umumnya, Sea World merupakan tempat tinggal Pastor Bollen, SVD. Beliau jugalah yang memiliki tempat tersebut.

Untuk masuk ke Sea World, siapa saja yang berstatus sebagai tamu harus melapor diri dulu di pos satpam pada area depan. Setelah itu barulah diizinkan melakukan pelesir di bagian dalamnya.

Tatkala masuk, saya menyaksikan suasana Sea World semakin banyak dipenuhi tanaman hijau juga bunga-bunga beraneka. Pohon-pohon kelapa hias ditanam sepanjang pesisir pantai.

Menariknya, hunian-huniannya juga lebih banyak terbuat dari kayu lokal. Tempat-tempat duduknya pun terbuat dari bahan-bahan alam.

Lokasi itu memang sangat luas dan cocok untuk melepas lelah sembari menikmati momen bersendiri.

Beberapa wisatawan asing tampak lalu-lalang. Saya menyapa dan mereka membalas ramah.

Rasa penasaran saya semakin membuncah. Saya akhirnya memutuskan untuk menemui General Manager tempat tersebut untuk bertanya lebih lanjut.

Saya melapor diri pada resepsionis. Lima menit berselang, beberapa petugas mengarahkan saya untuk bertemu dengan sang manajer.

General Manager Sea World Club Beach Resort, Martinus Wodon

Namanya Martinus Wodon, seorang pria yang sangat enerjik dan berjiwa muda. Dia mengajak saya untuk duduk bercerita di restoran.

Saya merasa sungkan tapi tersebab keramahannya, saya bisa rileks juga.

Martin lalu menjelaskan, Sea World memiliki sebuah aturan khas pada pagi hari. Para tamu yang sarapan harus disuguhkan makanan-makanan lokal dari kebun Sea World sendiri.

Tak ada satu jengkal bahan makanan pun yang diimpor atau dibeli dari luar.

ā€œItu sudah jadi semacam rumus tersendiri bagi kami di sini. Pokoknya, produk lokal itu harus diutamakan,ā€ tegasnya.

Bagi dia, tampilan seperti itu bukanlah untuk gaya-gayaan belaka. Ada poin esensial yang hendak dia angkat. Memberdayakan sumber daya alam di tanah Flores.

Yang jelas, kebijakan semacam itu malah begitu disenangi para tamu. Mereka sangat menikmati setiap menu tersajikan pada pagi hari, demikan pungkas Martin.

Beberapa makanan yang disuguhkan antara lain, madu hutan, selai nanas, pepaya, irisan ikan, dan roti tawar.

ā€œBila bahan makanan itu tidak tersedia di kebun, kami biasanya beli di pasar atau harus mencari di petani-petani di sini,ā€ tambah sosok yang bersekolah khusus di bidang pariwisata ini.

Menurutnya juga, respek terhadap para petani atau pedagang lokal semestinya menjadi salah satu poin utama bila ingin industri pariwisata berkembang. Pariwisata semestinya melibatkan mereka semua.

Pendidikan Inklusif Basmi Diskriminasi

Bajawa, Ekorantt.com – Pemerintah kabupaten Ngada bertekad untuk memperkuat pendidikan inklusif. Untuk itu sejumlah langkah dilakukan untuk menyukseskannya.

Salah satunya adalah kegiatan ā€˜Sosialisasi dan Workshop Bimbingan Teknis Penguatan Kapasitas Guru Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif’ yang berlangsung selama 3 hari (6-8 Februari 2019) di SDK Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada.

Dalam pemamparan materi tentang ā€˜Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Kepala Subdit Kurikulum Direktorat PPKLK Kemendikbud RI , Tita Srihayati menjelaskan bahwa pendidikan inklusif identik dengan keterbukaan, persamaan hak dan kebebasan dalam dunia pendidikan.

Tidak boleh ada lembaga yang menghidupi sikap diskriminasi, tidak ramah anak, pendidikan ekstrim berdasar pada identitas atau golongan tertentu.

ā€œPendidikan inklusif tidak identik dengan murid yang lemah dan cacat tapi lebih kepada pendidikan yang membuka untuk semua anak. Hindari adanya lembaga yang hanya terima murid pintar, kaya atau berdasarkan status, hindari pula menamakan diri sekolah favorit lalu mengabaikan nilai kemanusiaan,ā€ tegas Srihayati.

ā€œSebab lembaga pendidikan dibangun bukan untuk mengkotak-kotakan. Melainkan untuk menjadi rahim semua anak tanpa ada pengecualian,ā€ tambah Srihayati .

Menurutnya, sekolah-sekolah yang sudah ditentukan menjadi sekolah inklusif, harus membuka diri.

Anak yang lemah sekalipun harus diterima karena ada kemudahan aturan bagi-bagi anak-anak itu.

ā€œMereka tetap diperlakukan sebagaimana anak yang lainya. Di hadapan pendidikan semua anak itu sama martabatnya,ā€ imbuhnya

Sementara itu, Kadis Pendidikan Kabupaten Ngada, Sensi Milo mengatakan, Ngada sebagai salah satu kabupaten yang sudah menjalankan pendidikan inklusif perlu berbangga karena memiliki para pendidik yang andal dan sabar dalam mendidik anak-anak.

Sebuah peradaban maju bisa terjadi jika pendidikannya berjalan baik. Pendidikan adalah senjata utama menuju peradaban itu sendiri.

Oleh karena itu, guru harus tetap belajar tanpa henti, penuh kreativitas dan inovatif.

ā€œPendidikan bisa maju dan peradaban bisa digapai jika guru selalu menjadi sutradara dalam kelas. Menciptakan strategi inovatif, membiarkan anak berkreasi dan akhirnya guru harus menyimpulkan hasil kreasi itu,ā€ jelas Kadis Milo.

ā€œYang selanjutnya memampukan anak untuk menemukan jati dirinya, potensinya dan skillnya. Dan semua anak tanpa pengecualian harus disentuh oleh guru,ā€ tambahnya.

Selaku ketua panitia Bapak Martinus Seo, menyampaikan , pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang diberikan kepada anak yang mempunyai hambatan antara lain: hambatan pendengaran, penglihatan, bicara, ekonomi, topografi, fisik, dan hambatan mental.

Bahwa pendidikan inklusif seyogianya bukan diletakkan pada perbedaan. Lebih daripada itu, sebagai wadah untuk mendidik semua anak bangsa. Dan semua anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan itu.

“Jadi bagi guru, harus ada penguatan kapasitasnya. Dan semua anak baik yang memiliki kebutuhan khusus ataupun normal adalah sama-sama memiliki hak untuk dididik dengan penuh cinta dan pendidikan yang layak. Ini adalah sebuah keniscayaan,ā€ kata Martinus.

Untuk diketahui, kegiatan ini dihadiri guru-guru sekolah tingkat SD-SMA se-Kabupaten Ngada yang sudah ditentukan pemerintah dan sudah melaksanakan pendidikan inklusif sejak tahun 2012. Ada 35 peserta yang diutus dari masing-masing sekolah.

Boy Zanda

Obor Mas Utamakan Kualitas Anggota

Maumere, Ekorantt.com – Memasuki tahun buku 2019, KSP kopdit Obor Mas berkomitmen untuk memperhatikan kualitas anggota.

Kualitas anggota itu mulai dibenahi sejak perekrutan awal menjadi anggota KSP kopdit Obor Mas.

Menurut General Manajer KSP Kopdit Obor Mas, Leonardus Fredyanto Moat Lering, pihaknya akan lebih selektif menjaring anggota baru. Karena itu akan dibuat regulasi yang mengatur jumlah anggota.

Hal ini, kata Fredyanto, dilatarbelakangi oleh persoalan jumlah anggota yang tidak sejalan dengan keaktifannya di koperasi. Anggota boleh banyak tapi belum tentu berkualitas. Inilah yang dialami oleh Obor Mas.

Misalnya jumlah anggota baru sebanyak 20.000-an orang pada tahun sebelumnya ternyata tidak berpengaruh pada partisipasi anggota dalam menyetor simpanan wajib.

Bahkan ada indikasi angka penyetoran simpanan wajib menurun. Belum lagi resiko kredit lalai yang sewaktu-waktu bisa merepotkan.

Usaha untuk memperbaiki kualitas anggota ini sejalan dengan misi KSP Kopdit Obos Mas yakni mengangkat masyarakat keluar dari ketertinggalan.

Namun, hal ini bukan berarti pihaknya membatasi keinginan masyarakat menjadi anggota.

Pada dasarnya prasyarat menjadi anggota Obor Mas adalah mengikuti pendidikan dan siap untuk menjalankan usaha produktif yang mendatangkan penghasilan bagi anggota itu sendiri.

Untuk itu KSP Kopdit Obor Mas mematok target anggota baru sebanyak 10.000 orang pada tahun buku 2019.

Target pertumbuhan simpanan mencapai 150 miliar rupiah. Dan target asetnya mencapai 850 miliar rupiah per 31 Desember 2019.

ā€œTahun ini kami harus bekerja dua kali lipat untuk mencapai kisaran seperti itu,ā€ papar Fredyanto.

Tahun buku 2019 juga ditandai dengan penertiban administrasi. Hal ini merujuk pada pemberesan kewajiban-kewajiban anggota dan usaha yang hendak dijalankan anggota.

Anggota yang aktif akan diberikan keleluasaan dalam menggunakan dana koperasi untuk pengembangan usaha produktifnya.

Sebaliknya, koperasi tidak akan melayani anggota yang tidak aktif dalam kegiatan simpanan bulanan.

ā€œKita ingin kalau mau menjadi anggota harus mulai berusaha. Karena Obor Mas sudah siapkan danaā€, tandas Frediyanto kepada Ekora NTT akhir Januari lalu.

Khusus kepada anggota, Fredyanto mengucapkan terima kasih untuk kerja samanya dalam mengarungi tahun buku 2018.

Pada tahun buku 2019, Obor Mas pun akan terus memberikan pemahaman tentang pentingnya hidup berkoperasi kepada anggota dan masyarakat luas.

Tidak hanya itu, pendidikan cerdas keuangan (Financial Literacy) kepada anggota akan diberikan. Tujuannya anggota bisa mengatur dan merencanakan keuangannya dengan baik.

ā€œKami berusaha mengajak seluruh elemen masyarakat agar menabung dan bisa merencanakan keuangan secara teratur. Karena pencapaian kami ke depan adalah meretas kemiskinan dan kebodohan, seturut program Gubernur NTT,ā€ beber Yanto.

General Manajer KSP Kopdit Obor Mas, Leonardus F. Moat Lering

Kesiapan Manajemen

Dengan berbagai target yang ingin dicapai KSP kopdit Obor Mas, Ketua Pengurus KSP Kopdit Obor Mas, Andreas Mbete mengakui betapa pentingnya persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) manajemen.

Armada manajemen harus berkompeten dan memiliki daya saing yang tinggi.

Untuk menyokong kualitas SDM manajemen, jelas Mbete, manajemen akan dibekali pendidikan atau pelatihan yang berkelanjutan.

Diklat bersertifikasi bagi 50 juru tagih dan analis pinjaman pada 22-27 Januari 2019 lalu adalah contohnya.

Pelatihan-pelatihan ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja tim manajemen, membiasakan karyawan dengan penggunaan teknologi dalam pelayanan, dan melahirkan karyawan yang berkompeten.

Mbete yakin ā€œkaryawan-karyawan yang terlatih dan terdidik mampu bekerja sesuai target yang telah dipatok.ā€

Ia juga berharap, semua pihak baik pengurus, pengawas, manajemen dan khususnya anggota untuk bekerjasama dalam meraih target yang telah dirancang.

Dengan demikian, target tersebut bisa terealisasi.

Perkembangan KSP Kopdit Obor Mas tiga tahun terakhir (Litbang Ekora NTT)

Pencapaian

Menukil pusat data KSP Kopdit Obor Mas, total aset yang berhasil ditorehkan KSP Kopdit Obor Mas pada tahun buku 2018 sebesar Rp704.072.127.186 dengan pertumbuhan aset sebesar Rp103.188.423.425.

Angka pertumbuhan aset ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp96.791.142.690.

Sementara total anggota KSP kopdit Obor Mas hingga 31 Desember 2018 sebanyak 86.676 orang. Pertumbuhan anggota pada tahun 2018 sebanyak 9.832 anggota baru.

Angka ini menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 22.646 anggota.

Menambang Laba Pariwisata

0

Pengantar

Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yosef Nae Soi resmi memimpin NTT setelah dilantik presiden Jokowi di Istana Presiden, Jakarta pada 5 September 2018 lalu.

Pada Minggu awal kepemimpinan Victory-Joss, begitu jenama politik keduanya, ada tiga topik utama yang menyodok perhatian publik.

Pertama, tambang. Kedua, perdagangan orang. Dan ketiga, pariwisata.

Soal tambang, keduanya sepakat untuk melakukan moratorium. Tim khusus akan meneliti soal kelayakan aktivitas penambangan.

Alasannya, tambang tidak boleh mengganggu keindahan alam NTT. Demikian pula dengan kasus perdagangan orang, keduanya punya pendirian yang tegas.

Tolak perdagangan orang! Bahkan Gubernur Laiskodat mengimbau aparat kepolisianuntuk bertindak tegas sesuai hukum yang berlaku.

Salah satu sektor yang pantas dan layak dikembangkan di NTT adalah pariwisata.

Hal ini hangat dan menjadi komitmen keduanya. Bagaimana pariwisata itu dikembangkan oleh Victory-Joss?


ā€œPotensi keindahan alam kita bisa masuk level dunia. Lalu mengapa kita harus rusakkan dengan tambang? Kita jangan buat bopeng daerah kita iniā€

Yosef Nae Soi dengan penuh ketegasan menyampaikan hal ini dalam lawatan perdananya sebagai wakil gubernur NTT ke Maumere pada 8 September 2019 lalu.

Tanpa tedeng aling-aling, Yosef tegaskan, tolak tambang. Itu tidak bisa ditolerir. Bahkan tidak segan-segan untuk mencabut izin tambang yang dikeluarkan pemerintah sebelumnya.

Ya, menurut Wagub Yosef, pilihan kita adalah pariwisata. Pariwisata NTT levelnya dunia. Bukan ecek-ecek.

Karena itu, dirinya bersama gubernur Laiskodat serius mengembangkan sektor yang satu ini.

Omongan Wagub Yosef ini sebetulnya mempertegas pidato perdana gubernur Laiskodat dalam rapat paripurna istimewa DPRD NTT 10 September 2018 lalu.

Ada lima program andalan yang ia sampaikan pagi itu. Pariwisata. Kesejahteraan rakyat. Sumber daya manusia. Infrastruktur. Dan reformasi birokrasi.

Para wakil rakyat dan undangan menyimaknya dengan serius. Setiap hentakan penegasan Gubernur Laiskodat, disambut tepuk tangan seisi ruang sidang.

Gubernur Laiskodat mengatakan, pariwisata jadi penggerak bagi sektor pembangunan yang lain.

Bicara pariwisata berarti kita bicara semua sektor. Ini menjadi komitmen politik. Untuk itu, butuh keputusan politik.

Salah satunya melalui peraturan daerah (Perda). Misalnya; Perda tentang persampahan beserta sanksinya.

Bagi Gubernur Laiskodat, penting juga dipahami bahwa sebagai pemilik, kitalah yang menguasai dan menikmati keindahan pariwisata NTT.

Kita mundur ke belakang. Victory-Joss sudah tertarik pada pariwisata sejak safari politik semasa kampanye dulu.

Ketertarikan itu berwujud janji politik. Mengalir dari mulut Victory-Joss.

Di banyak tempat. Dalam banyak kesempatan. Jejak masih tersimpan. Karena media telah merekamnya. Beberapa janji itu disampaikan di sini.

Seputar-ntt.com misalnya; merekam kampanye politik Laiskodat kala bertandang ke desa Praimadita di kabupaten Sumba Timur 12 Mei 2018.

Baginya, pariwisata harus memberikan efek kekaguman. Kagum melihat alam, manusia dan budaya NTT.

ā€œPariwisata itu harus harus mampu membuat wisatawan terkagum-kagum sambil berteriak Oh My God,ā€ kata Laiskodat.

ā€œKalau wisatawan sudah terpesona sambil berteriak Oh My God maka dia akan kembali berkunjung dan dia akan menceritakan kepada keluarga dan kenalan mereka bahwa ada tempat wisata yang indah di NTT yang harus dikunjungi,ā€ tambahnya seperti yang diwartakan Seputar-ntt.com.

Tidak hanya efek kagum. Pariwisata harus menjadi penggerak utama pembangunan NTT.

Pariwisata harus bisa menggerakkan sektor lain. Dengan kata lain, pariwisata menjadi nada dasar pembangunan.

Oleh karena itu, pola pikir masyarakat pun harus dibangun dalam rangka mendukung pariwisata.

Lalu, bagaimana pariwisata itu dipandang?

Dilansir dari tribunnews.com, pariwisata tidak sekadar dipandang soal bangun hotel. Yang terpenting adalah kita harus bangun budaya dulu.

Ide ini ditawarkan Victory-Joss dalam diskusi publik bertajuk Quo vadis NTT di Aula UKAW Kupang, 12 Juni 2018 lalu.

Tidak hanya itu. Pariwisata erat kaitannya dengan peradaban. Bagi Victory-Joss, membangun pariwisata berarti membangun peradaban.

Tujuannya, kualitas masyarakat yang lebih baik. Dan itu berarti masyarakat menjadi subyek pembangunan.

Salah satu model yang ditawarkan adalah desa atau kampung pariwisata.

ā€œMari kita mengubah desa-desa dan kampung-kampung menjadi desa dan kampung wisata. Jangan salah mengerti,ā€ tegas Laiskodat seperti yang dilansir beritasatu.com.

ā€œKita tidak akan pernah merombak, mengubah total, atau merusak keaslian kampung-kampung dan desa-desa itu. Pertahankan keasliannya, tetapi standar kualitasnya dinaikkan,ā€ tambah Laiskodat.

Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dan Yosef Nae Soi (Sumber: Pos Kupang/Tribunnews.com)

Kondisi Terkini

Gagasan Victory-Joss ini harus berhadapan dengan beberapa fenomena pariwisata kita.

Ada fenomena kenaikan kunjungan wisatawan. Setiap tahun terjadi lonjakan kunjungan wisata ke NTT.

BPS NTT mencatat, total tamu mancanegara pada tahun 2016 sebanyak 65.499 orang. Angka ini naik signifikan menjadi 93.455 orang pada tahun 2017.

Hal yang sama berlaku untuk wisatawan domestik. Data tiga tahun terakhir menggambarkan tren positif.

Tahun 2015 berjumlah 374.456 orang. Pada tahun 2016 mencapai angka 430.582 orang. Dan pada tahun 2017 berkisar 523.083 orang.

Untuk menggenjot jumlah kunjungan wisata, pemerintah telah dan sedang melakukan sejumlah kegiatan promosi berskala besar.

Ada sail komodo yang menelan dana 3,7 trilun pada tahun 2013 lalu. Tour de Flores Ā sudah berlangsung dua kali.

Ada parade 1001 Kuda Sandlewood dan Festival tenun ikat di tanah Sumba. Muncul juga event lain demi menarik minat wisatawan.

Selain promosi, pemerintah juga gencar membangun infrastruktur untuk pariwisata.

Tapi di sisi lain, pembangunan pariwisata NTT kurangĀ  memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kemiskinan di NTT belum bisa terurai.

Menukil data BPS, NTT berada pada posisi termiskin ketiga setelah propinsi Papua dan Papua Barat. Persentasenya 21,35 % dari total penduduk NTT.

Peneliti Cypri Dale dalam buku ā€˜Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik’ mengungkapkan pembangunan pariwisata menyingkirkan masyarakat kecil.

Bahkan orang-orang lokal tak berdaya. Mereka tersingkir dari pusaran bisnis pariwisata. Yang berjaya adalah kaum pemodal dan orang-orang asing.

Untuk menggambarkan hal ini, Paju Dale menggunakan istilah ā€˜Dolar Ketemu Dolarā€.

Dalam artikelnya berjudul ā€˜Jejak Neoliberal dalam Pembangunan Pariwisata di Manggarai Barat-Flores’, Venansius Haryanto, peneliti sun spirit for justice and peace menambahkan, minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam bisnis pariwisata. Sebaliknya, dominasi asing yang begitu kuat.

Komodo (sumber: tribunnews.com)

Suprastruktur

Terkait langkah pemimpin baru NTT dalam bidang pariwisata, pemerhati pariwisata, Kris Beda Somerpes memandangnya sebagai hal yang positif.

Baginya, ini adalah niat yang baik. Pariwisata adalah peluang baru untuk mendorong kesejahteraan.

NTT punya potensi luar biasa untuk itu, bukan hanya alamnya, tetapi juga budaya, atraksi dan kesehariannya.

Somerpes menjelaskan, niat baik ini harus dibarengi pijakan suprastruktur yang kuat baik itu melalui kebijakan dan pembenahan sumber daya manusia.

Perlu ada grand design pembangunan yang komprehensif, lebih terlibat Ā dalam arti menjawab kebutuhan.

ā€œHari ini misalnya, kita melihat pembangunan pariwisata begitu kencang di ranah infrastruktur, kehadiran Badan Otoritas Pariwisata Flores begitu menggeliat,ā€ kata Somerpes.

ā€œNamun perlu pula diperhatikan fondasi-fondasi suprastrukturnya (kebijakan, sumber daya manusia dan seterusnya) agar kebijakan atas nama pembangunan pariwisata tidak eksploitatif,ā€ jelas Somerpes.

Ia menambahkan, peluang berinvestasi sangat terbuka lebar. Investor baik domestik maupun internasional bisa memanfaatkan peluang itu.

Itu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, kata Somerpes, perlu alat-alat negosiasi berupa suprastruktur dan penguatan sunber daya manusia.

Somerpes juga sepakat dengan konsep ekowisata yang dari, oleh dan untuk komunitas.

Hal ini harus masuk dalam rencana gubernur perihal pengembangann desa sebagai desa/kampung wisata.

Model-model ini harus digandakan terus menerus sambil menumbuhkan wacana-wacana kritis terkaitnya.

Pendamping Desa Wisata

Salah satu pelaku pariwisata NTT, Nando Watu mengapresiasi langkah pemimpin NTT yang menjadikan pariwisata sebagai penggerak pembangunan.

Tapi harus dipahami juga bahwa pariwisata tidak bisa berjalan sendiri.

Butuh multielemen terlibat di dalamnya. Pemerintah. Masyarakat. Akademisi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dan Media. Kerja sama pihak-pihak inilah yang bisa menentukan pembangunan pariwisata.

Konsep desa wisata, bagi penggagas Ekowisata-Detusoko ini, menjadi alternatif bagi pengembangan pariwisata NTT.

Konsep ini searah dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Dalam mengembangkannya, kita harus ramah lingkungan.

Yang ditekankan juga ā€œbukan berapa banyak kunjungan turis tapi berapa lama turis tinggal di wilayah kitaā€.

Menurutnya, pengembangan pariwisata model ini membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni. Karena itu pelatihan harus terus dilakukan secara terus menerus.

Kehadiran pendamping desa wisata sangat urgen.

ā€œBentuklah juga asosiasi desa wisata. Tujuannya ada pemahaman yang sama tentang desa wisata. Pada awalnya juga jangan terlalu banyak bentuk desa wisata. Gagas dulu beberapa, kemudian itu menjadi rule model bagi pengembangan desa wisata lainnya,ā€ jelas Watu.

Akhirnya, Watu menegaskan, pada galibnya pariwisata hanya alat (tools) untuk meraih kesejahteran masyarakat.

Pariwisata tidak boleh membuat kita tercerabut dari budaya kita. Pariwisata juga harus mampu mendukung pertanian, peternakan dan bidang kehidupan lainnya.

Citos Natun, Irenius J.A Sagur, Elvan de Pores. Liputan ini pernah dimuat di Ekora NTT cetak edisi akhir pekan ke-26

Nona Mage Wair

0

Maumere, Ekorantt.com – Nora Tersa kawu, ganu ling ā€˜ena, tadang kelang pulu rua wot hiwa, wulang ha, li’wang riwu rua pulu ha wot hiwa, Surat Dewa Naruk Ekora NTT bano reta olang oto dena bo’u bano, narang nimung ā€œMadawatā€.

Kawu tia ingaĀ  tengang golo,mesik oras wulang urang la’eng wutung.

Mesik lero la’eng higa bekor, ata bi’ang gawang ba’a teri e’ra ei olang oto bo’u bano tia le hering.

Ia saweĀ  nora ata iwa du’a la’i nora me blutuk weda tama ei olang wui oto tia wali une.

Rimu bing wui oto gai’i le Ende ra.

Ganu surat Dewa Naruk EKORA NTT gita, le hering wina reta, ro’o nora Hotel Silvya, bi’ang gawang teri geke gole, e’ra giling keor le’u tedang halar kesik bing ganu wata telu poi.

Olang tia kajang pake terpal bihang la’ak. Benu nebus ata bi’ang, la’i-la’i nibong teri amole de’a grasang.

Surat Dewa Naruk Ekora NTT di tahang rehi, te le na julung gera ro’o ei olang rimu teri a tia.

Lameng ha narang Rico, ngeng ngerang ata Gehak, Koting gu’a nimung teok oto Ende-Maumere dopo beta:

ā€œMo’at emai, norang surat koran Ekora NTT te, lakang a’u ha gai a’ta, loning koran Ekora NTT,ā€

ā€œAmi grengang kela toso torot naruk gawang ei niang tanaĀ  Sikka te’i. A’u di lunung-kunung ei koperasi Pintu Air reta Rotat.ā€

Ganu tia Lameng Rico pla’a plewo nora surat dewa naruk Ekora NTT.

Surat dewa naruk Ekora NTT bedot beta epang gawang, mole diat beli koran tia ha.

Rico didi gera himo, sawe gera sadeng poi bekang gata. Ei tedang tia norang lameng iwa teri hugu, iwa teri sondang, mole iwa teri mobo geke gole ei tedang kesik tia.

Rimu horok lurung mage wair go’ong kedo tenang ei makok plastik kesik.

ā€œMai mo’at wartawan. Soba horok lurung mage wair Inang Nona lami na’ing ei. Enak golo, koro di go’ong heput,ara wutang gahu laeng, mole telo hunang di norang,” ganutia Lameng Yanto tukang ojek ata Nita dopo Surat Dewa Naruk Ekora NTT.

Tedang halar tia norang lameng bi’a lima, sawe rimu bia’hutu teri l’er ei ā€˜ai bangku, sawe gawang golo mobo geke gole.

Lameng gawang tia norang teok oto, ko iwa gawang golo tukang ojek.

ā€œAmi mateng moret, menu blatang poi mora inang Nona tei. Kawu hunur gela, ta’ing morung ami totaĀ  ge’a te ei tedang de’ang horong te’i,ā€ lameng Yansen todor naruk penung beli lameng Yanto.

ā€œRaik inang Nona ene mai, ami susar, morung blemuk, loning mage waer inang Nona Lami ene hama-hama ganu olang iwa. Ami horok nane Ā ba’aā€.

Surat Dewa Naruk EKORA NTT neser gera ro’o nora inang Nona, nimu umur ganu pulu wutu wot, nimu rewu koit wewat, hoko ara wutang, gajong lurung mage waer, buwu ndaring beli Lameng hene ne’i wuiĀ  ba’a.

ā€œRopo sai inang, ta’ing lala kantar dendang ba’a. Ojek giling keor ei kota da’a wa’i lima, rehiĀ  morung ba’a. Na’ing kesa nora telo hunang ha,ā€ lameng Kalis ata Keduwair tutur nora Inang Nona.

ā€œInang te’a ei nane ba’a ko?ā€ Surat Dewa Naruk Ekora NTT pla.

ā€œSaing li’wang riwu rua wot e’na. Hung wa’a te’a telo hunang giling keor lau olang oto-motor wihi bensin,ā€ ganutia Inang Nona babong

ā€œKo Pamarenta jaga, te a’u teri te’a ara wutang lau le hering. Oras tia weling nimung wuta ha riwu rua,ā€

ā€œNulung wuta ei mu’u ro’ung, ko oras te’i ei surat ara.Raik rimu mai teri ei tedang te’i te hoko poi ei pigang plastikā€.

Surat Dewa Naruk Ekora NTT pla pinang naruk ha-rua. Inang Nona tutur plowar ene muro.

Nimu l’ore reta Gehak mai tota suku ropi ei Alok tei, loning susar.

La’it gu’a uma, kuli lema kabor reta Koting. Inang Nona nora la’it naha tara sanggo moret rimu bi’a lima.

ā€œMe a’ung bi’a telu sekolah meha. Ha ā€˜ata wua wolo SMA kelas tiga. Rabek rua SMP kelas tiga, ha wua wutung SD kelas lima,ā€ Inang Nona plowar.

Nimu kesa beta hung wa’a te’a poi ara wutang, telo hunang.

Gawang rimu mai a, tutur neni raik newang Inang Nona lami nora lurung mage wair.

Nimu te’a ara wutang kesa nora mage waer pu’ang liwang riwu rua pulu ha.

ā€œAta te’a ara wutang gawang moet, ko rimuĀ  ene neser, loning grengang lora mage wair. Dadi masik gawang di sawe,ā€ Inang Nona Herong.

ā€œLerong ha pare naha kilo lima bing da’a pulu. I’ang da’ang mage waer ganu riwu pulu rua da’a pulu telu, telo hunang ganu papan ruaā€.

ā€œHoang seng ganu pae?ā€ Surat Dewa Naruk ekora NTT pla.

Inang Nona bete, mujur lerong ha lubak da’a riwu ngasung rua, bing da’a riwu ngasu telu wot.

Raik wulang ha te’a meha, mo’ang wartawan rekeng poi sai.

Ara wutang riwu lima, telo hunang riwu telu, mage waer tena lepeng.

Ami utung hoang seng tia ei koperasi, urus me blutuk skola, mole tarasanggo ami ruang blupur gu’a rehi lerong ba’i muring.

Memantik Desa Tematik

0

Lewoleba, Ekorantt.com – Desa-desa kita menyimpan potensi yang beranekaragam. Butuh kerja kreatif untuk mengembangkannya.

Pemerintah kabupaten Lembata memiliki langkah unik menggejot laju ekonomi di desa. Namanya program desa tematik.

Sejak berpisah dari Flores Timur pada tahun 1999, Lembata menjadi daerah otonomi baru. Di pulau seluas 1.266 km2 ini menghuni penduduk sebanyak 131.083 jiwa (data BPS 2017).

Total penduduk ini tersebar di sembilan kecamatan dan 151 desa. Soal potensi, lembata menyimpan segudang aset yang layak untuk dikembangkan. Pariwisata misalnya.

Lembata memiliki tampilan alam yang mengagumkan. Begitu juga dengan atraksi budaya yang bikin hati berdecak kagum.

Tapi kali ini Ekora NTT Ā tidak menyoroti potensi pariwisatanya.

Sorotan kita kali ini adalah desa. Sebagaimana kabupaten lain di NTT, Lembata bergeliat dalam mengembangkan ekonomi di pedesaan.

Angin segar datang manakala desa mendapatkan alokasi dana desa dari Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seturut undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa.

Dana ini bermanfaat untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Ini adalah peluang dan Pemkab Lembata memanfaatkannya dengan baik.

Untuk itu, Pemkab Lembata mencanangkan program desa tematik.

Desa tematik merupakan desa yang memiliki tema tertentu yang dilirik, kemudian dikaji untuk selanjutnya diolah sesuai dengan potensi alam dan kekayaan sosial-budayanya. Dengan itu, setiap desa memiliki ikonnya tersendiri.

Ketika Ekora NTT bertandang ke rumah jabatannya pada 27 Mei 2018 lalu wakil bupati Lembata, Thomas Ola Langoday menuturkan, program desa tematik layak untuk dikembangkan di Lembata.

Mengingat melimpahnya potensi wilayah desa di Lembata, Wabup Langoday yakin, setiap desa akan berkembang seturut keunikan potensinya masing-masing.

Wabub Langoday mencontohkan, desa yang memiliki potensi ikan bisa mengembangkan desa tematik ikan.

Demikian juga desa yang kaya akan kambing dapat menggarap desa tematik ikan. Begitu juga dengan desa-desa lain.

ā€œDesa tematik, sebut kambing misalnya, kambing itu desa di sini. Kalau sebut ikan, oh desa ini. Sebut teri, itu ada di desa ini,ā€ tuturnya kepada Ekora NTT.

Program desa tematik ini pelan-pelan menunjukkan tajinya. Sebut saja desa Hawakeda. Desa di kecamatan Lebatukan ini sukses mengembangkan usaha ikan teri.

Oleh Wabup Langoday, Hawakeda dapat ā€˜dibaptis’ menjadi desa ikan teri. Lain lagi desa Kolipadan.

Desa pesisir di kecamatan Ile Ape ini sedang giat mengembangkan usaha pembuatan perahu fiber.

Kepala desa Kolipadan, Sumarmo Boli menargetkan tahun 2020 sebagai era teknologi Kolipadan sebagai desa pembuatan perahu prabrik fiber.

Beberapa desa lain seperti desa Lewolein betah dengan ikonnya sebagai desa wisata kuliner dan desa Merdeka setia membudidayakan bawang merah.

Contoh-contoh desa tematik ini menunjukkan keseriusan Pemkab Lembata dalam menggairahkan ekonomi pedesaan.

Beberapa desa ini ibarat pemantik yang menyalakan harapan dan komitmen bagi desa-desa lain untuk memajukan desanya seturut potensi wilayahnya.

Selain desa tematik, Pemkab Lembata juga fokus pada usaha mikro di kabupaten yang terkenal dengan tradisi penangkapan ikan pausnya ini.

Menurut Wabup Langoday, usaha mikro harus berkontribusi pada peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk itu pola untuk membantu para usahawan mikro harus diperbaiki.

ā€œKembangkan usaha mikro kita yang sudah dimulai misalnya roti. Fokus di satu orang itu dulu. Jangan di sini sepuluh ribu, di sana sepuluh ribu. Kapan majunya?ā€ ujar Wabup Langoday.

ā€œKalau ada dana 100 ribu, berikan kepada satu orang dulu. Setela dia maju, kita tidak bantu dia lagi. Kita beralih ke yang lain. Kalau kita pakai sistem 100 ribu dibagi ke 10 orang, nanti tidak ada suksesnya,ā€ tambahnya.

Sejauh ini usaha-usaha mikro di Lembata cukup menjanjikan. Ada Sambal hot nona Lembata yang sedang dikelola oleh ibu-ibu PKK.

Ada juga usaha kripik. Usaha-usaha mikro ini memiliki cakupan bisnis yang masih kecil.

Kedepan Pemkab Lembata akan terus memberikan dukungan agar usaha mikro dapat berkembang baik.